jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Dradjad H Wibowo menyarankan agar pemerintah mengombinasikan tindakan kesehatan publik (TKP), vaksinasi, dan pengobatan tepat untuk memulihkan pergerakan. Sebab, perekonomian tergantung pada pergerakan orang.
"Jika pergerakan orang terganggu karena tingginya penularan, konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula," tulis Dradjad dalam tulisannya di jurnal internasional BMC Public Health yang terbit pada 2 Juni lalu.
Dalam artikel berjudul 'When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy' itu Dradjad memaparkan sektor konsumsi dan investasi menyumbang sekitar 90 persen produk domestik bruto (PDB). Pada 2020, kontribusi dari sektor konsumsi sebesar 57,66 persen, sedangkan investasi mencapai 31,73 persen.
Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) itu menyebut pemerintah bisa saja memberi stimulus fiskal. Namun, sebutnya, peran belanja pemerintah hanya 9,29 persen.
"Jadi, kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut," cetusnya.
Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF) itu menilai Indonesia pada awal Juni ini masih dalam kondisi zona kuning pandemi Covid-19. Menurutnya, kondisi itu bisa memburuk ke zona merah.
Dradjad menjelaskan kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yakni merah, kuning dan hijau. Di zona merah, paparnya, jumlah kasus harian Covid-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan di atas 1.
"Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan," urainya.
Adapun zona kuning berarti jumlah kasus harian menurun namun elastisitas masih di atas 1. Oleh karena itu pelonggaran TKP tidak direkomendasikan di zona kuning.
Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1. "Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun perlu menghitung risiko eskalasi kasus," tulis Dradjad.
Menurutnya, negara sedang berkembang pada umumnya tidak mampu mengestimasi angka reproduksi (R) Covid-19 secara akurat. Sebab, keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi pada awal pandemi.
Untuk Indonesia, elastisitas kesehatan per 5 Juni 2021 masih di atas 1,45. Sejak 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, tutur Dradjad, elastisitas itu mencapai puncaknya, yakni sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021.
Dradjad mencatat angka itu sempat di bawah 1 pada masa liburan Idulfitri. Namun, angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes.
"Setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning. Akibat tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan," ulasnya.
Oleh karena itu Dradjad H Wibowo mewanti-wanti pemerintah memperketat TKP pada Juni ini. "Di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19," tulisnya.
Mantan legislator Komisi Keuangan dan Perbankan DPR itu menjelaskan pada tahun kedua pandemi biasanya masyarakat mengalami kelelahan psikologis. Akibatnya, TKP makin sulit diterapkan.
Dradjad juga mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang 60,47 persen dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020 merupakan pekerja informal. Artinya, terdapat sekitar 77,67 juta yang menjadi pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap.
Selain itu, sebagian besar dari 17.48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian. "Adanya jutaan pekerja yang tergantung pada penghasilan harian menambah kesulitan penerapan TKP," katanya.
Oleh karena itu Dradjad mendorong pemerintah mendesain TKP yang lebih pas sembari mengusahakan herd immunity (kekebalan kelompok) melalui vaksinasi.
"Dengan vaksinasi, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi bisa berjalan sinergis. Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tetapi secara ekonomi negatif," ulasnya. (ara/fat/jpnn)