Forest for Peace and Well being

Seoul, 23 Juni 2019
Nurcahyo Adi (NA)
-Catatan singkat dari Korea-

Hutan sejak jaman dahulu didefinisikan sebagai tempat yang seram, untuk orang-orang terusir, dan tempat yang tidak beradab serta tidak punya aturan. Dalam cerira pewayangan Mahabarata, ketika kalah dalam pertaruhan yang direkayasa Durna dan Sengkuni, Pandawa "dibuang" ke hutan. Juga dalam cerita Ramayana, dalam episode Rama dan Sinta, diceritakan kalau Sinta diasingkan di hutan dan digoda oleh makhluk jahat di hutan. Hutan digambarkan sebagai tempat berkumpulnya makhluk jahat dan liar. 

Belakangan ini baru saja paham mengapa hutan selalu digambarkan sebagai tempat yang angker dan banyak roh jahat. Pohon beringin di pucuk gunung tidak boleh ditebang bahkan didekati karena terdapat banyak roh halusnya. Bahkan setiap pohon beringin selalu dikategorikan dihuni makhluk halus. Ketika itu, manusia belum mempunyai perangkat ilmu pengetahuan untuk mendefinisikan bagaimana caranya melindungi hutan untuk kehidupan. Meskipun mereka sudah paham tentang fungsi hutan untuk kehidupan, antara lain, sebagai pengatur tata air di areal di bawahnya. Akhirnya "mindset" itu terlanjur terbawa sampai dengan orang tahu tentang manajemen hutan. Hutan konservasi dan hutan lindung di Indonesia didefinisikan sebagai areal yang terlindung sama sekali dari aktifitas manusia dan bahkan tidak boleh dimasuki oleh manusia.

Kesadaran berkembang seiring realita perkembangan zaman. Ilmu pengetahuan juga berubah dan berkembang. Hutan tidak lagi sesuatu yang terpisah dengan kehidupan manusia. Forest for people dikenalkan secara resmi sejak 1978 dalam Kongres Kehutanan. Praktek-praktek berdampingan kehidupan manusia dan hutan diperkenalkan kembali.

Hutan sebagai sumber kehidupan yang dikhawatirkan akan punah dengan intervensi manusia di dalamnya, perlahan-lahan diubah mindset-nya bahwa intervensi manusia harus tetap bisa mempertahankan keberadaan hutan. Selain itu hutan sebagai economic resource juga mendatangkan banyak masalah dan konflik. Bahkan tak jarang karena rebutan atas penguasaan hutan, terjadi perang yang berkepanjangan. Hutan yang pernah dianggap sebagai green gold mengakibatkan perang di Afrika dan konflik di beberapa daerah, termasuk Indonesia.

Hari-hari ini saya menghadiri sebuah perhelatan besar yang mengusung tema “Forest for Peace and Well being”, kira kira terjemahannya adalah sebagai berikut: “Hutan untuk perdamaian dan kesejahteraan/kebahagiaan umat manusia”. Tempat yang dipilih mungkin memang cocok dengan temanya. Korea Selatan sebagai negara yang menjamur dengan aliran ultra modern K-Pop nya tidak bisa terlepaskan dari hutan.

Dalam perhelatan besar selama 5 hari ini, tidak lagi digambarkan hutan sebagai tempat angker dan menyeramkan serta sumber konflik. Lokasi konferensinya di area kota modern Incheon, pinggiran kota Seoul. Hiburan selama break dan di tengah perhelatan, yang disuguhkan adalah budaya Korea yang dipengaruhi oleh produk sumber daya hutan.

SUSTAINABLE FASHION

Oleh Nurcahyo Adi

Pernah nonton film komedi Flintstone? Film yang dibintangi antara lain oleh John Goodman tesebut adalah film komedi yang menceritakan kehidupan manusia jaman batu. Di dalamnya digambarkan orang-orang yang masih menggunakan pakaian alami yang belum banyak diolah, dari kulit hewan dan kulit kayu.

Ketika melihat berbagai buku cerita dan gambar tentang orang jaman dulu, atau film tentang manusia purba, sering digambarkan bahwa manusia jaman dulu itu mengenakan baju/pakaian dari bahan alami, antara lain dari kulit kayu. Pakaiannya digambarkan secara fisik mirip dengan kulit kayu, terlihat masih kaku, asli, tampak serat dan gambar kayunya, serta sangat mudah dikenali bahwa bahan penutup badan tersebut berasal dari kulit kayu.

Dalam perkembangannya, ketika manusia berubah lebih maju dan mempunyai pengetahuan untuk mengenali serat kain dari bahan lainnya, penutup badan dari kayu mulai ditinggalkan. Kain pembuat pakaian kemudian banyak dibuat dari serat kapas atau katun, dan belakangan banyak dibuat dari serat sintetis dan bahan lainnya melalui proses inovasi teknologi yang mutakhir.

Dalam tahun-tahun belakangan, beberapa organisasi mulai melakukan penelitian dan pengembangan bahan baku yang lebih sustainable (renewable) dan lebih ramah lingkungan sebagai bahan pembuat kain dari kayu/pohon. Hutan dengan pohon-pohonnya dilirik kembali oleh sektor industri ini sebagai sumber renewable material untuk pembuatan kain, yang digunakan tidak hanya dari kulitnya, tapi juga diekstrak dari serat kayu yang terkandung di dalam pohon. Berbagai upaya promosi juga sudah dilakukan oleh berbagai lembaga dan negara di dunia untuk membuat kain dari kayu/pohon tersebut.

Pada acara pertemuan PEFC (sebuah lembaga nir laba yang mempromosikan kelestarian lingkungan/hutan berkantor pusat di Geneva, Swiss), setiap tahunnya selalu terdapat sesi sharing berbagai inovasi yang sudah dilakukan oleh masing-masing negara.

Tahun ini, wakil dari Italy menampilkan kain dan pakaian jadi ramah lingkungan yang terbuat dari serat kayu. Serat-serat kayu tersebut dipromosikan berasal dari pohon dalam hutan yang telah bersertifikat dikelola secara lestari. Berbagai merek dunia yang terkenal sudah menggunakan kain yang berbahan dari kayu tersebut. Tidak saja berbentuk kain, tetapi juga yang sudah diolah lebih lanjut menjadi kaos, T-shirt, jaket, celana panjang dan lain-lain.
Baju/pakaian tersebut kemudian dikategorikan dalam kelompok yang disebut sebagai sustainable fashion.