Oleh Mona Tobing - Minggu, 14 Desember 2014 | 16:30 WIB
JAKARTA. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang ternyata tidak cukup membuktikan bahwa produk kehutanan Indonesia legal. Agar produk kehutanan Indonesia dapat diterima pasar internasional, sertifikat Foresty Certificatiion Coorporation (IFCC) juga harus dimiliki.
Chairman Indonesiaan Forestery Certification Coorporation (IFCC) Dradjad H. Wibowo mengatakan, pasar dunia saat ini menuntut agar produk kehutanan bersumber dari hutan yang dikelola lestari. Itu sebabnya, perusahaan kayu Indonesia didorong untuk memiliki IFCC demi menjaga pangsa pasar.
IFCC adalah lembaga penyusun standar untuk skema sertifikasi hutan di Indonesia. IFCC menggunakan skema Programme for The Endorsement of Forest Certification) yang telah terstandard internasional. Standard sertifikasi kehutanan yang dikembangkan IFCC tidak terbatas pada sertifikasi hutan tapi juga hasil hutan. Termasuk hasil industry pengolahannya dan rantai kustodi.
Dradjad mengklaim, sertifikat IFCC menjadi bekal produk hutan Indonesia mendapat akses pasar lebih baik. IFCC dan Programme for Endorsement of Forest Certification (PEFC) juga dapat membantu mempromosikan produk hutan Indonesia agar mendapat pasar lebih luas.
“Konsumen saat ini lebih memilih produk kayu, pulp, kertas dan turunannya berasal dari hutan yang dikelola lestari,” katanya.
Sebagai informasi IFCC adalah bagian dari PEFC. PEFC adalah organisasi internasional yang melakukan penilaian untuk sistem sertifikasi hutan nasional. Saat ini ada 36 negara mendukung standard PEFC.
PEFC juga menjadi organisasi dengan skema sertifikasi hutan terbesar di dunia. Lebih dari 264 juta hektar (ha) hutan yang telah tersertifikasi. Serta ada 15.804 perusahaan yang telah disertifikasi PEFC.
Tahun depan, IFCC menargetkan 10 perusahaan hutan nasional telah tersertifikat. Nantinya, untuk pemberian sertifikat kepada perusahaan. IFCC akan melibatkan pemangku kepentingan termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta pemerintah.
Source: industri.kontan.co.id