Jakarta, Beritasatu.com - Ketua Umum Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) Dradjad Hari Wibowo menyatakan perekonomian global akan semakin ditentukan oleh topik yang termasuk dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Jika Indonesia tak bergerak melakukan perubahan saat ini, maka masa depan ekonomi negeri akan terancam.
Dradjad menjelaskan, isu tersebut di antaranya terkait aksi-aksi untuk mengatasi perubahan iklim, pengelolaan sumber daya alam secara lestari, kemiskinan, kelaparan, kesehatan dan sebagainya.
Dradjad menegaskan, korporasi besar Indonesia yang memakai produk olahan hasil hutan juga perlu sadar, mereka tidak bisa lagi lalai terhadap isu pengelolaan hutan lestasi (suistanable forest management - SFM).
"Percaya saya, di masa depan akan ditinggalkan pasar jika tidak peduli kelestarian. Trust me, sustainabily pays," kata Dradjad, dalam Forum Group Discussion (FGD) secara virtual dengan tema "Sustainable Development Goals (SDGs), Pengelolaan Hutan Lestari dan Masa Depan Indonesia", Rabu (21/4/2021).
Menurut Dradjad, isu ini kembali menjadi hal penting karena Amerika Serikat kembali dalam Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Hal itu terbukti dengan keluarnya Executive Order 14008 yang diteken Presiden AS Joe Biden pada 27 Januari 2021.
"Isinya semakin membuat krisis iklim dan topik SDGs lainnya berperan sentral dalam percaturan global ke depan," ujar Dradjad.
Langkah AS ini akan berdampak ke segala hal. Bukan hanya terhadap perekonomian dan keuangan global, tapi juga terhadap politik dan keamanan global.
Salah satu isu yang sudah dirasakan berdampak besar bagi Indonesia adalah pengelolaan hutan lestari (suistanable forest manement-SFM). Isu SFM ini sangat berpengaruh terhadap brand image Indonesia di berbagai forum global.
Berdasarkan catatannya, isu ini pernah pernah memukul ekspor Indonesia, dengan efek multiplier ekonomi yang tidak kecil. Namun dengan kerja keras berbagai pihak sejak dekade 2000-an, secara bertahap Indonesia mampu memperbaiki kinerja dan juga citra terkait SFM.
Saat ini, kata Dradjad, selama empat tahun berturut-turut pada tahun 2017-2020, laju deforestasi di Indonesia terus menurun. Menurut laporan the World Resources Institute (WRI), dalam periode 2002-2020 laju deforestasi di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2016, dengan angka moving average (MA) tiga tahun sebesar 0.78 juta hektare.
Namun sejak 2017, angka tersebut turun menjadi 0.66 juta hektare (2017), 0.55 juta hektare (2018), 0.35 juta hektare (2019), dan 0.31 juta hektare (2020).
Laporan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyebutkan laju deforestasi 2020 sebesar 115 ribu hektare, turun 75% dari tahun 2018/2019 sebesar 462,46 ribu hektare.
Indonesia pun disebut WRI sebagai “bright spots of hope for forests” bersama Malaysia. Kinerja positif tersebut diberitakan oleh dua media global terkemuka yaitu the Guardian dan the New York Times.
Dalam implementasi SFM, lanjutnya, Indonesia juga menunjukkan kinerja positif. Sebagai contoh untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), saat ini terdapat 67 perusahaan HTI dengan luas sekitar 4 juta hektare yang sudah memperoleh sertifikat SFM dari IFCC/PEFC. Ini berarti semua HTI yang dibangun sebelum cut of date PEFC, yaitu 31 Desember 2010, sudah mendapat sertifikat.
Untuk industri pengolahannya, PEFC/IFCC telah memberikan sertifikat chain of custody (CoC) kepada 38 perusahaan, mulai dari pabrik-pabrik kertas milik grup APP dan April, hingga perusahaan seperti Blibli (untuk tas belanja) dan Gramedia (untuk sebuah lini produk).
IFCC adalah lembaga pengembang dan pemilik skema sertifikasi independen, yang merupakan anggota dari PEFC (the Programme for the Endorsement of Forest Certification) yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss.
PEFC ini merupakan skema sertifikasi hutan lestari terbesar di dunia. Saat ini sudah lebih dari 320 juta hektare hutan di dunia yang bersertifikat SFM dari PEFC, ditambah lebih dari 20 ribu perusahaan bersertifikat chain of custody (CoC) dari PEFC.
"Banyak sekali korporasi terbesar di dunia yang mewajibkan adanya sertifikat PEFC sebagai salah satu syarat mereka mau membeli produk olahan hasil hutan, mulai dari kayu bangunan, kertas hingga baju. Korporasi tersebut mulai dari yang terbesar di dunia seperti Apple, Johnson & Johnson, Walmart, Nestle, P&G, Samsung hingga LV, Zara dan banyak lagi," kata Dradjad.
Sebagaimana diketahui, selama 20 tahun lebih HTI dan pulp and papers Indonesia menjadi sasaran kampanye LSM global dan nasional yang menuduh mereka sebagai salah satu faktor utama deforestasi. Akibatnya, korporasi dunia seperti Disney, Mattel, Xerox, Woolworths dan lain-lain sempat memboikot pulp and papers Indonesia, sehingga ekspornya menurun mencapai titik terendah sekitar US$ 5 miliar pada 2016. Namun sejak 2017, ekspor tersebut terus naik menjadi US$ 7.15 miliar (2019), dan hanya turun 4,4% menjadi US$ 6.84 miliar (2020) saat pandemi.
Di sisi lain, kata Dradjad, dari sisi SFM, baru pada Desember 2014 perusahaan HTI mulai berhasil mendapatkan sertifikat SFM dari IFCC/PEFC. Itu sebabnya pada tahun 2015 baru terdapat 0.7 juta hektare HTI yang bersertifikat SFM. Luas ini kemudian naik drastis menjadi 2.4 juta hektare (2016) dan 3.7 juta hektar (2017).
"Yang menarik, setelah semakin banyak HTI yang berhasil mencapai SFM, dan semakin banyak pabrik bubur kertas dan kertas yang mendapatkan sertifikat, ternyata ekspor Indonesia naik kembali. Peningkatan ekspor tersebut juga terjadi bersamaan dengan penurunan laju deforestasi, yaitu tahun 2017-2020," tegasnya.
Menurut dia, fakta ini menunjukkan kuatnya komitmen dan kinerja dari pemerintah, pelaku usaha HTI dan pulp and papers, dan para stakeholders dalam mewujudkan SFM di Indonesia.
Kinerja di atas tentu sangat menunjang kontribusi ekonomi dari HTI dan pulp and papers. HTI dewasa ini menyediakan lapangan kerja langsung 20.000-25.000u orang dan 2 juta tidak langsung.
Sementara pulp and papers menyerap 260.000 tenaga kerja langsung dan 1,1 juta tidak langsung. Belum lagi kontribusinya terhadap penerimaan pajak pusat dan daerah, pembangunan daerah, dan pengembangan masyarakat sekitar hutan dan industri.
Karena itu, Dradjad mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan UKM, untuk semakin meningkatkan kinerja terkait dengan pengelolaan hutan lestari. Maupun industri pengolahan dan perdagangan produk olahan hutan lestari oleh para pelaku usaha.
"Contoh konkretnya, pelaku mebel dan kerajinan perlu dibantu agar kayunya berasal dari hutan lestari sehingga mudah menembus pasar ekspor. Perhutanan sosial bisa didorong agar mendapatkan sertifikat SFM, sehingga produknya bernilai tambah semakin tinggi," ungkap Dradjad yang juga ekonom senior Indef ini.
"Korporasi besar Indonesia yang memakai produk olahan hasil hutan juga perlu sadar, mereka tidak bisa lagi lalai terhadap isu SFM," pungkasnya.