Penulis: Jay Waluyo - Editor: Jurnal Parlemen
Senin, 8 Juni 2015 10:40:16
Setelah pensiun dari DPR tahun 2009, politisi PAN Dradjad Hari Wibowo kembali menekuni pembangunan berkelanjutan. Sebagai wadahnya, ia mendirikan Sustainable Development Indonesia (SDI).
Jakarta - Setelah pensiun dari DPR tahun 2009, politisi PAN Dradjad Hari Wibowo kembali menekuni pembangunan berkelanjutan. Sebagai wadahnya, ia mendirikan Sustainable Development Indonesia (SDI), dengan fokus pada kajian dan implementasi sustainable development (SD).
Dua komponen utama SD, yaitu keadilan intra-generasi dan keadilan antar-generasi, menjadi topik utama SDI. Isu keadilan sosial (social justice) yang sering memicu pemberontakan saat ia sejak remaja, masuk di dalam komponen keadilan intra-generasi. Yaitu, keadilan antar kelompok masyarakat dalam sebuah generasi.
"Pada tanggal 9 September 2011, saya melalui SDI mendirikan IFCC (Indonesian Forestry Certification Cooperation) bersama beberapa teman. IFCC bergerak di bidang Pengelolaan Hutan Lestari (Sustainable Forest Management - SFM) dengan fokus pada sertifikasi SFM," ujar Ketua Umum IFCC Dradjad Wibowo di sela-sela penyerahan sertifikat pengelolaan hutan lestari PEFC/IFCC kepada groups Sinarnas Forestry (SMF)/ APP dan APRL, diKempiski Hotel Indonesia, Senin (8/6).
Dradjad menjelaskan, bahwa IFCC ini didirikan untuk mendorong penerapan SFM di Indonesia, mengingat pengelolaan hutan Indonesia dinilai dunia jauh dari kaidah-kaidah kelestarian. Indonesia semakin mendapat tekanan global karena dianggap gagal mengatasi pembalakan liar (illegal logging) dan perdagangan hasil hutan ilegal (ilegal trade).
Pelaku usaha bidang kehutanan dan industri pengolahan hasil hutan pun terkena imbasnya. Mereka semakin sulit menjual produknya ke pasar dunia, kecuali mereka bisa membuktikan bahwa produknya berasal dari hutan yang dikelola mengikuti SFM.
"Pembuktian tersebut diwujudkan melalui sertifikat SFM dan sertifikat lacak balak (Chain of Custody - CoC)," ujarnya.
Dengan kedua jenis sertifikat ini, kata Dradjad, pelaku usaha membuktikan kepada konsumen global bahwa dari hulu hingga hilir, produknya berasal dari hutan SFM. Karena itu, salah satu alasan pendirian IFCC adalah untuk menjawab keluhan dan kebutuhan dunia usaha, yang ekspornya terancam karena belum mempunyai sertifikat di atas.
"Sebagai contohnya, kita lihat ekspor bubur kertas dan kertas (pulp and papers). Nilai ekspornya pada tahun 2013 sekitar US$ 4,28 milyar. Tahun 2014 di atas US$ 5 milyar. Konsumen dari Amerika Utara dan Eropa Barat cenderung mensyaratkan sertifikat SFM. Mereka menyumbang 1/3 dari konsumsi dunia," tegasnya.
Di Asia Pasifik, kata Dradjad, pasar Jepang dan Australia juga sudah lama mensyaratkan sertifikasi. Jadi, jika Indonesia tidak mempunyai sertifikat yang diakui dunia, ekspor senilai lebih dari Rp 65 triliun per tahun terancam. Dihitung kasar, tanpa sertifikasi Indonesia bisa kehilangan ekspor Rp 15-20 triliun per tahun.
"Dampaknya terhadap penerimaan pajak, kredit perbankan, hingga lapangan kerja akan cukup besar. Ini baru dari produk pulp and papers, belum industri hasil hutan lainnya. IFCC berdiri antara lain untuk menjawab ancaman tersebut," ujarnya.
Lebih lanjut Dradjad mengatakan, skema sertifikasi SFM dan CoC yang terbesar di dunia saat ini adalah skema PEFC (Programme for the Endorsement of Forest Certification) yang berbasis di Jenewa, Swiss. IFCC menjadi anggota dan National-Governing Body (NGB) PEFC sejak tahun 2012.
Pada bulan November 2013, IFCC mengajukan skema sertifikasinya untuk mendapat pengakuan dari PEFC. Pada tanggal 1 Oktober 2014, IFCC memperoleh pengakuan tersebut.
"Di internal PEFC, skema IFCC tergolong yang tercepat mendapat pengakuan, yaitu kurang dari 1 tahun sejak diajukan. Negara-negara lain memerlukan 2-3 tahun, Malaysia bahkan hingga 6 tahun," tegasnya.
Seusai Kongres PAN di Bali, Dradjad mengaku istirahat dari politik praktis, sehingga mempunyai waktu lebih untuk menggenjot kinerja IFCC.
Apalagi, IFCC menargetkan minimal 1 juta hektar areal Hutan Tanaman Industri (HTI) bisa memperoleh sertifikat PEFC pada tahun 2015.
"Alhamdulillah selama 3 bulan saya istirahat politik, per 8 Juni 2015 Indonesia sudah mempunyai 7 perusahaan HTI yang berhak menerima sertifikat SFM PEFC/IFCC, yang akan diserahkan pada hari ini juga. Ketujuh perusahaan tersebut berasal dari dua grup, yaitu APRIL (5 perusahaan) dan APP (2 perusahaan), dengan total luas area 610,8 ribu hektar," tegasnya.
Kata Dradjad, penerbit sertifikat-nya adalah lembaga audit yang berbasis di Italia, dengan mitra lokal Indonesia, yaitu AJA Registrars Europe. Akreditasi terhadap skema IFCC ini diperoleh dari otoritas akreditasi Italia, yaitu Accredia. Melihat tren-nya, bukan tidak mungkin realisasi 2015 bisa mendekati 1,5 juta hektar.
"Selain korporasi seperti APP dan APRIL, sebagai pemilik skema sertifikasi, IFCC juga mendorong sertifikasi SFM terhadap hutan rakyat. Beberapa proyek hutan rakyat saat ini sedang dipersiapkan untuk sertifikasi," ujarnya.
Sebagai penutup, tambah Dradjad, kredibilitas dan akseptabilitas sertifikat PEFC/IFCC berasal dari konsumen dunia, pelaku pasar dan para stakeholders, baik lokal, nasional maupun global, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Pemerintah Italia, salah satu negara anggota G7, bahkan resmi mengakreditasi skema IFCC melalui Accredia.
"Itu sebabnya, IFCC sebagai lembaga non-pemerintah akan konsisten menjaga independensi, kredibilitas dan akseptabilitasnya, sebagaimana sudah dicontohkan oleh ISO dan PEFC. Badan hukum IFCC adalah perkumpulan," pungkasnya.