Senin, 08 Juni 2015 , 12:57:00 WIB
Laporan: Yayan Sopyani Al Hadi
RMOL. Indonesia semakin mendapat tekanan global karena dianggap gagal mengatasi pembalakan liar (illegal logging) dan perdagangan hasil hutan ilegal (ilegal trade). Pelaku usaha bidang kehutanan dan industri pengolahan hasil hutan pun terkena imbasnya.
"Mereka semakin sulit menjual produknya ke pasar dunia, kecuali mereka bisa membuktikan bahwa produknya berasal dari hutan yang dikelola mengikuti sustainable forest management (SFM)," kata ekonom Dradjad H Wibowo di sela-sela Presentation of Inaugural PEFC/IFCC Sustainable Forest Management Certificate di Bali Room, Hotel Indonesia Kempinsky, Jakarta (Senin, 8/6).
Menurut Dradjad, pembuktian tersebut diwujudkan melalui sertifikat SFM dan sertifikat lacak balak (Chain of Custody/CoC). Dengan kedua jenis sertifikat ini, pelaku usaha membuktikan kepada konsumen global bahwa dari hulu hingga hilir, produknya berasal dari hutan SFM.
"Karena itu, salah satu alasan pendirian IFCC adalah untuk menjawab keluhan dan kebutuhan dunia usaha, yang ekspornya terancam karena belum mempunyai sertifikat di atas," kata Dradjad, yang kini Jadi Ketua Umum Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC).
Terkait dengan IFCC, Dradjad menjelaskan bahwa salah satu kegiatannya setelah pensiun dari DPR tahun 2009 adalah kembali menekuni pembangunan berkelanjutan (sustainable development/SD). Sebagai wadahnya, ia mendirikan Sustainable Development Indonesia (SDI), dengan fokus pada kajian dan implementasi SD. Dua komponen utama SD, yaitu keadilan intra-generasi dan keadilan antar-generasi, menjadi topik utama SDI.
"Isu keadilan sosial (social justice) yang sering memicu pemberontakan saya sejak remaja, masuk di dalam komponen keadilan intra-generasi. Yaitu, keadilan antar kelompok masyarakat dalam sebuah generasi," ungkapnya.
Maka pada tanggal 9 September 2011, lanjutnya, melalui SDI ia mendirikan IFCC bersama beberapa teman. IFCC bergerak di bidang Pengelolaan Hutan Lestari (SFM) dengan fokus pada sertifikasi SFM.
"IFCC ini didirikan untuk mendorong penerapan SFM di Indonesia, mengingat pengelolaan hutan Indonesia dinilai dunia jauh dari kaidah-kaidah kelestarian," ungkapnya.
Terkait dengan persoalan di atas, Dradjad memberi contoh ekspor bubur kertas dan kertas (pulp and papers). Pada tahun 2013, nilai ekspornya sekitar 4,28 miliar dolar AS, dan pada tahun 2014 di atas 5 miliar dolar AS. Konsumen dari Amerika Utara dan Eropa Barat cenderung mensyaratkan sertifikat SFM, dan mereka menyumbang satu per tiga dari konsumsi dunia.
"Di Asia Pasifik, pasar Jepang dan Australia juga sudah lama mensyaratkan sertifikasi. Jadi, jika Indonesia tidak mempunyai sertifikat yang diakui dunia, ekspor senilai lebih dari Rp 65 triliun per tahun terancam. Dihitung kasar, tanpa sertifikasi Indonesia bisa kehilangan ekspor Rp 15-20 triliun per tahun," jelas Dradjad.
Dradjad melanjutkan bahwa dampak hal ini terhadap penerimaan pajak, kredit perbankan, hingga lapangan kerja akan cukup besar. Dan ini baru dari produk pulp and papers, belum industri hasil hutan lainnya.
"IFCC juga berdiri antara lain untuk menjawab ancaman tersebut," jelasnya lagi.
Dradjad melanjutkan, skema sertifikasi SFM dan CoC yang terbesar di dunia saat ini adalah skema PEFC (Programme for the Endorsement of Forest Certification) yang berbasis di Jenewa, Swiss. IFCC menjadi anggota dan National-Governing Body (NGB) PEFC sejak tahun 2012.
Pada bulan November 2013, IFCC mengajukan skema sertifikasinya untuk mendapat pengakuan dari PEFC. Pada tanggal 1 Oktober 2014, IFCC memperoleh pengakuan tersebut. Di internal PEFC, skema IFCC tergolong yang tercepat mendapat pengakuan, yaitu kurang dari 1 tahun sejak diajukan. Negara-negara lain memerlukan 2-3 tahun, Malaysia bahkan hingga 6 tahun.
"Seusai Kongres PAN di Bali, saya istirahat dari politik praktis, sehingga mempunyai waktu lebih untuk menggenjot kinerja IFCC. Apalagi, IFCC menargetkan minimal 1 juta hektar areal Hutan Tanaman Industri (HTI) bisa memperoleh sertifikat PEFC pada tahun 2015," jelasnya.
"Alhamdulillah selama tiga bulan saya istirahat politik, per 8 Juni 2015 Indonesia sudah mempunyai tujuh perusahaan HTI yang berhak menerima sertifikat SFM PEFC/IFCC," sambungnya.
Ketujuh perusahaan tersebut berasal dari dua grup, yaitu APRIL (5 perusahaan) dan APP (2 perusahaan), dengan total luas area 610,8 ribu hektar. Penerbit sertifikat-nya adalah lembaga audit yang berbasis di Italia, dengan mitra lokal Indonesia, yaitu AJA Registrars Europe. Akreditasi terhadap skema IFCC ini diperoleh dari otoritas akreditasi Italia, yaitu Accredia.
"Melihat tren-nya, bukan tidak mungkin realisasi 2015 bisa mendekati 1,5 juta hektar," sambung Dradjad
Selain korporasi seperti APP dan APRIL, sebagai pemilik skema sertifikasi, katanya lagi, IFCC juga mendorong sertifikasi SFM terhadap hutan rakyat. Beberapa proyek hutan rakyat saat ini sedang dipersiapkan untuk sertifikasi.
"Kredibilitas dan akseptabilitas sertifikat PEFC/IFCC berasal dari konsumen dunia, pelaku pasar dan para stakeholders, baik lokal, nasional maupun global, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Pemerintah Italia, salah satu negara anggota G7, bahkan resmi mengakreditasi skema IFCC melalui Accredia. Itu sebabnya, IFCC sebagai lembaga non-pemerintah akan konsisten menjaga independensi, kredibilitas dan akseptabilitasnya, sebagaimana sudah dicontohkan oleh ISO dan PEFC. Badan hukum IFCC adalah perkumpulan," demikian Dradjad.[ysa]