Respons Tuntutan Pasar Global, APHI-IFCC Kerjasama Sertifikasi Hutan PEFC

Nota kesepahaman Kerjasama (MoU) APHI-IFCC ditandatangani Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo dan Ketua Umum IFCC Saniah Widuri disaksikan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto di Jakarta, Rabu 14 September 2022.

TROPIS.CO- Sertifikasi merupakan tolok ukur dalam pengelolaan hutan lestari. Oleh karena itu, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) terus berupaya melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga dan skema sertifikasi untuk mendukung tata kelola hutan yang baik.

Kali ini APHI bersama Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) sepakat melakukan kerjasama dalam rangka mempromosikan standar￾standar pengelolaan Sumber Daya Hutan yang berkelanjutan. Skema yang disepakati oleh kedua lembaga ini adalah skema PEFC atau Program for the Endorsement of Forest Certification.

PEFC adalah standar yang ketat dan diakui oleh dunia yang bekerja sebagai suatu mekanisme untuk memverifikasi dan memajukan pengelolaan hutan estari dan produk kayu yang dihasilkan secara berkelanjutan.

Ini juga sesuai dengan tuntuan pasar global bahwa setiap produk yang dihasilkan oleh produsen mempunyai bukti sertifikat legal. Di pasar Uni Eropa, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Kanada dan Jepang membutuhkan sertifikasi lestari yang bebas deforestasi dan degradasi.

Nota kesepahaman Kerjasama (MoU) APHI-IFCC ditandatangani oleh Ketua Umum APHI Indroyono
Soesilo dan Ketua Umum IFCC Saniah Widuri disaksikan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto di Jakarta, Rabu 14 September 2022.

Agus Justianto memandang positif penandatanganan MoU tersebut dalam upaya mendorong serta meningkatkan pengelolaan hutan lestari di Indonesia. “Kami menyambut baik adanya kegiatan kerjasama antara APHI-IFCC melalui penerapansertifikasi kehutanan yang memenuhi tolak ukur pengelolaan hutan lestari skema Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC). Juga tentunya memenuhi standart dan indikator dan SVLK,” ujar Agus.

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) berfungsi untuk memastikan produk kayu dan bahan bakunya diperoleh atau berasal dari sumber yang asal-usulnya dan pengelolaannya memenuhi aspek legalitas. Kayu disebut legal bila asal-usul kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, pengangkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku.

Adanya nota kesepahaman ini diharapkan kedepannya audit dilakukan secara gabungan serta membantu mempromosikan SVLK ke pasar internasional, sesuai ISO 19011 tahun 2018 bahwa dimungkinkan adanya skema penggabungan mandatory dan voluntary.

Seperti kita ketahui dalam dunia Sertifikasi dikenal dengan sebutan Sertifikasi Mandatory dan Sertifikasi Voluntary, dua skema tersebut mempunyai tujuan untuk mempromosikan pengelolaan hutan lestari.

“ Sejak diterbitkan UUCK (UU Cipta Kerja) , SVLK bertransformasi menjadi sistem verifikasi legalitas dan kelestarian dimana ruang lingkup tidak hanya terbatas kayu tapi juga hasil hutan bukan kayu, serta menjamin produk hasil hutan tersebut dapat ditelusuri dari sumber yang legal atau lestari mulai dari hulu hilir sampai pemasaran,” Agus menambahkan.

Adanya permintaan pasar atas produk-produk kehutanan yang bersertifikat voluntary, walaupun sudah memiliki sertifikat SVLK atau mandatory yang akan berimplikasi terhadap waktu pelaksanaan sertifikasi, SDM, khususnya auditor dengan kompetensi skema voluntary dan atau skema mandatory. “Dalam konteks ini unit management perlu kesiapan untuk menghadapi kedua skema tersebut, selain itu juga mengakibatkan double biaya yang terkait dengan sertifikasi. Ini menjadi beban biaya bagi unit management yang disertifikasi” imbuhnya.

Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan bahwa perluasan kerjasama parapihak untuk meningkatkan pencapaian sertifikasi pengelolaan hutan di Indonesia menjadi prioritas APHI kedepan. Menurut dia APHI akan terus berupaya melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga dan skema sertifikasi yang ada untuk mendukung tata kelola yang baik dan perluasan pasar termasuk dengan IFCC/PEFC

Perluasan pasar ekspor produk hasil hutan Indonesia di pasar global akan semakin menghadapi tantangan, utamanya isu-isu tentang sosial dan lingkungan, transparansi, kesehatan dan keselamatan kerja serta Hak Asasi Manusia (HAM). ”Penanganan isu-isu ini sangat mempengaruhi preferensi konsumen. Oleh karenanya, sertifikasi hutan menjadi instrumen penting dan sangat relevan untuk menjawab tantangan tersebut,” paparnya.

APHI menyampaikan apresiasi dan menyambut baik dengan resminya Komite Akreditasi Nasional (KAN) mengoperasikan akreditasi IFCC sebagai skema sertifikasi kehutanan voluntary pada bulanJuni 2022. “IFCC merupakan skema sertifikasi kehutanan voluntary pertama yang diakreditasi oleh KAN, sehingga ke depan akan makin memperkuat sinergi antara sertifikasi mandatory dan sertifikasi voluntary di Indonesia” jelas Indroyono. Selain kegiatan pembinaan menuju Pengelolaan Hutan Lestari yang selama ini dilaksanakan, diharapkan IFCC juga mendukung upaya APHI untuk menyiapkan anggota APHI terkait peningkatan kapasitas SDM Anggota serta penanganan berbagai persoalan yang dihadapi PBPH. APHI menaruh harapan besar melalui Kerjasama dengan IFCC ini.

”Kami berharap, semoga penandatanganan Nota Kesepahaman APHI-IFCC ini menjadi langkah awal untuk menempatkan sertifikasi pengelolaan hutan lestari sebagai instumen untukperbaikan tata kelola hutan di tingkat PBPH dan meningkatkan daya saing” ujar Indroyono.

Ketua IFCC Saniah Widuri menyambut baik dan berharap banyak atas kerjasamadengan APHI dan juga dukungan Ditjen PHL KLHK.“Kerjasama dengan APHI bertujuan untuk mendukung pengelolaan hutan lestari dan membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia sudah melakukan pengelolaan hutan lestari yangditunjukkan dengan sertifikasi” bebernya.

Saniah mengatakan hingga saat ini telah ada 4,1 juta hektare hutan di Indonesia yang memilikisertifikat pengelolaan hutan lestari PEFC. Selain itu ada juga 47 industri yang memperoleh sertifikat Chain of Custody PEFC. Sementara jumlah anggota sebanyak 49 anggota.”IFCC di-endorsed oleh PEFC sejak tahun 2014 dan terus mendorong unit-unit manajemen hutan di Indonesia untuk mengelola hutan secara lestari,” kata Saniah. Dia mengatakan, PEFC merupakan skema sertifikasi terbesar di dunia dengan total luas areal hutan tersertifikasi mencapai 325 juta hektare. Saniah juga mengatakan PEFC telah menjadi standar untuk pengadaan produk kayu di sejumlah Negara seperti Uni Eropa, Australia, maupun Jepang. Selain itu sejumlah industri konsumen jugamenjadikan PEFC sebagai standar.

Sumber: https://tropis.co/2022/09/14/respons-tuntutan-pasar-global-aphi-ifcc-kerjasama-sertifikasi-hutan-pefc/

 

APHI Gandeng IFCC Kerjasama Sertifikasi Untuk Pengelolaan Hutan Lestari dan Berdaya Saing

APHI Gandeng IFCC Kerjasama Sertifikasi Untuk Pengelolaan Hutan Lestari dan Berdaya Saing

Agrofarm.co.id-Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) sepakat melakukan kerjasama dalam rangka mempromosikan standar-standar pengelolaan Sumber Daya Hutan yang berkelanjutan menggunakan skema PEFC.

Nota kesepahaman Kerjasama (MoU) APHI-IFCC ditandatangani oleh Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo dan Ketua Umum IFCC Saniah Widuri disaksikan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto di Jakarta.

Agus memandang positif penandatanganan MoU tersebut dalam upaya mendorong serta meningkatkan pengelolaan hutan lestari di Indonesia.

“Kami menyambut baik adanya kegiatan kerjasama antara APHI-IFCC melalui penerapan sertifikasi kehutanan yang memenuhi tolak ukur pengelolaan hutan lestari skema Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC). Juga tentunya memenuhi standart dan indikator dan SVLK,” ungkap Agus, Rabu (14/9/2022).

Adanya nota kesepahaman ini diharapkan kedepannya audit dilakukan secara gabungan serta membantu mempromosikan SVLK ke pasar internasional, sesuai ISO 19011 tahun 2018 bahwa dimungkinkan adanya skema penggabungan mandatory dan voluntary.

Seperti kita ketahui dalam dunia Sertifikasi dikenal dengan sebutan Sertifikasi Mandatory dan Sertifikasi Voluntary, dua skema tersebut mempunyai tujuan untuk mempromosikan pengelolaan hutan lestari.

Sejak diterbitkan UUCK, SVLK bertransformasi menjadi sistem verifikasi legalitas dan kelestarian dimana ruang lingkup tidak hanya terbatas kayu tapi juga hasil hutan bukan kayu, serta menjamin produk hasil hutan tersebut dapat ditelusuri dari sumber yang legal atau lestari mulai dari hulu hilir sampai pemasaran, terang dia.

Adanya permintaan pasar atas produk-produk kehutanan yang bersertifikat voluntary, walaupun sudah memiliki sertifikat SVLK atau mandatory yang akan berimplikasi terhadap waktu pelaksanaan sertifikasi, SDM, khususnya auditor dengan kompetensi skema voluntary dan atau skema mandatory.

“Dalam konteks ini unit management perlu kesiapan untuk menghadapi kedua skema tersebut, selain itu juga mengakibatkan double biaya yang terkait dengan sertifikasi. Ini menjadi beban biaya bagi unit management yang disertifikasi,” imbuhnya.

Adanya tuntuan pasar global bahwa setiap produk yang dihasilkan oleh produsen mempunyai bukti sertifikat legal. Di pasar Uni Eropa, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Kanada dan Jepang membutuhkan sertifikasi lestari yang bebas deforestasi dan degradasi.

Pada kesempatan tersebut, Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan bahwa perluasan kerjasama parapihak untuk meningkatkan pencapaian sertifikasi pengelolaan hutan di Indonesia menjadi prioritas APHI kedepan.

“Sertifikasi merupakan tolok ukur dalam pengelolaan hutan lestari, untuk itu APHI akan terus berupaya melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga dan skema sertifikasi yang ada untuk mendukung tata kelola yang baik dan perluasan pasar termasuk dengan IFCC/PEFC,” imbuhnya.

Perluasan pasar ekspor produk hasil hutan Indonesia di pasar global akan semakin menghadapi tantangan, utamanya isu-isu tentang sosial dan lingkungan, transparansi, kesehatan dan keselamatan kerja serta Hak Asasi Manusia (HAM).

“Penanganan isu-isu ini sangat mempengaruhi preferensi konsumen. Oleh karenanya, sertifikasi hutan menjadi instrumen penting dan sangat relevan untuk menjawab tantangan tersebut,” ungkapnya.

APHI menyampaikan apresiasi dan menyambut baik dengan resminya Komite Akreditasi Nasional (KAN) mengoperasikan akreditasi IFCC sebagai skema sertifikasi kehutanan voluntary pada bulan Juni 2022.

“IFCC merupakan skema sertifikasi kehutanan voluntary pertama yang diakreditasi oleh KAN, sehingga ke depan akan makin memperkuat sinergi antara sertifikasi mandatory dan sertifikasi voluntary di Indonesia,” jelas Indroyono.

Selain kegiatan pembinaan menuju Pengelolaan Hutan Lestari yang selama ini dilaksanakan, IFCC juga mendukung upaya APHI untuk menyiapkan anggota APHI terkait peningkatan kapasitas SDM Anggota serta penanganan berbagai persoalan yang dihadapi PBPH.

“APHI menaruh harapan besar melalui Kerjasama dengan IFCC. Kami berharap, semoga penandatanganan Nota Kesepahaman APHI-IFCC ini menjadi langkah awal untuk menempatkan sertifikasi pengelolaan hutan lestari sebagai instumen untuk perbaikan tata kelola hutan di tingkat PBPH dan meningkatkan daya saing,” ujar Indroyono.

Sementara itu Ketua IFCC Saniah Widuri menyambut baik dan berharap banyak atas kerjasama dengan APHI dan juga dukungan Ditjen PHL KLHK.

“Kerjasama dengan APHI bertujuan untuk mendukung pengelolaan hutan lestari dan membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia sudah melakukan pengelolaan hutan lestari yang ditunjukkan dengan sertifikasi,” papar dia.

Saniah mengatakan hingga saat ini telah ada 4,1 juta hektare hutan di Indonesia yang memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari PEFC. Selain itu ada juga 47 industri yang memperoleh sertifikat Chain of Custody PEFC. Sementara jumlah anggota sebanyak 49 anggota.

“IFCC di-endorsed oleh PEFC sejak tahun 2014 dan terus mendorong unit-unit manajemen hutan di Indonesia untuk mengelola hutan secara lestari,” kata Saniah.

Dia mengatakan, PEFC merupakan skema sertifikasi terbesar di dunia dengan total luas areal hutan tersertifikasi mencapai 325 juta hektare.

Saniah juga mengatakan PEFC telah menjadi standar untuk pengadaan produk kayu di sejumlah Negara seperti Uni Eropa, Australia, maupun Jepang. Selain itu sejumlah industri konsumen juga menjadikan PEFC sebagai standar. Bantolo

Sumber: https://www.agrofarm.co.id/2022/09/50073/

Kerjasama Sertifikasi APHI–IFCC, Untuk Pengelolaan Hutan Lestari dan Berdaya Saing

JAKARTA, FIN.CO.ID -- Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) sepakat melakukan kerjasama dalam rangka mempromosikan standar- standar pengelolaan Sumber Daya Hutan yang berkelanjutan menggunakan skema PEFC.

Nota kesepahaman Kerjasama (MoU) APHI-IFCC ditandatangani oleh Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo dan Ketua Umum IFCC Saniah Widuri disaksikan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto di Jakarta, Rabu 14 September 2022.

Agus memandang positif penandatanganan MoU tersebut dalam upaya mendorong serta meningkatkan pengelolaan hutan lestari di Indonesia.

“Kami menyambut baik adanya kegiatan kerjasama antara APHI-IFCC melalui penerapan sertifikasi kehutanan yang memenuhi tolak ukur pengelolaan hutan lestari skema Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC). Juga tentunya memenuhi standart dan indikator dan SVLK,” ungkap Agus.

Adanya nota kesepahaman ini diharapkan kedepannya audit dilakukan secara gabungan serta membantu mempromosikan SVLK ke pasar internasional, sesuai ISO 19011 tahun 2018 bahwa dimungkinkan adanya skema penggabungan mandatory dan voluntary.

Seperti kita ketahui dalam dunia Sertifikasi dikenal dengan sebutan Sertifikasi Mandatory dan Sertifikasi Voluntary, dua skema tersebut mempunyai tujuan untuk mempromosikan pengelolaan hutan lestari.

“Sejak diterbitkan UUCK, SVLK bertransformasi menjadi sistem verifikasi legalitas dan kelestarian dimana ruang lingkup tidak hanya terbatas kayu tapi juga hasil hutan bukan kayu, serta menjamin produk hasil hutan tersebut dapat ditelusuri dari sumber yang legal atau lestari mulai dari hulu hilir sampai pemasaran,” ungkapnya.

Adanya permintaan pasar atas produk-produk kehutanan yang bersertifikat voluntary, walaupun sudah memiliki sertifikat SVLK atau mandatory yang akan berimplikasi terhadap waktu pelaksanaan sertifikasi, SDM, khususnya auditor dengan kompetensi skema voluntary dan atau skema mandatory.

“Dalam konteks ini unit management perlu kesiapan untuk menghadapi kedua skema tersebut, selain itu juga mengakibatkan double biaya yang terkait dengan sertifikasi. Ini menjadi beban biaya bagi unit management yang disertifikasi” imbuhnya.

Adanya tuntuan pasar global bahwa setiap produk yang dihasilkan oleh produsen mempunyai bukti sertifikat legal. Di pasar Uni Eropa, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Kanada dan Jepang membutuhkan sertifikasi lestari yang bebas deforestasi dan degradasi.

Pada kesempatan tersebut, Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan bahwa perluasan kerjasama parapihak untuk meningkatkan pencapaian sertifikasi pengelolaan hutan di Indonesia menjadi prioritas APHI kedepan.

“Sertifikasi merupakan tolok ukur dalam pengelolaan hutan lestari, untuk itu APHI akan terus berupaya melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga dan skema sertifikasi yang ada untuk mendukung tata kelola yang baik dan perluasan pasar termasuk dengan IFCC/PEFC” imbuhnya.

Perluasan pasar ekspor produk hasil hutan Indonesia di pasar global akan semakin menghadapi tantangan, utamanya isu-isu tentang sosial dan lingkungan, transparansi, kesehatan dan keselamatan kerja serta Hak Asasi Manusia (HAM).

”Penanganan isu-isu ini sangat mempengaruhi preferensi konsumen. Oleh karenanya, sertifikasi hutan menjadi instrumen penting dan sangat relevan untuk menjawab tantangan tersebut,” ungkapnya.

APHI menyampaikan apresiasi dan menyambut baik dengan resminya Komite Akreditasi Nasional (KAN) mengoperasikan akreditasi IFCC sebagai skema sertifikasi kehutanan voluntary pada bulan Juni 2022.

“IFCC merupakan skema sertifikasi kehutanan voluntary pertama yang diakreditasi oleh KAN, sehingga ke depan akan makin memperkuat sinergi antara sertifikasi mandatory dan sertifikasi voluntary di Indonesia” ungkap Indroyono.

Selain kegiatan pembinaan menuju Pengelolaan Hutan Lestari yang selama ini dilaksanakan, diharapkan IFCC juga mendukung upaya APHI untuk menyiapkan anggota APHI terkait peningkatan kapasitas SDM Anggota serta penanganan berbagai persoalan yang dihadapi PBPH. APHI menaruh harapan besar melalui Kerjasama dengan IFCC.

”Kami berharap, semoga penandatanganan Nota Kesepahaman APHI-IFCC ini menjadi langkah awal untuk menempatkan sertifikasi pengelolaan hutan lestari sebagai instumen untuk perbaikan tata kelola hutan di tingkat PBPH dan meningkatkan daya saing” ujar Indroyono.

Sementara itu Ketua IFCC Saniah Widuri menyambut baik dan berharap banyak atas kerjasama dengan APHI dan juga dukungan Ditjen PHL KLHK.

“Kerjasama dengan APHI bertujuan untuk mendukung pengelolaan hutan lestari dan membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia sudah melakukan pengelolaan hutan lestari yang ditunjukkan dengan sertifikasi” ungkapnya.

Saniah mengatakan hingga saat ini telah ada 4,1 juta hektare hutan di Indonesia yang memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari PEFC. Selain itu ada juga 47 industri yang memperoleh sertifikat Chain of Custody PEFC. Sementara jumlah anggota sebanyak 49 anggota.

"IFCC di-endorsed oleh PEFC sejak tahun 2014 dan terus mendorong unit-unit manajemen hutan di Indonesia untuk mengelola hutan secara lestari," kata Saniah.

Dia mengatakan, PEFC merupakan skema sertifikasi terbesar di dunia dengan total luas areal hutan tersertifikasi mencapai 325 juta hektare.

Saniah juga mengatakan PEFC telah menjadi standar untuk pengadaan produk kayu di sejumlah Negara seperti Uni Eropa, Australia, maupun Jepang. Selain itu sejumlah industri konsumen juga menjadikan PEFC sebagai standar.

Sumber: https://fin.co.id/read/108476/Kerjasama-Sertifikasi-APHIIFCC-Untuk-Pengelolaan-Hutan-Lestari-dan-Berdaya-Saing/15

APHI-IFCC Lakukan Kerjasama Sertifikasi untuk Pengelolaan Hutan Lestari

APHI-IFCC Lakukan Kerjasama Sertifikasi untuk Pengelolaan Hutan Lestari

JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) sepakat melakukan kerjasama dalam rangka mempromosikan standar-standar pengelolaan Sumber Daya Hutan yang berkelanjutan menggunakan skema PEFC. Nota kesepahaman Kerjasama (MoU) APHI-IFCC ditandatangani oleh Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo dan Ketua Umum IFCC Saniah Widuri disaksikan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto di Jakarta, Rabu (14/9/2022). Agus memandang positif penandatanganan MoU tersebut dalam upaya mendorong serta meningkatkan pengelolaan hutan lestari di Indonesia. “Kami menyambut baik adanya kegiatan kerjasama antara APHI-IFCC melalui penerapan sertifikasi kehutanan yang memenuhi tolak ukur pengelolaan hutan lestari skema Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC). Juga tentunya memenuhi standart dan indikator dan SVLK,” ungkap Agus. Adanya nota kesepahaman ini diharapkan ke depannya audit dilakukan secara gabungan serta membantu mempromosikan SVLK ke pasar internasional, sesuai ISO 19011 tahun 2018 bahwa dimungkinkan adanya skema penggabungan mandatory dan voluntary. (Baca juga:Kelompok Tani Hutan di Jambi Terima SK Hutan Adat, Hutan Sosial dan SK Tora dari Presiden) Seperti kita ketahui dalam dunia Sertifikasi dikenal dengan sebutan Sertifikasi Mandatory dan Sertifikasi Voluntary, dua skema tersebut mempunyai tujuan untuk mempromosikan pengelolaan hutan lestari. “Sejak diterbitkan UUCK, SVLK bertransformasi menjadi sistem verifikasi legalitas dan kelestarian di mana ruang lingkup tidak hanya terbatas kayu, tapi juga hasil hutan bukan kayu, serta menjamin produk hasil hutan tersebut dapat ditelusuri dari sumber yang legal atau lestari mulai dari hulu hilir sampai pemasaran,” ungkapnya. Adanya permintaan pasar atas produk-produk kehutanan yang bersertifikat voluntary, walaupun sudah memiliki sertifikat SVLK atau mandatory yang akan berimplikasi terhadap waktu pelaksanaan sertifikasi, SDM, khususnya auditor dengan kompetensi skema voluntary dan atau skema mandatory. (Baca juga:Indonesia Pimpin Dialog FACT, 23 Negara Janji Bantu Hutan-hutan Dunia) “Dalam konteks ini unit management perlu kesiapan untuk menghadapi kedua skema tersebut, selain itu juga mengakibatkan double biaya yang terkait dengan sertifikasi. Ini menjadi beban biaya bagi unit management yang disertifikasi” imbuhnya.

Sumber: https://ekbis.sindonews.com/read/885183/34/aphi-ifcc-lakukan-kerjasama-sertifikasi-untuk-pengelolaan-hutan-lestari-1663157375

APHI-IFCC Kerja Sama Implementasikan Sertifikasi Hutan PEFC, Perkuat Penetrasi ke Internasional

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) bekerja sama untuk mendorong implementasi sertifikasi pengelolaan hutan voluntary dengan skema PEFC (Programme for the Endorsement of Forest Certification).

Kerja sama ini diharapkan memperkuat penetrasi pasar produk kayu Indonesia di tengah permintaan pasar yang semakin menuntut produk ramah lingkungan.

Implementasi sertifikasi PEFC diharapkan bisa semakin memperkuat keberterimaan produk kayu Indonesia yang telah memiliki sertifikat mandatory SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian) di pasar global.

Nota kesepahaman antara APHI-IFCC ditandatangani oleh Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo dan Ketua IFCC Saniah Widuri dengan di saksikan oleh Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto, di Jakarta, Rabu, 14 September 2022.

Agus mengatakan pemerintah tidak akan menghambat skema voluntary sepanjang sejalan dan memberikan dampak positif pada SVLK.

“Dengan adanya nota kesepahaman ini diharapkan ke depan audit dapat dilakukan secara gabungan serta membantu mempromosikan SVLK ke pasar internasional,” kata dia.

Sebagai skema sertifikasi voluntary, SVLK dikembangkan sejak tahun 2003 secara akuntabel dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

SVLK juga juga telah mendapat pengakuan dari berbagai Negara dan hingga saat ini menjadi satu-satunya sekma sertifikasi yang disetarakan sebagai lisensi FLEGT oleh Uni Eropa.

Meski demikian, ada konsumen yang meminta produk kayu yang dibeli dilengkapi dengan sertifikat voluntary. Ini menjadi beban biaya bagi unit manajemen pengelolaan hutan yang akan disertifikasi.

Beban itu dikurangi jika dilakukan audit gabungan skema mandatory dan voluntary sesuai dengan ISO 19011:2018.

Agus berpesan dalam prosesnya agar lembaga penilai yang akan melakukan audit mengikuti proses akreditasi yang dilakukan di Indonesia bekerja sama dengan Komite Akreditasi Nasional (KAN).

Agus juga mengingatkan agar dalam proses audit tidak membuat standar baru.

“Skema voluntary wajib mempersyaratakan SVLK sebagai salah satu komponen audit. Logo SVLK juga wajib dicantumkan pada dokumen angkutan, sertifikat, produk, dan kemasan,” katanya.

Ketua Umum APHI Indryono Soesilo menegaskan komitmen pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk menerapkan pengelolaan hutan lestari yang dibuktikan dengan sertifikasi.

“Yang penting biaya (sertifikasi)-nya murah,” kata dia.

Indroyono mengatakan dengan adanya sertifikasi diharapkan bisa mendukung peningkatan ekspor produk kayu Indonesia. Tahun ini, hingga Agustus, ekspor produk kayu Indonesia sudah mencapai 9,75 miliar dolar naik sebesar 14,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 8,55 miliar dolar.

“Jika tren-nya terus berlangsung, maka nilai ekspor mungkin bisa 14,5 miliar dolar AS sampai akhir tahun nanti melebihi catatan tahun lalu yang sebesar 13,57 miliar dolar AS. Ini rekor tertinggi,” katanya.

Sementara itu Ketua IFCC Saniah Widuri mengatakan hingga saat ini telah ada 4,1 juta hektare hutan di Indonesia yang memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari PEFC. Selain itu ada juga 47 industri yang memperoleh sertifikat Chain of Custody PEFC. Sementara jumlah anggota sebanyak 49 anggota. “IFCC di-endorsed oleh PEFC sejak tahun 2014 dan terus mendorong unit-unit manajemen hutan di Indonesia untuk mengelola hutan secara lestari,” kata Saniah.

Dia mengatakan, PEFC merupakan skema sertifikasi terbesar di dunia dengan total luas areal hutan tersertifikasi mencapai 325 juta hektare.

Saniah juga mengatakan PEFC telah menjadi standar untuk pengadaan produk kayu di sejumlah Negara seperti Uni Eropa, Australia, maupun Jepang. Selain itu sejumlah industri konsumen juga menjadikan PEFC sebagai standar.

Sumber: https://forestinsights.id/2022/09/14/aphi-ifcc-kerja-sama-implementasikan-sertifikasi-hutan-pefc-perkuat-penetrasi-ke-internasional/