Sertifikasi Lestari Harus Berorientasi Global

ilustrasi

Warta Ekonomi.co.id, Jakarta - Sertifikasi hutan lestari harus memenuhi standar global dalam hal pengelolaan lestari dan keberlanjutan, namun tetap memiliki kekhasan Indonesia. Saat ini, penyematan label lestari memberi banyak kemudahan bagi kalangan industri untuk bersaing di pasar mancanegara.

Sekretariat Nasional Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Agus Setyarso mengatakan, pemerintah menetapkan Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK ) sebagai sertifikasi wajib   bagi setiap produsen. Label SVLK menjadi jaminan bahwa setiap produk kayu ekspor telah sesuai dengan hukum hutan di Indonesia  dan memenuhi tuntutan pasar global dalam hal kelestarian.  

Sertifikasi sukarela seperti Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) yang memiliki kekhasan Indonesia juga menjadi penting karena pasar global meminta.

“Di banyak negara terutama yang sensitif dengan isu lingkungan permintaan terhadap produk  berlabel IFCC yang diinisiasi Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) terus meningkat. Produk berlabel lestari yang diterbitkan penilai independen  dunia kini menjadi bagian penting dari permintaan pasar,” kata Agus di Jakarta, Kamis (24/11/2016).

Karena itu, kata Agus, skema sertifikasi IFCC perlu terus ditingkatkan karena tuntutan masyarakat global makin beragam. “Tata kelola hutan yang baik agar lingkungan tejaga dan hutan Indonesia tidak rusak menjadi tuntutan pasar dunia.” tambahnya.

Tata kelola hutan harus dilihat dari proses keserasian antara pengukuhan dan penetapan kawasan hutan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Pada akhirnya tata kelola dilihat sebagai sebuah landscape ekonomi, politik, sosial dan tata ruang yang utuh.

Menurut Agus, hingga akhir tahun 2019 , pemerintah menargetkan membentuk 600 KPH yang bekerja secara profesional untuk mengelola  hutan secara lestari dan bertanggung jawab.

Jika target itu terealisasi, kedepan sertifikasi cukup menginduk kepada KPH. Bila satu KPH memperoleh sertifikasi legalitas kayu, maka semua kayu yang keluar KPH dipastikan legal. “Tidak peduli, apakah kayu itu dikeluarkan oleh HPH, HTI atau masyarakat. Karena itu, sertifikasi di Indonesia harus kredibel dan memenuhi tuntutan pasar dunia,” kata Agus.

Herry Pumomo, Peneliti Center for International Fo-restry Research (CIFOR) menyatakan, sertifikat IFCC penting meskipun bersifat sukarela. 

Saat ini, sertifikat IFCC memang belum setenar FSC. Namun kedepan, permintaan terhadap produk bersertikat IFCC pasti meningkat. “Kita harus siap sejak awal. Jangan sampai begitu pasar meminta, baru merespon. Jika itu  terjadi, berarti kita tidak mampu menjual produk yang diminta pasar.” 

Herry menambahkan, konteks berwawasan lingkungan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan amanat konstitusi. Pada Pasal 33 ayat 4 setelah amandemen 1998 disebutkan bahwa pengembangan ekonomi sumber daya alam harus berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

“Konteks berkelanjutan di pasal itu jika dikonkretkan  menjadi sertifikasi. Karena itu, sertifikasi sangat penting dalam pembangunan berwawasan lingkungan.” terangnya.

Sumber berita: wartaekonomi.co.id