Inpres Joe Biden Singgung Batu Bara, Indonesia Bakal Kena Efeknya

Inpres Joe Biden Singgung Batu Bara, Indonesia Bakal Kena Efeknya - JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Dradjad H Wibowo mengingatkan Pemerintah RI mengantisipasi efek Executive Order (EO) 14008 yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada 27 Januari lalu.

Sebab, instruksi Bidententang kebijakan AS dalam mengantisipasi ancaman krisis iklim itu bakal berdampak signifikan bagi ekonomi Indonesia. Dradjad menyatakan bahwa Biden tidak menggunakan istilah climate change (perubahan iklim) dalam EO itu.

 

"Biden sudah pakai istilah climate crisis (krisis iklim, red). Ini efeknya luar biasa besar," ujar Dradjaddalam diskusi daring bertema "Sustainable Development Goals (SDGs), Pengelolaan Hutan Lestari dan Masa Depan Indonesia", Rabu (21/4). Ketua umum Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) itu memaparkan salah satu isi EO 14008 ialah ketentuan tentang listrik yang dihasilkan batu bara. Kebijakan itu juga melarang lembaga keuangan AS membiayai proyek pembangkit listrik berbasis batubara(financing coal).

Dradjad memerinci kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar fosil di Indonesia mencapai 55.216 megawatt (MW) pada 2020. Dari jumlah itu, pembangkit listrik berbahan bakar batu bara menyumbang 31.827 MW (50,4 persen).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) itu menegaskan bahwa AS tak akan mau membeli produk yang dibuat menggunakan energi listrik dari batu bara.

 

"Saat ini Indonesia dan Tiongkok masih pakai batu bara. Biden pintar, EO ini jadi alat perang dagang dengan Tiongkok," ulas Dradjad. Oleh karena itu, Dradjad mengajak pemerintah dan masyarakat Indonesia makin peduli pada isu lingkungan. Mantan ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan (DISK) Badan Intelijen Negara (BIN) itu menyatakan EO 14008 harus jadi pemicu bagi Indonesia. "Kita enggak bisa lagi business as usual (berbisnis seperti biasa, red). Kita harus terpicu ke energi bersih," ucap Dradjad. Jika Indonesia dianggap sebagai perusak hutan, kata Dradjad, maka produk-produk nasional pun tak akan laku di luar negeri. Hal sebaliknya terjadi apabila Indonesia dianggap peduli pada kelestarian hutan. "Ketika Indonesia dianggap merusak hutan, kita akan diboikot. Begitu kita dianggap good boy, kita naik lagi," kata board member Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) yang bermarkas di Jenewa, Swiss itu. (ara/jpnn)

Artikel ini telah tayang diJPNN.comdengan judul
"Inpres Joe Biden Singgung Batu Bara, Indonesia Bakal Kena Efeknya",
https://www.jpnn.com/news/inpres-joe-biden-singgung-batu-bara-indonesia-bakal-kena-efeknya?page=2

Joe Biden's Instruction Touches Coal, Indonesia Will Be Affected

Inpres Joe Biden Singgung Batu Bara, Indonesia Bakal Kena Efeknya - JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Dradjad H Wibowo mengingatkan Pemerintah RI mengantisipasi efek Executive Order (EO) 14008 yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada 27 Januari lalu.

Sebab, instruksi Bidententang kebijakan AS dalam mengantisipasi ancaman krisis iklim itu bakal berdampak signifikan bagi ekonomi Indonesia. Dradjad menyatakan bahwa Biden tidak menggunakan istilah climate change (perubahan iklim) dalam EO itu.

 

"Biden sudah pakai istilah climate crisis (krisis iklim, red). Ini efeknya luar biasa besar," ujar Dradjaddalam diskusi daring bertema "Sustainable Development Goals (SDGs), Pengelolaan Hutan Lestari dan Masa Depan Indonesia", Rabu (21/4). Ketua umum Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) itu memaparkan salah satu isi EO 14008 ialah ketentuan tentang listrik yang dihasilkan batu bara. Kebijakan itu juga melarang lembaga keuangan AS membiayai proyek pembangkit listrik berbasis batubara(financing coal).

Dradjad memerinci kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar fosil di Indonesia mencapai 55.216 megawatt (MW) pada 2020. Dari jumlah itu, pembangkit listrik berbahan bakar batu bara menyumbang 31.827 MW (50,4 persen).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) itu menegaskan bahwa AS tak akan mau membeli produk yang dibuat menggunakan energi listrik dari batu bara.

 

"Saat ini Indonesia dan Tiongkok masih pakai batu bara. Biden pintar, EO ini jadi alat perang dagang dengan Tiongkok," ulas Dradjad. Oleh karena itu, Dradjad mengajak pemerintah dan masyarakat Indonesia makin peduli pada isu lingkungan. Mantan ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan (DISK) Badan Intelijen Negara (BIN) itu menyatakan EO 14008 harus jadi pemicu bagi Indonesia. "Kita enggak bisa lagi business as usual (berbisnis seperti biasa, red). Kita harus terpicu ke energi bersih," ucap Dradjad. Jika Indonesia dianggap sebagai perusak hutan, kata Dradjad, maka produk-produk nasional pun tak akan laku di luar negeri. Hal sebaliknya terjadi apabila Indonesia dianggap peduli pada kelestarian hutan. "Ketika Indonesia dianggap merusak hutan, kita akan diboikot. Begitu kita dianggap good boy, kita naik lagi," kata board member Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) yang bermarkas di Jenewa, Swiss itu. (ara/jpnn)

Artikel ini telah tayang diJPNN.comdengan judul
"Inpres Joe Biden Singgung Batu Bara, Indonesia Bakal Kena Efeknya",
https://www.jpnn.com/news/inpres-joe-biden-singgung-batu-bara-indonesia-bakal-kena-efeknya?page=2

Ketua IFCC: Isu Perubahan Iklim dan Kelestarian Akan Menentukan Masa Depan Ekonomi Indonesia

Dradjad H Wibowo

Jakarta, Beritasatu.com - Ketua Umum Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCCDradjad Hari Wibowo menyatakan perekonomian global akan semakin ditentukan oleh topik yang termasuk dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Jika Indonesia tak bergerak melakukan perubahan saat ini, maka masa depan ekonomi negeri akan terancam.

Dradjad menjelaskan, isu tersebut di antaranya terkait aksi-aksi untuk mengatasi perubahan iklim, pengelolaan sumber daya alam secara lestari, kemiskinan, kelaparan, kesehatan dan sebagainya.

Dradjad menegaskan, korporasi besar Indonesia yang memakai produk olahan hasil hutan juga perlu sadar, mereka tidak bisa lagi lalai terhadap isu pengelolaan hutan lestasi (suistanable forest management - SFM).

"Percaya saya, di masa depan akan ditinggalkan pasar jika tidak peduli kelestarian. Trust me, sustainabily pays," kata Dradjad, dalam Forum Group Discussion (FGD) secara virtual dengan tema "Sustainable Development Goals (SDGs), Pengelolaan Hutan Lestari dan Masa Depan Indonesia", Rabu (21/4/2021).

Menurut Dradjad, isu ini kembali menjadi hal penting karena Amerika Serikat kembali dalam Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Hal itu terbukti dengan keluarnya Executive Order 14008 yang diteken Presiden AS Joe Biden pada 27 Januari 2021.

"Isinya semakin membuat krisis iklim dan topik SDGs lainnya berperan sentral dalam percaturan global ke depan," ujar Dradjad.

Langkah AS ini akan berdampak ke segala hal. Bukan hanya terhadap perekonomian dan keuangan global, tapi juga terhadap politik dan keamanan global.

Salah satu isu yang sudah dirasakan berdampak besar bagi Indonesia adalah pengelolaan hutan lestari (suistanable forest manement-SFM). Isu SFM ini sangat berpengaruh terhadap brand image Indonesia di berbagai forum global.

Berdasarkan catatannya, isu ini pernah pernah memukul ekspor Indonesia, dengan efek multiplier ekonomi yang tidak kecil. Namun dengan kerja keras berbagai pihak sejak dekade 2000-an, secara bertahap Indonesia mampu memperbaiki kinerja dan juga citra terkait SFM.

Saat ini, kata Dradjad, selama empat tahun berturut-turut pada tahun 2017-2020, laju deforestasi di Indonesia terus menurun. Menurut laporan the World Resources Institute (WRI), dalam periode 2002-2020 laju deforestasi di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2016, dengan angka moving average (MA) tiga tahun sebesar 0.78 juta hektare.

Namun sejak 2017, angka tersebut turun menjadi 0.66 juta hektare (2017), 0.55 juta hektare (2018), 0.35 juta hektare (2019), dan 0.31 juta hektare (2020).

Laporan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyebutkan laju deforestasi 2020 sebesar 115 ribu hektare, turun 75% dari tahun 2018/2019 sebesar 462,46 ribu hektare.

Indonesia pun disebut WRI sebagai “bright spots of hope for forests” bersama Malaysia. Kinerja positif tersebut diberitakan oleh dua media global terkemuka yaitu the Guardian dan the New York Times.

Dalam implementasi SFM, lanjutnya, Indonesia juga menunjukkan kinerja positif. Sebagai contoh untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), saat ini terdapat 67 perusahaan HTI dengan luas sekitar 4 juta hektare yang sudah memperoleh sertifikat SFM dari IFCC/PEFC. Ini berarti semua HTI yang dibangun sebelum cut of date PEFC, yaitu 31 Desember 2010, sudah mendapat sertifikat.

Untuk industri pengolahannya, PEFC/IFCC telah memberikan sertifikat chain of custody (CoC) kepada 38 perusahaan, mulai dari pabrik-pabrik kertas milik grup APP dan April, hingga perusahaan seperti Blibli (untuk tas belanja) dan Gramedia (untuk sebuah lini produk).

IFCC adalah lembaga pengembang dan pemilik skema sertifikasi independen, yang merupakan anggota dari PEFC (the Programme for the Endorsement of Forest Certification) yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss.

PEFC ini merupakan skema sertifikasi hutan lestari terbesar di dunia. Saat ini sudah lebih dari 320 juta hektare hutan di dunia yang bersertifikat SFM dari PEFC, ditambah lebih dari 20 ribu perusahaan bersertifikat chain of custody (CoC) dari PEFC.

"Banyak sekali korporasi terbesar di dunia yang mewajibkan adanya sertifikat PEFC sebagai salah satu syarat mereka mau membeli produk olahan hasil hutan, mulai dari kayu bangunan, kertas hingga baju. Korporasi tersebut mulai dari yang terbesar di dunia seperti Apple, Johnson & Johnson, Walmart, Nestle, P&G, Samsung hingga LV, Zara dan banyak lagi," kata Dradjad.

Sebagaimana diketahui, selama 20 tahun lebih HTI dan pulp and papers Indonesia menjadi sasaran kampanye LSM global dan nasional yang menuduh mereka sebagai salah satu faktor utama deforestasi. Akibatnya, korporasi dunia seperti Disney, Mattel, Xerox, Woolworths dan lain-lain sempat memboikot pulp and papers Indonesia, sehingga ekspornya menurun mencapai titik terendah sekitar US$ 5 miliar pada 2016. Namun sejak 2017, ekspor tersebut terus naik menjadi US$ 7.15 miliar (2019), dan hanya turun 4,4% menjadi US$ 6.84 miliar (2020) saat pandemi.

Di sisi lain, kata Dradjad, dari sisi SFM, baru pada Desember 2014 perusahaan HTI mulai berhasil mendapatkan sertifikat SFM dari IFCC/PEFC. Itu sebabnya pada tahun 2015 baru terdapat 0.7 juta hektare HTI yang bersertifikat SFM. Luas ini kemudian naik drastis menjadi 2.4 juta hektare (2016) dan 3.7 juta hektar (2017).

"Yang menarik, setelah semakin banyak HTI yang berhasil mencapai SFM, dan semakin banyak pabrik bubur kertas dan kertas yang mendapatkan sertifikat, ternyata ekspor Indonesia naik kembali. Peningkatan ekspor tersebut juga terjadi bersamaan dengan penurunan laju deforestasi, yaitu tahun 2017-2020," tegasnya.

Menurut dia, fakta ini menunjukkan kuatnya komitmen dan kinerja dari pemerintah, pelaku usaha HTI dan pulp and papers, dan para stakeholders dalam mewujudkan SFM di Indonesia.

Kinerja di atas tentu sangat menunjang kontribusi ekonomi dari HTI dan pulp and papers. HTI dewasa ini menyediakan lapangan kerja langsung 20.000-25.000u orang dan 2 juta tidak langsung.

Sementara pulp and papers menyerap 260.000 tenaga kerja langsung dan 1,1 juta tidak langsung. Belum lagi kontribusinya terhadap penerimaan pajak pusat dan daerah, pembangunan daerah, dan pengembangan masyarakat sekitar hutan dan industri.

Karena itu, Dradjad mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan UKM, untuk semakin meningkatkan kinerja terkait dengan pengelolaan hutan lestari. Maupun industri pengolahan dan perdagangan produk olahan hutan lestari oleh para pelaku usaha.

"Contoh konkretnya, pelaku mebel dan kerajinan perlu dibantu agar kayunya berasal dari hutan lestari sehingga mudah menembus pasar ekspor. Perhutanan sosial bisa didorong agar mendapatkan sertifikat SFM, sehingga produknya bernilai tambah semakin tinggi," ungkap Dradjad yang juga ekonom senior Indef ini.

"Korporasi besar Indonesia yang memakai produk olahan hasil hutan juga perlu sadar, mereka tidak bisa lagi lalai terhadap isu SFM," pungkasnya.

Source: https://www.beritasatu.com/nasional/763553/ketua-ifcc-isu-perubahan-iklim-dan-kelestarian-akan-menentukan-masa-depan-ekonomi-indonesia

Pengelolaan Hutan Lestari Terbukti Meningkatkan Ekspor Indonesia

Pengelolaan Hutan Lestari Terbukti Meningkatkan Ekspor Indonesia

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Pada tahun-tahun mendatang, perekonomian global akan semakin ditentukan oleh topik yang termasuk dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development goals-SDGs).

Isu tersebut antara lain terkait aksi-aksi untuk mengatasi perubahan iklim, pengelolaan sumber daya alam secara lestari, kemiskinan, kelaparan, kesehatan dan sebagainya.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum IFCC sekaligus Ekonom Senior Indef, Dradjad H Wibowo dalam webinar pada Rabu (21/4/2021).

Isu perubahan iklim pun katanya semakin menguat dengan keputusan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden yang menandatangani Kesepakatan Paris (Paris Agreement) pada tanggal 27 Januari 2021. 

Keputusan itu menempatkan krisis iklim dan topik SDGs lainnya berperan sentral dalam percaturan global ke depan.

"Bahkan, peranan ini bukan hanya terhadap perekonomian dan keuangan global, tapi juga terhadap politik dan keamanan global," ungkap Dradjad H Wibowo pada Rabu (21/4/2021).

Lebih lanjut dipaparkannya, salah satu isu yang sudah dirasakan berdampak besar bagi Indonesia adalah pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management – SFM). 

Isu SFM ini katanya sangat berpengaruh terhadap imej Indonesia di berbagai fora global. Isu ini juga pernah memukul ekspor Indonesia, dengan efek multiplier ekonomi yang tidak kecil. 

"Namun dengan kerja keras berbagai pihak sejak dekade 2000-an, yang melibatkan pemerintah, swasta, dan berbagai unsur masyarakat sipil, secara bertahap Indonesia mampu memperbaiki kinerja dan juga citra terkait SFM," papar Dradjad H Wibowo

Kini, lanjutnya, selama empat tahun berturut-turut pada tahun 2017-2020, laju deforestasi di Indonesia terus menurun. 

Menurut laporan the World Resources Institute (WRI) dalam periode 2002-2020 laju deforestasi di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2016, dengan angka moving average (MA) tiga tahun sebesar 0.78 juta hektar. 

Namun sejak tahun 2017, angka tersebut turun menjadi 0.66 juta hektar. Sedangkan pada tahun 2018 turun menjadi 0,55 juta hektare, tahun 2019 sebesar 0,35 juta hektare dan tahun 2020 sebesar 0,31 juta hektare.

Laporan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyebutkan laju deforestasi 2020 sebesar 115.000 hektar, turun 75 persen dari tahun 2018/ 2019 sebesar 462.460 hektar. 

"Indonesia pun disebut WRI sebagai bright spots of hope for forests' bersama Malaysia. Kinerja positif tersebut diberitakan oleh dua media global terkemuka yaitu the Guardian dan the New York Times," jelas Dradjad H Wibowo. 

Dalam implementasi SFM, lanjutnya, Indonesia juga menunjukkan kinerja positif.  Sebagai contoh untuk hutan tanaman industri (HTI) kini terdapat 67 perusahaan HTI dengan luas sekitar 4 juta hektar yang sudah memperoleh sertifikat SFM dari IFCC/PEFC (Lampiran 1). 

"Ini berarti semua HTI yang dibangun sebelum cut of date PEFC, yaitu 31 Desember 2010, sudah mendapat sertifikat," jelas Dradjad H Wibowo.

Sedangkan mengenai industri pengolahannya, PEFC/IFCC telah memberikan sertifikat chain of custody (CoC) kepada 38 perusahaan, mulai dari pabrik-pabrik kertas milik grup APP dan April, hingga perusahaan seperti Blibli (untuk tas belanja) dan Gramedia (untuk sebuah lini produk).

Dalam implementasi SFM, lanjutnya, Indonesia juga menunjukkan kinerja positif. Sebagai contoh untuk hutan tanaman industri (HTI) kini terdapat 67 perusahaan HTI dengan luas sekitar 4 juta hektar yang sudah memperoleh sertifikat SFM dari IFCC/PEFC (Lampiran 1). 

"Ini berarti semua HTI yang dibangun sebelum cut of date PEFC, yaitu 31 Desember 2010, sudah mendapat sertifikat," jelas Dradjad H Wibowo.

Sedangkan mengenai industri pengolahannya, PEFC/IFCC telah memberikan sertifikat chain of custody (CoC) kepada 38 perusahaan, mulai dari pabrik-pabrik kertas milik grup APP dan April, hingga perusahaan seperti Blibli (untuk tas belanja) dan Gramedia (untuk sebuah lini produk).

Saat ini sudah lebih dari 320 juta hektar hutan di dunia yang bersertifikat SFM dari PEFC, ditambah lebih dari 20.000 perusahaan bersertifikat chain of custody (CoC) dari PEFC. Saya adalah anggota PEFC Board.

Dradjad H Wibowo menyebutkan ada banyak korporasi di dunia yang mewajibkan adanya sertifikat PEFC, sebagai salah satu syarat mereka mau membeli produk olahan hasil hutan, mulai dari kayu bangunan, kertas hingga baju. 

Korporasi tersebut mulai dari yang terbesar di dunia seperti Apple, Johnson & Johnson, Walmart, Nestle, P&G, Samsung hingga LV, Zara dan lainnya.

"Sebagaimana diketahui, selama 20 tahun lebih HTI dan pulp and papers Indonesia menjadi sasaran kampanye LSM global dan nasional yang menuduh mereka sebagai salah satu faktor utama deforestasi," ungkap Dradjad H Wibowo.

"Akibatnya, korporasi dunia seperti Disney, Mattel, Xerox, Woolworths dan lain-lain sempat memboikot pulp and papers Indonesia, sehingga ekspornya menurun mencapai titik terendah sekitar USD 5 milyar pada 2016," jelasnya.

Namun sejak 2017, ekspor tersebut terus naik menjadi USD 7.15 milyar (2019), dan hanya turun 4,4% menjadi USD 6.84 milyar (2020) saat pandemi. Di sisi lain dari sisi SFM, baru pada Desember 2014 perusahaan HTI mulai berhasil mendapatkan sertifikat SFM dari IFCC/PEFC.  Itu sebabnya pada tahun 2015 baru terdapat 0.7 juta hektar HTI yang bersertifikat SFM. Luas ini kemudian naik drastis menjadi 2.4 juta hektar (2016) dan 3.7 juta hektar (2017).

Yang menarik, menurutnya adalah semakin banyak HTI yang berhasil mencapai SFM, dan semakin banyak pabrik bubur kertas dan kertas yang mendapatkan sertifikat, ternyata ekspor Indonesia naik kembali. 

Peningkatan ekspor tersebut juga terjadi bersamaan dengan penurunan laju deforestasi, yaitu tahun 2017-2020.

Fakta ini menunjukkan kuatnya komitmen dan kinerja dari pemerintah, pelaku usaha HTI dan pulp and papers, dan para stakeholders dalam mewujudkan SFM di Indonesia.

"Karena upaya mewujudkan SFM memerlukan investasi yang besar, transformasi budaya dan manajemen perusahaan yang signifikan, serta kerja keras dari banyak pihak, tidaklah berlebihan jika dikatakan pencapaian SFM, yang dibuktikan dengan sertifikat IFCC/PEFC, berkontribusi penting terhadap kinerja ekspor di atas," jelasnya.

Kinerja tersebut katanya sangat menunjang kontribusi ekonomi dari HTI dan pulp and papers. HTI dewasa ini menyediakan lapangan kerja langsung 20-25 ribu orang dan 2 juta tidak langsung. Sementara pulp and papers menyerap 260.000 tenaga kerja langsung dan 1,1 juta tidak langsung. Belum lagi kontribusinya terhadap penerimaan pajak pusat dan daerah, pembangunan daerah, dan pengembangan masyarakat sekitar hutan dan industri. 

"Karena itu, saya mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan UKM, untuk semakin meningkatkan kinerja terkait dengan pengelolaan hutan lestari, maupun industri pengolahan dan perdagangan produk olahan hutan lestari oleh para pelaku usaha," jelas Dradjad H Wibowo.

Contoh kongkretnya, lanjutnya, pelaku mebel dan kerajinan perlu dibantu agar kayunya berasal dari hutan lestari sehingga mudah menembus pasar ekspor. Perhutanan sosial bisa didorong agar mendapatkan sertifikat SFM, sehingga produknya bernilai tambah semakin tinggi. Korporasi besar Indonesia yang memakai produk olahan hasil hutan juga perlu sadar, mereka tidak bisa lagi lalai terhadap isu SFM. 

"Percaya saya, di masa depan anda akan ditinggalkan pasar jika tidak peduli kelestarian," tutupnya.

Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Pengelolaan Hutan Lestari Terbukti Meningkatkan Ekspor Indonesia, https://wartakota.tribunnews.com/2021/04/21/pengelolaan-hutan-lestari-terbukti-meningkatkan-ekspor-indonesia?page=4.
Penulis: Dwi Rizki
Editor: Dwi Rizki

 

Dradjad: Isu Perubahan Iklim dan Kelestarian Tentukan Masa Depan Ekonomi Indonesia

Ketua Umum IFCC Dradjad H. Wibowo Berpandangan Bahwa Isu Perubahan Iklim dan Kelestarian Akan Mentukan Masa Depan Ekonomi Indonesia

JAKARTA, SUARA PEMRED - Pengelolaan hutan lestari terbukti mampu meningkatkan ekspor Indonesia. Dimana pada tahun-tahun mendatang, perekonomian global akan semakin ditentukan oleh topik yang termasuk dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development goals – SDGs). 

Isu tersebut antara lain terkait aksi-aksi untuk mengatasi perubahan iklim, pengelolaan sumber daya alam secara lestari, kemiskinan, kelaparan, kesehatan dan sebagainya. 

Ketua Umum IFCC Dradjad H. Wibowo menjelaskan, kembalinya Amerika Serikat ke dalam Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang termasuk dalam Executive Order 14008 yang diteken Presiden Joe Biden tanggal 27 Januari 2021 semakin membuat krisis iklim dan topik SDGs lainnya, berperan sentral dalam percaturan global ke depan. 

“Bahkan, peranan ini bukan hanya terhadap perekonomian dan keuangan global, tapi juga terhadap politik dan keamanan global,” ujar Dradjad dalam FGD membahas Perubahan Iklim dan Kelestarian bagi masa depan ekonomi Indonesia, Rabu (21/4).

Lebih lanjut Dradjad menjelaskan, salah satu isu yang sudah dirasakan berdampak besar bagi Indonesia adalah pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management – SFM). Isu SFM ini sangat berpengaruh terhadap brand image Indonesia di berbagai fora global. Isu ini juga pernah memukul ekspor Indonesia, dengan efek multiplier ekonomi yang tidak kecil. 

“Namun dengan kerja keras berbagai pihak sejak dekade 2000-an, yang melibatkan pemerintah, swasta, dan berbagai unsur masyarakat sipil, secara bertahap Indonesia mampu memperbaiki kinerja dan juga citra terkait SFM,” ujar  Dradjad.

Saat ini, kata  Dradjad, selama empat tahun berturut-turut pada tahun 2017-2020, laju deforestasi di Indonesia terus menurun.  Dari laporan the World Resources Institute (WRI), dalam periode 2002-2020 laju deforestasi di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2016, dengan angka moving average (MA) tiga tahun sebesar 0.78 juta hektar. Namun sejak 2017, angka tersebut turun menjadi 0.66 juta hektar (2017), 0.55 juta hektar (2018), 0.35 juta hektar (2019), dan 0.31 juta hektar (2020). Laporan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyebutkan Dradsebesar 462,46 ribu hektar. Indonesia pun disebut WRI sebagai “bright spots of hope for forests” bersama Malaysia. 

“Kinerja positif tersebut diberitakan oleh dua media global terkemuka yaitu the Guardian dan the New York Times,” ujar Ketua Pembina SDI ini.

Dalam implementasi SFM, menurut Dradjad, Indonesia juga menunjukkan kinerja positif. Sebagai contoh untuk hutan tanaman industri (HTI), saat ini terdapat 67 perusahaan HTI dengan luas sekitar 4 juta hektar yang sudah memperoleh sertifikat SFM dari IFCC/PEFC. 

Hal Ini berarti semua HTI yang dibangun sebelum cut of date PEFC, yaitu 31 Desember 2010, sudah mendapat sertifikat. Untuk industri pengolahannya, PEFC/IFCC telah memberikan sertifikat chain of custody (CoC) kepada 38 perusahaan, mulai dari pabrik-pabrik kertas milik grup APP dan April, hingga perusahaan seperti Blibli (untuk tas belanja) dan Gramedia (untuk sebuah lini produk). 

IFCC (the Indonesian Forestry Certification Cooperation) adalah lembaga pengembang dan pemilik skema sertifikasi independen, yang merupakan anggota dari PEFC (the Programme for the Endorsement of Forest Certification) yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss. PEFC ini merupakan skema sertifikasi hutan lestari terbesar di dunia. 

“Saat ini sudah lebih dari 320 juta hektar hutan di dunia yang bersertifikat SFM dari PEFC, ditambah lebih dari 20 ribu perusahaan bersertifikat chain of custody (CoC) dari PEFC. Saya adalah anggota PEFC Board,” tegas Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Kata Dradjad, banyak sekali korporasi terbesar di dunia yang mewajibkan adanya sertifikat PEFC sebagai salah satu syarat mereka mau membeli produk olahan hasil hutan. Mulai dari kayu bangunan, kertas hingga baju. Korporasi tersebut mulai dari yang terbesar di dunia seperti Apple, Johnson & Johnson, Walmart, Nestle, P&G, Samsung hingga LV, Zara dan banyak lagi.

Sebagaimana diketahui, selama 20 tahun lebih HTI dan pulp and papers Indonesia menjadi sasaran kampanye LSM global dan nasional yang menuduh mereka sebagai salah satu faktor utama deforestasi. Akibatnya, korporasi dunia seperti Disney, Mattel, Xerox, Woolworths dan lain-lain sempat memboikot pulp and papers Indonesia, sehingga ekspornya menurun mencapai titik terendah sekitar USD 5 milyar pada 2016.

“Namun sejak 2017, ekspor tersebut terus naik menjadi USD 7.15 milyar (2019), dan hanya turun 4,4% menjadi USD 6.84 milyar (2020) saat pandemic,” tegasnya.

Di sisi lain dari sisi SFM, baru pada Desember 2014 perusahaan HTI mulai berhasil mendapatkan sertifikat SFM dari IFCC/PEFC. Itu sebabnya pada tahun 2015 baru terdapat 0.7 juta hektar HTI yang bersertifikat SFM. Luas ini kemudian naik drastis menjadi 2.4 juta hektar (2016) dan 3.7 juta hektar (2017). 

Yang menarik, kata Dradjad, setelah semakin banyak HTI yang berhasil mencapai SFM, dan semakin banyak pabrik bubur kertas dan kertas yang mendapatkan sertifikat, ternyata ekspor Indonesia naik kembali.  Peningkatan ekspor tersebut juga terjadi bersamaan dengan penurunan laju deforestasi, yaitu tahun 2017-2020. 

Fakta ini menunjukkan kuatnya komitmen dan kinerja dari pemerintah, pelaku usaha HTI dan pulp and papers, dan para stakeholders dalam mewujudkan SFM di Indonesia. Karena upaya mewujudkan SFM memerlukan investasi yang besar, transformasi budaya dan manajemen perusahaan yang signifikan, serta kerja keras dari banyak pihak, tidak lah berlebihan jika dikatakan pencapaian SFM, yang dibuktikan dengan sertifikat IFCC/PEFC, berkontribusi penting terhadap kinerja ekspor di atas.

Kinerja di atas sangat menunjang kontribusi ekonomi dari HTI dan pulp and papers. 

“ HTI dewasa ini menyediakan lapangan kerja langsung 20-25 ribu orang dan 2 juta tidak langsung. Sementara pulp and papers menyerap 260 ribu tenaga kerja langsung dan 1,1 juta tidak langsung. Belum lagi kontribusinya terhadap penerimaan pajak pusat dan daerah, pembangunan daerah, dan pengembangan masyarakat sekitar hutan dan industry,” tegas ekonom Senior Indef. ini.

Karena itu, Dradjad pun mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan UKM, untuk semakin meningkatkan kinerja terkait dengan pengelolaan hutan lestari, maupun industri pengolahan dan perdagangan produk olahan hutan lestari oleh para pelaku usaha. 

Contoh kongkretnya, pelaku mebel dan kerajinan perlu dibantu agar kayunya berasal dari hutan lestari sehingga mudah menembus pasar ekspor. Perhutanan sosial bisa didorong agar mendapatkan sertifikat SFM, sehingga produknya bernilai tambah semakin tinggi. 

“Korporasi besar Indonesia yang memakai produk olahan hasil hutan juga perlu sadar, mereka tidak bisa lagi lalai terhadap isu SFM. Percaya saya, di masa depan anda akan ditinggalkan pasar jika tidak peduli kelestarian,” tegasnya.  ()