KIMIA FARMA DIDORONG TIDAK RAGU SEDIAKAN VAKSINASI BERBAYAR

Ilustrasi vaksinasi Covid-19.

Ekonom Dradjad H Wibowo mendorong Kimia Farma tidak usah ragu untuk menyediakan vaksinasi gotong royong dan mandiri yang berbayar untuk masyarakat umum. Langkah ini penting demi memastikan kenaikan cakupan penggunaan vaksin di masyarakat, sehingga tercapai herd immunity atau kekebalan komunal.

“Bagi saya vaksin berbayar itu sangat bagus. Apakah perusahaan yang membayar, dikenal dengan vaksin gotong royong, atau individu yang membayar, dikenal sebagai vaksin mandiri, keduanya sangat kita butuhkan,” kata Dradjad, Selasa (13/7/2021).

Drajad mengatakan pelebaran distribusi vaksin harus dilakukan, walau secara komersial. Asal yang dikomersialkan itu vaksin yang berasal dari hibah bilateral. Vaksin berbayar ini bisa dilakukan dengan vaksin komersial seperti buatan Pfizer dan atau Moderna.

“Alasannya sederhana. Kita perlu menaikkan cakupan vaksinasi sebesar dan secepat mungkin agar herd immunity segera tercapai. Tujuannya agar rakyat bisa beraktivitas normal sesegera mungkin. Lihat saja AS dan Inggris yang cakupan vaksinasi Covid-19 nya sudah tinggi. Aktivitas di sana relatif pulih. Orang bisa nonton bola di Wembley,” ujar Drajad.

Selain itu, Dradjad mengatakan kondisi ini mau tak harus diterima. Pasalnya, kemampuan fiskal negara relatif terbatas.

“Bagi rakyat yang mampu sebaiknya dibuka kesempatan membeli vaksin sendiri. Toh ini untuk kesehatan dan keselamatan mereka juga. Negara membayari rakyat yang kurang mampu,” ucap Drajad.

Dengan tingginya cakupan vaksinasi, Drajad menilai kepercayaan konsumen dan bisnis akan pelan-pelan pulih. Harapannya, konsumsi rumah tangga dan investasi akan mulai pulih juga sehingga Indonesia bisa kembali ke zona pertumbuhan positif.

“Jadi saran saya, Kimia Farma dan BUMN Farmasi yang lain maju terus saja dengan vaksinasi berbayar. Menkes dan menteri terkait lainnya tinggal menjelaskan hal ini dengan baik kepada publik,” demikian Drajad.

Source: https://www.beritasatu.com/amp/kesehatan/799995/kimia-farma-didorong-tidak-ragu-sediakan-vaksinasi-berbayar

 

VAKSIN BERBAYAR, DRADJAD: BIAR YANG MAMPU MEMBAYAR SENDIRI

Dradjad Wibowo setuju dengan adanya vaksinasi covid berbayar. Biar negara membayari yang tak mampu, an yang mampu bisa membayar sendiri. (foto ilustrasi)

Ekonom Indef, Dradjad Wibowo, yang saat ini aktif melakukan kajian COvid-19 dari aspek ekonomi, menilai adanya vaksin gotong royong yang berbayar, adalah hal yang sangat bagus. Masyarakat yang mampu biar membayar sendiri, dan negara membayari masyarakat yang tidak mampu

"Bagi saya vaksin berbayar itu sangat bagus. Apakah perusahaan yang membayar, dikenal dengan vaksin gotong royong, atau individu yang membayar, dikenal sebagai vaksin mandiri, keduanya sangat kita butuhkan,” kata Dradjad, kepada Republika, Senin (12/7).

Dradjad mengatakan bukan hanya mendukung, malah malah pernah mengusulkan hal itu dilakukan. “Waktu itu saya menyebutnya dengan istilah 'vaksinasi bisnis' dalam tulisan di sebuah media online tanggal 29 Desember 2020,” kata Dradjad.

Syaratnya, lanjut Dradjad, vaksinnya bukan dari berasal dari hibah bilateral ataupun COVAC karena tidak etis. Waktu itu Dradjad mengusulkan vaksin Pfizer dan Moderna.

Mengenai dukungannya terhadap keberadaan vaksin berbayar, Dradjad mengatakan perlunya menaikkan cakupan vaksinasi sebesar dan secepat mungkin agar herd immunity segera tercapai. Tujuannya agar rakyat bisa beraktifitas normal sesegera mungkin.

"Lihat saja AS dan Inggris yang cakupan vaksinasi Covid-19 nya sudah tinggi. Aktifitas di sana relatif pulih. Orang bisa nonton bola di Wembley,” papar Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Karena kemampuan fiskal negara relatif terbatas, menurut Dradjad, bagi rakyat yang mampu sebaiknya dibuka kesempatan membeli vaksin sendiri. "Toh ini untuk kesehatan dan keselamatan mereka juga. Negara membayari rakyat yang kurang mampu,” ungkap dia.

Dengan tingginya cakupan vaksinasi, Dradjad yakin kepercayaan konsumen dan bisnis akan pelan-pelan pulih. Harapannya, konsumsi rumah tangga dan investasi akan mulai pulih juga, sehingga Indonesia bisa kembali ke zona pertumbuhan positif.

"Jadi saran saya, Kimia Farma dan BUMN Farmasi yang lain maju terus saja dengan vaksinasi berbayar. Menkes dan menteri terkait lainnya tinggal menjelaskan hal ini dengan baik kepada publik,” kata Dradjad menyarankan.

Source: https://www.republika.co.id/berita/qw4emo318/vaksin-berbayar-dradjad-biar-yang-mampu-membayar-sendiri

VAKSIN COVID-19 BERBAYAR TUAI PRO-KONTRA DARI EKONOM

Vaksinasi Gotong Royong Individu Berbayar Kimia Farma

Munculnya pilihan vaksin COVID-19 berbayar menuai pro-kontra. Program vaksinasi gotong royong individu ini disebut demi mempercepat herd immunity.

Meski Kementerian Kesehatan RI menjamin ketersediaan stok vaksin COVID-19 gratis dari pemerintah, namun tak sedikit yang akhirnya mendesak pembatalan vaksin COVID-19 berbayar Kimia Farma.

Salah satunya muncul dari pakar Ekonomi. Director Political Economy & Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menilai, adanya vaksin berbayar membuat penguasa dan pengusaha kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Menurutnya, kebijakan tersebut akan menguntungkan segelintir pihak saja.

"Sebaiknya jangan ada dualisme dalam pendistribusian vaksin ini, sebaiknya semua ditanggung oleh pemerintah agar program vaksin bisa merata ke setiap orang. Sudah tidak ada kepercayaan publik kepada penguasa dan pengusaha, kalau vaksin ini dibiarkan dijual di Kimia Farma," kata Anthony saat dihubungi detikcom, Senin (12/7/2021).

Dia mempertanyakan, kesanggupan pemerintah dalam menyediakan vaksin gratis jika vaksin mandiri bergulir. Jika tidak ada jaminan dari pemerintah, lanjutnya, maka bisa saja pemerintah berdalih sudah tidak ada vaksin sehingga membuat masyarakat harus membeli di Kimia Farma.

"Kalau tidak ada jaminan tersebut, maka bisa saja pemerintah bilang sudah tidak ada vaksin, sehingga rakyat harus membeli di Kimia Farma," tuturnya.

"Dan saya rasa ini yang akan terjadi. Manipulasi keberadaan dan ketersediaan vaksin pemerintah, agar pemerintah dapat menghindari pengeluaran dan pengusaha dapat untung besar. Sangat bahaya. Ya memang tujuannya untuk menguntungkan segelintir pihak saja," kata Anthony menambahkan.

Di sisi lain,Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Wibowo menilai, antara vaksin gotong royong dari pengusaha dan vaksin mandiri berbayar sangat dibutuhkan. Menurutnya, mempercepat vaksinasi sekaligus mengatasi pandemi dan memulihkan ekonomi nasional.

"Saya bukan hanya mendukung. Saya malah pernah mengusulkan hal ini dengan istilah 'vaksinasi bisnis' pada 29 Desember lalu. Syaratnya, vaksinnya bukan dari berasal dari hibah bilateral ataupun COVAC karena tidak etis," kata Dradjad.

Lebih lanjut, alasan 'vaksinasi bisnis' yang ia maksud agar herd immunity segera tercapai dan masyarakat dapat beraktivitas normal sesegera mungkin. Dia pun mencontohkan warga negara di Amerika Serikat dan Inggris yang memiliki cakupan vaksinasi tinggi hingga bisa menonton pertandingan olahraga dengan bebas.

"Karena kemampuan fiskal negara relatif terbatas, bagi rakyat yang mampu sebaiknya dibuka kesempatan membeli vaksin sendiri. Toh ini untuk kesehatan dan keselamatan mereka juga. Negara membayari rakyat yang kurang mampu," jelasnya.

Dia menuturkan, cakupan vaksinasi yang tinggi justru dinilainya mampu memulihkan kepercayaan konsumen dan bisnis. Harapannya, kata dia, konsumsi rumah tangga dan investasi akan mulai pulih sehingga RI bisa kembali ke zona pertumbuhan positif.

"Jadi saran saya, Kimia Farma dan BUMN Farmasi yang lain maju terus saja dengan vaksinasi berbayar. Menkes dan menteri terkait lainnya tinggal menjelaskan hal ini dengan baik kepada publik," pungkasnya.

Source: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5640509/vaksin-covid-19-berbayar-tuai-pro-kontra-dari-ekonom/amp

Iran dan Kuba Bikin Vaksin Sendiri, Dradjad: Malu Kita

Ekonom Indef Dradjad Wibowo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Hari Wibowo mengingatkan pemerintah untuk segera mendorong pembuatan vaksin dan obat Covid-19 dari dalam negeri. Biarpun sudah terlambat, tapi langkah ini harus segera dilakukan.

 

Dradjad mengatakan, dalam beberapa hari terakhir beredar kabar Iran dan Kuba sudah menemukan dan memproduksi vaksin Covid-19 sendiri. Menurut laporan yang ada, kata Dradjad, efikasinya cukup tinggi.

Sebagai ilmuwan, Dradjad mengatakan senang dengan vaksin yang tersedia untuk mengatasi pandemi. Namun, sebagai orang Indonesia, Dradjad mengaku nelongso (merana--Red), mengapa dua negara yang jauh lebih kecil ekonominya dibanding Indonesia, malah sudah menemukan vaksin. Sementara, Indonesia masih jauh.

“Iran diembargo besar-besaran karena masalah nuklir, Kuba juga baru mulai terbuka dari embargo,” ungkap Dradjad dalam pesan suara kepada Republika.co.id, Jumat (25/6).

Dradjad mengaku sudah sejak April 2020 menyuarakan di publik tentang kebutuhan melakukan riset dan menemukan vaksin dan obat sendiri sudah sangat mendesak. “Tolong segera kita genjot dana untuk riset besar-besaran untuk penemuan vaksin dan obat,” ungkap Dradjad.

 

Diingatkannya, pandemi Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan dan ekonomi, melainkan juga masalah pertahanan dan keamanan nasional. Selain itu, yang paling penting karena menyangkut masalah jiwa rakyat Indonesia.

Dradjad menegaskan, memang saat ini sudah terlambat. Namun, bukan berarti Indonesia tidak harus melakukan. Menurutnya, Indonesia tetap harus melakukan karena Covid ini sifatnya multitahun. “Jadi, yang sudah divaksin sekarang mungkin antibodinya akan turun dan perlu vaksin lagi sehingga harus punya vaksin dan obat sendiri,” ungkap Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Mengenai mana yang mau dikembangkan, Dradjad mengatakan, silakan saja mau vaksin merah putih atau vaksin nusantara. “Kita jangan apriori dulu. Semua diberi kesempatan yang sama, tapi prosedur ilmiah medis tetap harus diikuti, uji klinis transparan, dan hasilnya harus dipublikasikan ke jurnal yang bereputasi tinggi di dunia internasional. Jangan jurnal yang asal-asalan saja, supaya hasilnya kredibel,” kata Dradjad.

Mengenai dana, Dradjad mengatakan, sebenarnya dananya tidak terlalu besar. Ia memperkirakan antara Rp 500 miliar hingga Rp 1 triliun untuk satu jenis vaksin. “Tapi, untuk amannya mungkin bisa disiapkan Rp 2 triliun hingga Rp 3 triliun,” kata ekonom senior Indef ini.

Dradjad yakin berbagai universitas di Indonesia mampu melakukannya. “Kita juga punya lembaga Eijkman, punya rumah sakit-rumah sakit angkatan darat yang mampu melakukan itu,” ujarnya.

Dradjad minta agar berhenti berwacana dan berdebat yang tidak jelas. Lebih baik segera melakukan langkah nyata untuk menciptakan dan memproduksi vaksin dan obat sendiri. “Malu kita kalah sama Iran dan Kuba,” kata Dradjad.

Source: https://republika.co.id/berita/qv982l318/iran-dan-kuba-bikin-vaksin-sendiri-dradjad-malu-kita

 

Menulis di Jurnal Internasional, Dradjad Wibowo Beber Kombinasi Cara Selamatkan Rakyat & Ekonomi dari Pandemi

Menulis di Jurnal Internasional, Dradjad Wibowo Beber Kombinasi Cara Selamatkan Rakyat & Ekonomi dari Pandemi - JPNN.com

jpnn.comJAKARTA - Ekonom Dradjad H Wibowo menyarankan agar pemerintah mengombinasikan tindakan kesehatan publik (TKP), vaksinasi, dan pengobatan tepat untuk memulihkan pergerakan. Sebab, perekonomian tergantung pada pergerakan orang.

"Jika pergerakan orang terganggu karena tingginya penularan, konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula," tulis Dradjad dalam tulisannya di jurnal internasional BMC Public Health yang terbit pada 2 Juni lalu.

 

Dalam artikel berjudul 'When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy' itu Dradjad memaparkan sektor konsumsi dan investasi menyumbang sekitar 90 persen produk domestik bruto (PDB). Pada 2020, kontribusi dari sektor konsumsi sebesar 57,66 persen, sedangkan investasi mencapai 31,73 persen.

Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) itu menyebut pemerintah bisa saja memberi stimulus fiskal. Namun, sebutnya, peran belanja pemerintah hanya 9,29 persen.

"Jadi, kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut," cetusnya.

Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF) itu menilai Indonesia pada awal Juni ini masih dalam kondisi zona kuning pandemi Covid-19. Menurutnya, kondisi itu bisa memburuk ke zona merah.

Dradjad menjelaskan kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yakni merah, kuning dan hijau. Di zona merah, paparnya, jumlah kasus harian Covid-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan di atas 1.

"Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan," urainya.

Adapun zona kuning berarti jumlah kasus harian menurun namun elastisitas masih di atas 1. Oleh karena itu pelonggaran TKP tidak direkomendasikan di zona kuning.

Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1. "Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun  perlu menghitung risiko eskalasi kasus," tulis Dradjad.

Menurutnya, negara sedang berkembang pada umumnya tidak mampu mengestimasi angka reproduksi (R) Covid-19 secara akurat. Sebab, keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi pada awal pandemi.

Untuk Indonesia, elastisitas kesehatan per 5 Juni 2021 masih di atas 1,45. Sejak 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, tutur Dradjad, elastisitas itu mencapai puncaknya, yakni sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021.

Dradjad mencatat angka itu sempat di bawah 1 pada masa liburan Idulfitri. Namun, angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes.

"Setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning. Akibat tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan," ulasnya.

Oleh karena itu Dradjad H Wibowo mewanti-wanti pemerintah memperketat TKP pada Juni ini. "Di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19," tulisnya.

Mantan legislator Komisi Keuangan dan Perbankan DPR itu menjelaskan pada tahun kedua pandemi biasanya masyarakat mengalami kelelahan psikologis. Akibatnya, TKP makin sulit diterapkan.

Dradjad juga mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang 60,47 persen dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020 merupakan pekerja informal. Artinya, terdapat sekitar 77,67 juta yang menjadi pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap.

Selain itu, sebagian besar dari 17.48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian. "Adanya jutaan pekerja yang tergantung pada penghasilan harian menambah kesulitan penerapan TKP," katanya.

Oleh karena itu Dradjad mendorong pemerintah mendesain TKP yang lebih pas sembari mengusahakan herd immunity (kekebalan kelompok) melalui vaksinasi.

"Dengan vaksinasi, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi bisa berjalan sinergis. Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tetapi secara ekonomi negatif," ulasnya. (ara/fat/jpnn)

Source: https://m.jpnn.com/amp/news/menulis-di-jurnal-internasional-dradjad-wibowo-beber-kombinasi-cara-selamatkan-rakyat-ekonomi-dari-pandemi