APHI dan IFCC kerja sama promosikan standar pengelolaan hutan lestari

APHI dan IFCC kerja sama promosikan standar pengelolaan hutan lestari

Penandatanganan nota kesepahaman kerjasama oleh Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo (kanan) dan Ketua Umum IFCC Saniah Widuri (kiri) disaksikan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto (tengah) di Jakarta, Rabu (14/9/2022) (Antara/HO/APHI)

Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) melakukan kerja sama dalam rangka mempromosikan standar pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan menggunakan skema Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC).

Nota kesepahaman Kerjasama (MoU) APHI-IFCC ditandatangani oleh Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo dan Ketua Umum IFCC Saniah Widuri disaksikan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto di Jakarta, Rabu.

Dirjen Pengelaolaan Hutan Lestari Agus Justianto menilai positif penandatanganan MoU tersebut dalam upaya mendorong serta meningkatkan pengelolaan hutan lestari di Indonesia.

"Kami menyambut baik adanya kegiatan kerjasama antara APHI-IFCC melalui penerapan sertifikasi kehutanan yang memenuhi tolak ukur pengelolaan hutan lestari skema Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC). Juga tentunya memenuhi standar dan indikator dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK),” ujarnya.

Adanya nota kesepahaman ini diharapkan ke depannya audit dilakukan secara gabungan serta membantu mempromosikan SVLK ke pasar internasional, sesuai ISO 19011 tahun 2018 bahwa dimungkinkan adanya skema penggabungan mandatory dan voluntary.

Sejak diterbitkan UUCK, tambahnya, SVLK bertransformasi menjadi sistem verifikasi legalitas dan kelestarian dimana ruang lingkup tidak hanya terbatas kayu tapi juga hasil hutan bukan kayu, serta menjamin produk hasil hutan tersebut dapat ditelusuri dari sumber yang legal atau lestari mulai dari hulu hilir sampai pemasaran.

Dikatakannya, tuntutan pasar global bahwa setiap produk yang dihasilkan oleh produsen mempunyai bukti sertifikat legal.

Di pasar Uni Eropa, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Kanada dan Jepang membutuhkan sertifikasi lestari yang bebas deforestasi dan degradasi.

Sementara itu Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan bahwa perluasan kerja sama para pihak untuk meningkatkan pencapaian sertifikasi pengelolaan hutan di Indonesia menjadi prioritas APHI ke depan.

"Sertifikasi merupakan tolak ukur dalam pengelolaan hutan lestari, untuk itu APHI akan terus berupaya melakukan kerja sama dengan berbagai lembaga dan skema sertifikasi yang ada untuk mendukung tata kelola yang baik dan perluasan pasar termasuk dengan IFCC/PEFC," katanya.

Menurut dia, perluasan pasar ekspor produk hasil hutan Indonesia di pasar global akan semakin menghadapi tantangan, utamanya isu-isu tentang sosial dan lingkungan, transparansi, kesehatan dan keselamatan kerja serta Hak Asasi Manusia (HAM).

"Penanganan isu-isu ini sangat mempengaruhi preferensi konsumen. Oleh karenanya, sertifikasi hutan menjadi instrumen penting dan sangat relevan untuk menjawab tantangan tersebut," ujarnya.

Indroyono menyatakan, IFCC merupakan skema sertifikasi kehutanan voluntary pertama yang diakreditasi oleh KAN, sehingga ke depan akan makin memperkuat sinergi antara sertifikasi mandatory dan sertifikasi voluntary di Indonesia..

Selain kegiatan pembinaan menuju Pengelolaan Hutan Lestari yang selama ini dilaksanakan, diharapkan IFCC juga mendukung upaya APHI untuk menyiapkan anggota APHI terkait peningkatan kapasitas SDM Anggota serta penanganan berbagai persoalan yang dihadapi PBPH.

Sementara itu Ketua IFCC Saniah Widuri menyambut baik dan berharap banyak atas kerja sama dengan APHI dan juga dukungan Ditjen PHL KLHK.

“Kerjasama dengan APHI bertujuan untuk mendukung pengelolaan hutan lestari dan membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia sudah melakukan pengelolaan hutan lestari yang ditunjukkan dengan sertifikasi” ungkapnya.

Saniah mengatakan hingga saat ini telah ada 4,1 juta hektare hutan di Indonesia yang memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari PEFC. Selain itu ada juga 47 industri yang memperoleh sertifikat Chain of Custody PEFC. Sementara jumlah anggota sebanyak 49 anggota.

"IFCC di-endorsed oleh PEFC sejak 2014 dan terus mendorong unit-unit manajemen hutan di Indonesia untuk mengelola hutan secara lestari," kata Saniah.

Dia mengatakan, PEFC merupakan skema sertifikasi terbesar di dunia dengan total luas areal hutan tersertifikasi mencapai 325 juta hektare.

Saniah juga mengatakan PEFC telah menjadi standar untuk pengadaan produk kayu di sejumlah Negara seperti Uni Eropa, Australia, maupun Jepang. Selain itu sejumlah industri konsumen juga menjadikan PEFC sebagai standar.

Sumber: https://www.antaranews.com/berita/3117929/aphi-dan-ifcc-kerja-sama-promosikan-standar-pengelolaan-hutan-lestari

IFCC-APHI Berkolaborasi, Dirjen KLHK: Bisa Bantu Promosikan SVLK ke Pasar Global

IFCC-APHI Berkolaborasi, Dirjen KLHK: Bisa Bantu Promosikan SVLK ke Pasar Global - JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) baru saja melakukan penandatanganan nota kesepakatan (MoU), Rabu (14/9).

Dalam kerja sama tersebut, APHI-IFCC akan mempromosikan standar pengelolaan sumber daya hutan menggunakan skema Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC).

Penandatangan itu dilakukan Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo dan Ketua Umum IFCC Saniah Widuri disaksikan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto di Jakarta. 

Dirjen Pengelaolaan Hutan Lestari Agus Justianto menilai penandatanganan MoU tersebut dalam upaya mendorong serta meningkatkan pengelolaan hutan lestari di Indonesia.

"Kami menyambut baik adanya kegiatan kerja sama antara APHI-IFCC melalui penerapan sertifikasi kehutanan yang memenuhi tolok ukur pengelolaan hutan lestari skema Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC),” ujarnya dalam siaran persnya, Rabu.

Dengan adanya kerja sama itu, Agus berharap ke depan audit dilakukan secara gabungan dan membantu mempromosikan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) ke pasar internasional.

Hal itu sesuai ISO 19011 tahun 2018 bahwa dimungkinkan adanya skema penggabungan mandatory dan voluntary.

Sejak diterbitkan UUCK, tambahnya, SVLK bertransformasi menjadi sistem verifikasi legalitas dan kelestarian.

Dia menyebut, ruang lingkup tidak hanya terbatas kayu, tetapi juga hasil hutan bukan kayu dan menjamin produk hasil hutan tersebut dapat ditelusuri dari sumber yang legal mulai dari hulu hilir sampai pemasaran.

Dia mengatakan tuntutan pasar global setiap produk yang dihasilkan oleh produsen mempunyai bukti sertifikat legal.

Di pasar Uni Eropa, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Jepang membutuhkan sertifikasi lestari yang bebas deforestasi dan degradasi.

Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan perluasan kerja sama para pihak untuk meningkatkan pencapaian sertifikasi pengelolaan hutan Indonesia menjadi prioritas APHI ke depan.

"Sertifikasi merupakan tolok ukur dalam pengelolaan hutan lestari," katanya.

Menurut dia, perluasan pasar ekspor produk hasil hutan Indonesia di pasar global akan semakin menghadapi tantangan, utamanya isu-isu tentang sosial dan lingkungan, transparansi, kesehatan, dan keselamatan kerja serta Hak Asasi Manusia (HAM).

"Penanganan isu-isu ini sangat mempengaruhi preferensi konsumen. Oleh karena itu, sertifikasi hutan menjadi instrumen penting dan sangat relevan untuk menjawab tantangan tersebut," ujarnya.

Sementara itu Ketua IFCC Saniah Widuri menyambut baik dan berharap banyak atas kerja sama dengan APHI dan juga dukungan Ditjen PHL KLHK.

“Kerja sama dengan APHI bertujuan untuk mendukung pengelolaan hutan lestari dan membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia sudah melakukan pengelolaan hutan lestari yang ditunjukkan dengan sertifikasi” ungkapnya. (Ant/ddy/jpnn)

Sumber: https://m.jpnn.com/amp/news/ifcc-aphi-berkolaborasi-dirjen-klhk-bisa-bantu-promosikan-svlk-ke-pasar-global

 

APHI dan IFCC kerja sama promosikan standar pengelolaan hutan lestari


APHI-IFCC Lakukan Kerjasama Sertifikasi untuk Pengelolaan Hutan Lestari

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) melakukan kerja sama dalam rangka mempromosikan standar pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan menggunakan skema Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC).

Nota kesepahaman Kerjasama (MoU) APHI-IFCC ditandatangani oleh Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo dan Ketua Umum IFCC Saniah Widuri disaksikan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto di Jakarta, Rabu.

Dirjen Pengelaolaan Hutan Lestari Agus Justianto menilai positif penandatanganan MoU tersebut dalam upaya mendorong serta meningkatkan pengelolaan hutan lestari di Indonesia.

"Kami menyambut baik adanya kegiatan kerjasama antara APHI-IFCC melalui penerapan sertifikasi kehutanan yang memenuhi tolak ukur pengelolaan hutan lestari skema Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC). Juga tentunya memenuhi standar dan indikator dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK),” ujarnya.

Adanya nota kesepahaman ini diharapkan ke depannya audit dilakukan secara gabungan serta membantu mempromosikan SVLK ke pasar internasional, sesuai ISO 19011 tahun 2018 bahwa dimungkinkan adanya skema penggabungan mandatory dan voluntary.

Sejak diterbitkan UUCK, tambahnya, SVLK bertransformasi menjadi sistem verifikasi legalitas dan kelestarian dimana ruang lingkup tidak hanya terbatas kayu tapi juga hasil hutan bukan kayu, serta menjamin produk hasil hutan tersebut dapat ditelusuri dari sumber yang legal atau lestari mulai dari hulu hilir sampai pemasaran.

Dikatakannya, tuntutan pasar global bahwa setiap produk yang dihasilkan oleh produsen mempunyai bukti sertifikat legal.

Di pasar Uni Eropa, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Kanada dan Jepang membutuhkan sertifikasi lestari yang bebas deforestasi dan degradasi. Sementara itu Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan bahwa perluasan kerja sama para pihak untuk meningkatkan pencapaian sertifikasi pengelolaan hutan di Indonesia menjadi prioritas APHI ke depan.

"Sertifikasi merupakan tolak ukur dalam pengelolaan hutan lestari, untuk itu APHI akan terus berupaya melakukan kerja sama dengan berbagai lembaga dan skema sertifikasi yang ada untuk mendukung tata kelola yang baik dan perluasan pasar termasuk dengan IFCC/PEFC," katanya.

Menurut dia, perluasan pasar ekspor produk hasil hutan Indonesia di pasar global akan semakin menghadapi tantangan, utamanya isu-isu tentang sosial dan lingkungan, transparansi, kesehatan dan keselamatan kerja serta Hak Asasi Manusia (HAM).

"Penanganan isu-isu ini sangat mempengaruhi preferensi konsumen. Oleh karenanya, sertifikasi hutan menjadi instrumen penting dan sangat relevan untuk menjawab tantangan tersebut," ujarnya.

Indroyono menyatakan, IFCC merupakan skema sertifikasi kehutanan voluntary pertama yang diakreditasi oleh KAN, sehingga ke depan akan makin memperkuat sinergi antara sertifikasi mandatory dan sertifikasi voluntary di Indonesia..

Selain kegiatan pembinaan menuju Pengelolaan Hutan Lestari yang selama ini dilaksanakan, diharapkan IFCC juga mendukung upaya APHI untuk menyiapkan anggota APHI terkait peningkatan kapasitas SDM Anggota serta penanganan berbagai persoalan yang dihadapi PBPH.
Sementara itu Ketua IFCC Saniah Widuri menyambut baik dan berharap banyak atas kerja sama dengan APHI dan juga dukungan Ditjen PHL KLHK.

“Kerjasama dengan APHI bertujuan untuk mendukung pengelolaan hutan lestari dan membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia sudah melakukan pengelolaan hutan lestari yang ditunjukkan dengan sertifikasi” ungkapnya.

Saniah mengatakan hingga saat ini telah ada 4,1 juta hektare hutan di Indonesia yang memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari PEFC. Selain itu ada juga 47 industri yang memperoleh sertifikat Chain of Custody PEFC. Sementara jumlah anggota sebanyak 49 anggota.

"IFCC di-endorsed oleh PEFC sejak 2014 dan terus mendorong unit-unit manajemen hutan di Indonesia untuk mengelola hutan secara lestari," kata Saniah.

Dia mengatakan, PEFC merupakan skema sertifikasi terbesar di dunia dengan total luas areal hutan tersertifikasi mencapai 325 juta hektare.

Saniah juga mengatakan PEFC telah menjadi standar untuk pengadaan produk kayu di sejumlah Negara seperti Uni Eropa, Australia, maupun Jepang. Selain itu sejumlah industri konsumen juga menjadikan PEFC sebagai standar.

Sumber: https://id.berita.yahoo.com/aphi-dan-ifcc-kerja-sama-135126194.html?guccounter=1

Respons Tuntutan Pasar Global, APHI-IFCC Kerjasama Sertifikasi Hutan PEFC

Nota kesepahaman Kerjasama (MoU) APHI-IFCC ditandatangani Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo dan Ketua Umum IFCC Saniah Widuri disaksikan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto di Jakarta, Rabu 14 September 2022.

TROPIS.CO- Sertifikasi merupakan tolok ukur dalam pengelolaan hutan lestari. Oleh karena itu, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) terus berupaya melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga dan skema sertifikasi untuk mendukung tata kelola hutan yang baik.

Kali ini APHI bersama Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) sepakat melakukan kerjasama dalam rangka mempromosikan standar￾standar pengelolaan Sumber Daya Hutan yang berkelanjutan. Skema yang disepakati oleh kedua lembaga ini adalah skema PEFC atau Program for the Endorsement of Forest Certification.

PEFC adalah standar yang ketat dan diakui oleh dunia yang bekerja sebagai suatu mekanisme untuk memverifikasi dan memajukan pengelolaan hutan estari dan produk kayu yang dihasilkan secara berkelanjutan.

Ini juga sesuai dengan tuntuan pasar global bahwa setiap produk yang dihasilkan oleh produsen mempunyai bukti sertifikat legal. Di pasar Uni Eropa, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Kanada dan Jepang membutuhkan sertifikasi lestari yang bebas deforestasi dan degradasi.

Nota kesepahaman Kerjasama (MoU) APHI-IFCC ditandatangani oleh Ketua Umum APHI Indroyono
Soesilo dan Ketua Umum IFCC Saniah Widuri disaksikan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto di Jakarta, Rabu 14 September 2022.

Agus Justianto memandang positif penandatanganan MoU tersebut dalam upaya mendorong serta meningkatkan pengelolaan hutan lestari di Indonesia. “Kami menyambut baik adanya kegiatan kerjasama antara APHI-IFCC melalui penerapansertifikasi kehutanan yang memenuhi tolak ukur pengelolaan hutan lestari skema Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC). Juga tentunya memenuhi standart dan indikator dan SVLK,” ujar Agus.

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) berfungsi untuk memastikan produk kayu dan bahan bakunya diperoleh atau berasal dari sumber yang asal-usulnya dan pengelolaannya memenuhi aspek legalitas. Kayu disebut legal bila asal-usul kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, pengangkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku.

Adanya nota kesepahaman ini diharapkan kedepannya audit dilakukan secara gabungan serta membantu mempromosikan SVLK ke pasar internasional, sesuai ISO 19011 tahun 2018 bahwa dimungkinkan adanya skema penggabungan mandatory dan voluntary.

Seperti kita ketahui dalam dunia Sertifikasi dikenal dengan sebutan Sertifikasi Mandatory dan Sertifikasi Voluntary, dua skema tersebut mempunyai tujuan untuk mempromosikan pengelolaan hutan lestari.

“ Sejak diterbitkan UUCK (UU Cipta Kerja) , SVLK bertransformasi menjadi sistem verifikasi legalitas dan kelestarian dimana ruang lingkup tidak hanya terbatas kayu tapi juga hasil hutan bukan kayu, serta menjamin produk hasil hutan tersebut dapat ditelusuri dari sumber yang legal atau lestari mulai dari hulu hilir sampai pemasaran,” Agus menambahkan.

Adanya permintaan pasar atas produk-produk kehutanan yang bersertifikat voluntary, walaupun sudah memiliki sertifikat SVLK atau mandatory yang akan berimplikasi terhadap waktu pelaksanaan sertifikasi, SDM, khususnya auditor dengan kompetensi skema voluntary dan atau skema mandatory. “Dalam konteks ini unit management perlu kesiapan untuk menghadapi kedua skema tersebut, selain itu juga mengakibatkan double biaya yang terkait dengan sertifikasi. Ini menjadi beban biaya bagi unit management yang disertifikasi” imbuhnya.

Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan bahwa perluasan kerjasama parapihak untuk meningkatkan pencapaian sertifikasi pengelolaan hutan di Indonesia menjadi prioritas APHI kedepan. Menurut dia APHI akan terus berupaya melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga dan skema sertifikasi yang ada untuk mendukung tata kelola yang baik dan perluasan pasar termasuk dengan IFCC/PEFC

Perluasan pasar ekspor produk hasil hutan Indonesia di pasar global akan semakin menghadapi tantangan, utamanya isu-isu tentang sosial dan lingkungan, transparansi, kesehatan dan keselamatan kerja serta Hak Asasi Manusia (HAM). ”Penanganan isu-isu ini sangat mempengaruhi preferensi konsumen. Oleh karenanya, sertifikasi hutan menjadi instrumen penting dan sangat relevan untuk menjawab tantangan tersebut,” paparnya.

APHI menyampaikan apresiasi dan menyambut baik dengan resminya Komite Akreditasi Nasional (KAN) mengoperasikan akreditasi IFCC sebagai skema sertifikasi kehutanan voluntary pada bulanJuni 2022. “IFCC merupakan skema sertifikasi kehutanan voluntary pertama yang diakreditasi oleh KAN, sehingga ke depan akan makin memperkuat sinergi antara sertifikasi mandatory dan sertifikasi voluntary di Indonesia” jelas Indroyono. Selain kegiatan pembinaan menuju Pengelolaan Hutan Lestari yang selama ini dilaksanakan, diharapkan IFCC juga mendukung upaya APHI untuk menyiapkan anggota APHI terkait peningkatan kapasitas SDM Anggota serta penanganan berbagai persoalan yang dihadapi PBPH. APHI menaruh harapan besar melalui Kerjasama dengan IFCC ini.

”Kami berharap, semoga penandatanganan Nota Kesepahaman APHI-IFCC ini menjadi langkah awal untuk menempatkan sertifikasi pengelolaan hutan lestari sebagai instumen untukperbaikan tata kelola hutan di tingkat PBPH dan meningkatkan daya saing” ujar Indroyono.

Ketua IFCC Saniah Widuri menyambut baik dan berharap banyak atas kerjasamadengan APHI dan juga dukungan Ditjen PHL KLHK.“Kerjasama dengan APHI bertujuan untuk mendukung pengelolaan hutan lestari dan membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia sudah melakukan pengelolaan hutan lestari yangditunjukkan dengan sertifikasi” bebernya.

Saniah mengatakan hingga saat ini telah ada 4,1 juta hektare hutan di Indonesia yang memilikisertifikat pengelolaan hutan lestari PEFC. Selain itu ada juga 47 industri yang memperoleh sertifikat Chain of Custody PEFC. Sementara jumlah anggota sebanyak 49 anggota.”IFCC di-endorsed oleh PEFC sejak tahun 2014 dan terus mendorong unit-unit manajemen hutan di Indonesia untuk mengelola hutan secara lestari,” kata Saniah. Dia mengatakan, PEFC merupakan skema sertifikasi terbesar di dunia dengan total luas areal hutan tersertifikasi mencapai 325 juta hektare. Saniah juga mengatakan PEFC telah menjadi standar untuk pengadaan produk kayu di sejumlah Negara seperti Uni Eropa, Australia, maupun Jepang. Selain itu sejumlah industri konsumen jugamenjadikan PEFC sebagai standar.

Sumber: https://tropis.co/2022/09/14/respons-tuntutan-pasar-global-aphi-ifcc-kerjasama-sertifikasi-hutan-pefc/

 

APHI Gandeng IFCC Kerjasama Sertifikasi Untuk Pengelolaan Hutan Lestari dan Berdaya Saing

APHI Gandeng IFCC Kerjasama Sertifikasi Untuk Pengelolaan Hutan Lestari dan Berdaya Saing

Agrofarm.co.id-Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) sepakat melakukan kerjasama dalam rangka mempromosikan standar-standar pengelolaan Sumber Daya Hutan yang berkelanjutan menggunakan skema PEFC.

Nota kesepahaman Kerjasama (MoU) APHI-IFCC ditandatangani oleh Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo dan Ketua Umum IFCC Saniah Widuri disaksikan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto di Jakarta.

Agus memandang positif penandatanganan MoU tersebut dalam upaya mendorong serta meningkatkan pengelolaan hutan lestari di Indonesia.

“Kami menyambut baik adanya kegiatan kerjasama antara APHI-IFCC melalui penerapan sertifikasi kehutanan yang memenuhi tolak ukur pengelolaan hutan lestari skema Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC). Juga tentunya memenuhi standart dan indikator dan SVLK,” ungkap Agus, Rabu (14/9/2022).

Adanya nota kesepahaman ini diharapkan kedepannya audit dilakukan secara gabungan serta membantu mempromosikan SVLK ke pasar internasional, sesuai ISO 19011 tahun 2018 bahwa dimungkinkan adanya skema penggabungan mandatory dan voluntary.

Seperti kita ketahui dalam dunia Sertifikasi dikenal dengan sebutan Sertifikasi Mandatory dan Sertifikasi Voluntary, dua skema tersebut mempunyai tujuan untuk mempromosikan pengelolaan hutan lestari.

Sejak diterbitkan UUCK, SVLK bertransformasi menjadi sistem verifikasi legalitas dan kelestarian dimana ruang lingkup tidak hanya terbatas kayu tapi juga hasil hutan bukan kayu, serta menjamin produk hasil hutan tersebut dapat ditelusuri dari sumber yang legal atau lestari mulai dari hulu hilir sampai pemasaran, terang dia.

Adanya permintaan pasar atas produk-produk kehutanan yang bersertifikat voluntary, walaupun sudah memiliki sertifikat SVLK atau mandatory yang akan berimplikasi terhadap waktu pelaksanaan sertifikasi, SDM, khususnya auditor dengan kompetensi skema voluntary dan atau skema mandatory.

“Dalam konteks ini unit management perlu kesiapan untuk menghadapi kedua skema tersebut, selain itu juga mengakibatkan double biaya yang terkait dengan sertifikasi. Ini menjadi beban biaya bagi unit management yang disertifikasi,” imbuhnya.

Adanya tuntuan pasar global bahwa setiap produk yang dihasilkan oleh produsen mempunyai bukti sertifikat legal. Di pasar Uni Eropa, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Kanada dan Jepang membutuhkan sertifikasi lestari yang bebas deforestasi dan degradasi.

Pada kesempatan tersebut, Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan bahwa perluasan kerjasama parapihak untuk meningkatkan pencapaian sertifikasi pengelolaan hutan di Indonesia menjadi prioritas APHI kedepan.

“Sertifikasi merupakan tolok ukur dalam pengelolaan hutan lestari, untuk itu APHI akan terus berupaya melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga dan skema sertifikasi yang ada untuk mendukung tata kelola yang baik dan perluasan pasar termasuk dengan IFCC/PEFC,” imbuhnya.

Perluasan pasar ekspor produk hasil hutan Indonesia di pasar global akan semakin menghadapi tantangan, utamanya isu-isu tentang sosial dan lingkungan, transparansi, kesehatan dan keselamatan kerja serta Hak Asasi Manusia (HAM).

“Penanganan isu-isu ini sangat mempengaruhi preferensi konsumen. Oleh karenanya, sertifikasi hutan menjadi instrumen penting dan sangat relevan untuk menjawab tantangan tersebut,” ungkapnya.

APHI menyampaikan apresiasi dan menyambut baik dengan resminya Komite Akreditasi Nasional (KAN) mengoperasikan akreditasi IFCC sebagai skema sertifikasi kehutanan voluntary pada bulan Juni 2022.

“IFCC merupakan skema sertifikasi kehutanan voluntary pertama yang diakreditasi oleh KAN, sehingga ke depan akan makin memperkuat sinergi antara sertifikasi mandatory dan sertifikasi voluntary di Indonesia,” jelas Indroyono.

Selain kegiatan pembinaan menuju Pengelolaan Hutan Lestari yang selama ini dilaksanakan, IFCC juga mendukung upaya APHI untuk menyiapkan anggota APHI terkait peningkatan kapasitas SDM Anggota serta penanganan berbagai persoalan yang dihadapi PBPH.

“APHI menaruh harapan besar melalui Kerjasama dengan IFCC. Kami berharap, semoga penandatanganan Nota Kesepahaman APHI-IFCC ini menjadi langkah awal untuk menempatkan sertifikasi pengelolaan hutan lestari sebagai instumen untuk perbaikan tata kelola hutan di tingkat PBPH dan meningkatkan daya saing,” ujar Indroyono.

Sementara itu Ketua IFCC Saniah Widuri menyambut baik dan berharap banyak atas kerjasama dengan APHI dan juga dukungan Ditjen PHL KLHK.

“Kerjasama dengan APHI bertujuan untuk mendukung pengelolaan hutan lestari dan membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia sudah melakukan pengelolaan hutan lestari yang ditunjukkan dengan sertifikasi,” papar dia.

Saniah mengatakan hingga saat ini telah ada 4,1 juta hektare hutan di Indonesia yang memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari PEFC. Selain itu ada juga 47 industri yang memperoleh sertifikat Chain of Custody PEFC. Sementara jumlah anggota sebanyak 49 anggota.

“IFCC di-endorsed oleh PEFC sejak tahun 2014 dan terus mendorong unit-unit manajemen hutan di Indonesia untuk mengelola hutan secara lestari,” kata Saniah.

Dia mengatakan, PEFC merupakan skema sertifikasi terbesar di dunia dengan total luas areal hutan tersertifikasi mencapai 325 juta hektare.

Saniah juga mengatakan PEFC telah menjadi standar untuk pengadaan produk kayu di sejumlah Negara seperti Uni Eropa, Australia, maupun Jepang. Selain itu sejumlah industri konsumen juga menjadikan PEFC sebagai standar. Bantolo

Sumber: https://www.agrofarm.co.id/2022/09/50073/