Pentingnya Sertifikasi Hutan Lestari untuk Dongkrak Ekspor

Ilustrasi hutan.

VIVA – Perekonomian global ke depan, dipercaya memiliki dampak langsung pada pengelolaan hutan lestari. Tujuan pembangunan akan ditentukan pada sustainable development goals (SDGs), termasuk yang berkaitan dengan perubahan iklim dan sumber daya alam.

Ekonom senior Indef, yang juga Ketua Umum IFCC (the Indonesian Forestry Certification Cooperation), Dradjad H Wibowo mengatakan, krisis iklim dan SDGs akan memiliki peran sentral dalam percaturan global ke depannya. Tidak hanya ekonomi, bahkan soal politik dan keamanan global. Itu juga diperkuat setelah Presiden AS Joe Boden pada 27 Januari 2021 lalu, kembali menandatangani Paris Agreement

Kata Dradjad, bagi Indonesia persoalan pengelolaan hutan lestari atau sustainable forest management (SFM), memiliki pengaruh besar pada brand image di global.

"Isu ini juga pernah memukul ekspor Indonesia, dengan efek multiplier ekonomi yang tidak kecil. Namun dengan kerja keras berbagai pihak sejak dekade 2000-an, yang melibatkan pemerintah, swasta, dan berbagai unsur masyarakat sipil, secara bertahap Indonesia mampu memperbaiki kinerja dan juga citra terkait SFM," jelas Dradjad, dalam pemaparannya yang diterima VIVA, Rabu 21 April 2021.

Pentingnya SFM bagi korporasi di Indonesia, jelas Dradjad, mengingat produk besar global sudah mensyaratkan itu. Yakni seperti Apple, Johnson & Johnson, Walmart, Nestle, P&G, Samsung hingga LV, Zara, yang mensyaratkan akan membeli produk olahan hasil hutan tapi dengan sertifikat PEFC (the Programme for the Endorsement of Forest Certification). IFCC adalah lembaga pengembang dan pemilik skema sertifikasi independen, yang merupakan anggotanya.

Source: https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1366558-pentingnya-sertifikasi-hutan-lestari-untuk-dongkrak-ekspor?headline=1

IFCC: Isu Perubahan Iklim dan Kelestarian Akan Tentukan Masa Depan Ekonomi Indonesia

Dradjad Hari Wibowo Ketua Umum Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC). Foto: Faiz suarasurabaya.net

 

Dradjad Hari Wibowo Ketua Umum Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) menegaskan pada tahun-tahun mendatang, perekonomian global akan semakin ditentukan oleh topik yang termasuk dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals – SDGs). Isu tersebut diantaranya terkait aksi-aksi untuk mengatasi perubahan iklim, pengelolaan sumber daya alam secara lestari, kemiskinan, kelaparan, kesehatan dan sebagainya.

“Kembalinya Amerika Serikat ke dalam Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang termasuk dalam Executive Order 14008 yang diteken Presiden Joe Biden tanggal 27 Januari 2021 semakin membuat krisis iklim dan topik SDGs lainnya berperan sentral dalam percaturan global ke depan,” ujar Dradjad dalam Forum Group Discussion (FGD) secara virtual dengan tema “Sustainable Development Goals (SDGs), Pengelolaan Hutan Lestari dan Masa Depan Indonesia”, Rabu (21/4/2021).

Bahkan, kata Dradjad, peranan ini bukan hanya terhadap perekonomian dan keuangan global, tapi juga terhadap politik dan keamanan global.

“Salah satu isu yang sudah dirasakan berdampak besar bagi Indonesia adalah pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management – SFM). Isu SFM ini sangat berpengaruh terhadap brand image Indonesia di berbagai fora global,” jelasnya.

Menurut Dradjad, isu ini juga pernah memukul ekspor Indonesia, dengan efek multiplier ekonomi yang tidak kecil. Namun dengan kerja keras berbagai pihak sejak dekade 2000-an, yang melibatkan pemerintah, swasta, dan berbagai unsur masyarakat sipil, secara bertahap Indonesia mampu memperbaiki kinerja dan juga citra terkait SFM.

Saat ini, kata dia, selama empat tahun berturut-turut pada tahun 2017-2020, laju deforestasi di Indonesia terus menurun. Menurut laporan the World Resources Institute (WRI), dalam periode 2002-2020 laju deforestasi di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2016, dengan angka moving average (MA) tiga tahun sebesar 0.78 juta hektar.

Namun sejak 2017, angka tersebut turun menjadi 0.66 juta hektar (2017), 0.55 juta hektar (2018), 0.35 juta hektar (2019), dan 0.31 juta hektar (2020). Laporan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyebutkan laju deforestasi 2020 sebesar 115 ribu hektar, turun 75% dari tahun 2018/2019 sebesar 462,46 ribu hektar. Indonesia pun disebut WRI sebagai “bright spots of hope for forests” bersama Malaysia. Kinerja positif tersebut diberitakan oleh dua media global terkemuka yaitu the Guardian dan the New York Times.

Dalam implementasi SFM, lanjutnya, Indonesia juga menunjukkan kinerja positif. Sebagai contoh untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), saat ini terdapat 67 perusahaan HTI dengan luas sekitar 4 juta hektar yang sudah memperoleh sertifikat SFM dari IFCC/PEFC. Ini berarti semua HTI yang dibangun sebelum cut of date PEFC, yaitu 31 Desember 2010, sudah mendapat sertifikat. Untuk industri pengolahannya, PEFC/IFCC telah memberikan sertifikat chain of custody (CoC) kepada 38 perusahaan, mulai dari pabrik-pabrik kertas milik grup APP dan April, hingga perusahaan seperti Blibli (untuk tas belanja) dan Gramedia (untuk sebuah lini produk).

IFCC adalah lembaga pengembang dan pemilik skema sertifikasi independen, yang merupakan anggota dari PEFC (the Programme for the Endorsement of Forest Certification) yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss. PEFC ini merupakan skema sertifikasi hutan lestari terbesar di dunia. Saat ini sudah lebih dari 320 juta hektar hutan di dunia yang bersertifikat SFM dari PEFC, ditambah lebih dari 20 ribu perusahaan bersertifikat chain of custody (CoC) dari PEFC.

“Banyak sekali korporasi terbesar di dunia yang mewajibkan adanya sertifikat PEFC sebagai salah satu syarat mereka mau membeli produk olahan hasil hutan, mulai dari kayu bangunan, kertas hingga baju. Korporasi tersebut mulai dari yang terbesar di dunia seperti Apple, Johnson & Johnson, Walmart, Nestle, P&G, Samsung hingga LV, Zara dan banyak lagi,” kata Dradjad.

Sebagaimana diketahui, selama 20 tahun lebih HTI dan pulp and papers Indonesia menjadi sasaran kampanye LSM global dan nasional yang menuduh mereka sebagai salah satu faktor utama deforestasi. Akibatnya, korporasi dunia seperti Disney, Mattel, Xerox, Woolworths dan lain-lain sempat memboikot pulp and papers Indonesia, sehingga ekspornya menurun mencapai titik terendah sekitar USD 5 miliar pada 2016. Namun sejak 2017, ekspor tersebut terus naik menjadi USD 7.15 miliar (2019), dan hanya turun 4,4% menjadi USD 6.84 miliar (2020) saat pandemi.

Di sisi lain, kata Dradjad, dari sisi SFM, baru pada Desember 2014 perusahaan HTI mulai berhasil mendapatkan sertifikat SFM dari IFCC/PEFC. Itu sebabnya pada tahun 2015 baru terdapat 0.7 juta hektar HTI yang bersertifikat SFM. Luas ini kemudian naik drastis menjadi 2.4 juta hektar (2016) dan 3.7 juta hektar (2017).

“Yang menarik, setelah semakin banyak HTI yang berhasil mencapai SFM, dan semakin banyak pabrik bubur kertas dan kertas yang mendapatkan sertifikat, ternyata ekspor Indonesia naik kembali. Peningkatan ekspor tersebut juga terjadi bersamaan dengan penurunan laju deforestasi, yaitu tahun 2017-2020,” tegasnya.

Menurut dia, fakta ini menunjukkan kuatnya komitmen dan kinerja dari pemerintah, pelaku usaha HTI dan pulp and papers, dan para stakeholders dalam mewujudkan SFM di Indonesia. Karena upaya mewujudkan SFM memerlukan investasi yang besar, transformasi budaya dan manajemen perusahaan yang signifikan, serta kerja keras dari banyak pihak, tidak lah berlebihan jika dikatakan pencapaian SFM, yang dibuktikan dengan sertifikat IFCC/PEFC, berkontribusi penting terhadap kinerja ekspor di atas.

Kinerja di atas tentu sangat menunjang kontribusi ekonomi dari HTI dan pulp and papers. HTI dewasa ini menyediakan lapangan kerja langsung 20-25 ribu orang dan 2 juta tidak langsung. Sementara pulp and papers menyerap 260 ribu tenaga kerja langsung dan 1,1 juta tidak langsung. Belum lagi kontribusinya terhadap penerimaan pajak pusat dan daerah, pembangunan daerah, dan pengembangan masyarakat sekitar hutan dan industri.

Karena itu, Dradjad mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan UKM, untuk semakin meningkatkan kinerja terkait dengan pengelolaan hutan lestari, maupun industri pengolahan dan perdagangan produk olahan hutan lestari oleh para pelaku usaha.

“Contoh kongkretnya, pelaku mebel dan kerajinan perlu dibantu agar kayunya berasal dari hutan lestari sehingga mudah menembus pasar ekspor. Perhutanan sosial bisa didorong agar mendapatkan sertifikat SFM, sehingga produknya bernilai tambah semakin tinggi,” ungkap Dradjad yang juga ekonom senior INDEF ini.

Dradjad menegaskan, korporasi besar Indonesia yang memakai produk olahan hasil hutan juga perlu sadar, mereka tidak bisa lagi lalai terhadap isu SFM.

“Percaya saya, di masa depan anda akan ditinggalkan pasar jika tidak peduli kelestarian. Trust me, sustainabily pays,” pungkas Dradjad.(faz/tin)

Source: https://www.suarasurabaya.net/ekonomibisnis/2021/ifcc-isu-perubahan-iklim-dan-kelestarian-akan-tentukan-masa-depan-ekonomi-indonesia/

 

 

Isu Perubahan Iklim Tentukan Masa Depan Ekonomi Indonesia

Hutan Tanaman Industri di Riau, Selasa (25/10).

 Oleh : Dradjad Wibowo*

REPUBLIKA.CO.ID, Pada tahun-tahun mendatang, perekonomian global akan semakin ditentukan oleh topik yang termasuk dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development goals – SDGs). Isu tersebut antara lain terkait aksi-aksi untuk mengatasi perubahan iklim, pengelolaan sumber daya alam secara lestari, kemiskinan, kelaparan, kesehatan dan sebagainya.

 

Kembalinya Amerika Serikat ke dalam Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang termasuk dalam Executive Order 14008 yang diteken Presiden Joe Biden tanggal 27 Januari 2021 semakin membuat krisis iklim dan topik SDGs lainnya berperan sentral dalam percaturan global ke depan. Bahkan, peranan ini bukan hanya terhadap perekonomian dan keuangan global, tapi juga terhadap politik dan keamanan global.

Salah satu isu yang sudah dirasakan berdampak besar bagi Indonesia adalah pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management – SFM). Isu SFM ini sangat berpengaruh terhadap brand image Indonesia di berbagai fora global. Isu ini juga pernah memukul ekspor Indonesia, dengan efek multiplier ekonomi yang tidak kecil. Namun dengan kerja keras berbagai pihak sejak dekade 2000-an, yang melibatkan pemerintah, swasta, dan berbagai unsur masyarakat sipil, secara bertahap Indonesia mampu memperbaiki kinerja dan juga citra terkait SFM.

Saat ini selama empat tahun berturut-turut pada tahun 2017-2020, laju deforestasi di Indonesia terus menurun. Menurut laporan the World Resources Institute (WRI), dalam periode 2002-2020 laju deforestasi di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2016, dengan angka moving average (MA) tiga tahun sebesar 0.78 juta hektar. Namun sejak 2017, angka tersebut turun menjadi 0.66 juta hektar (2017), 0.55 juta hektar (2018), 0.35 juta hektar (2019), dan 0.31 juta hektar (2020). Laporan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyebutkan laju deforestasi 2020 sebesar 115 ribu hektar, turun 75% dari tahun 2018/2019 sebesar 462,46 ribu hektar. Indonesia pun disebut WRI sebagai “bright spots of hope for forests” bersama Malaysia. Kinerja positif tersebut diberitakan oleh dua media global terkemuka yaitu the Guardian dan the New York Times.

Dalam implementasi SFM, Indonesia juga menunjukkan kinerja positif. Sebagai contoh untuk hutan tanaman industri (HTI), saat ini terdapat 74 perusahaan HTI dengan luas sekitar 4 juta hektar yang sudah memperoleh sertifikat SFM dari IFCC/PEFC (Lampiran 1). Ini berarti semua HTI yang dibangun sebelum cut of date PEFC, yaitu 31 Desember 2010, sudah mendapat sertifikat. Untuk industri pengolahannya, PEFC/IFCC telah memberikan sertifikat chain of custody (CoC) kepada 40 perusahaan, mulai dari pabrik-pabrik kertas milik grup APP dan April, hingga perusahaan seperti Blibli (untuk tas belanja) dan Gramedia (untuk sebuah lini produk).

IFCC (the Indonesian Forestry Certification Cooperation) adalah lembaga pengembang dan pemilik skema sertifikasi independen, yang merupakan anggota dari PEFC (the Programme for the Endorsement of Forest Certification) yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss. PEFC ini merupakan skema sertifikasi hutan lestari terbesar di dunia. Saat ini sudah lebih dari 320 juta hektar hutan di dunia yang bersertifikat SFM dari PEFC, ditambah lebih dari 20 ribu perusahaan bersertifikat chain of custody (CoC) dari PEFC. Saya adalah anggota PEFC Board.

Banyak sekali korporasi terbesar di dunia yang mewajibkan adanya sertifikat PEFC sebagai salah satu syarat mereka mau membeli produk olahan hasil hutan, mulai dari kayu bangunan, kertas hingga baju. Korporasi tersebut mulai dari yang terbesar di dunia seperti Apple, Johnson & Johnson, Walmart, Nestle, P&G, Samsung hingga LV, Zara dan banyak lagi.

Sebagaimana diketahui, selama 20 tahun lebih HTI dan pulp and papers Indonesia menjadi sasaran kampanye LSM global dan nasional yang menuduh mereka sebagai salah satu faktor utama deforestasi. Akibatnya, korporasi dunia seperti Disney, Mattel, Xerox, Woolworths dan lain-lain sempat memboikot pulp and papers Indonesia, sehingga ekspornya menurun mencapai titik terendah sekitar USD 5 milyar pada 2016 (Lampiran 2). Namun sejak 2017, ekspor tersebut terus naik menjadi USD 7.15 milyar (2019), dan hanya turun 4,4% menjadi USD 6.84 milyar (2020) saat pandemi.

Di sisi lain dari sisi SFM, baru pada Desember 2014 perusahaan HTI mulai berhasil mendapatkan sertifikat SFM dari IFCC/PEFC. Itu sebabnya pada tahun 2015 baru terdapat 0.7 juta hektar HTI yang bersertifikat SFM. Luas ini kemudian naik drastis menjadi 2.4 juta hektar (2016) dan 3.7 juta hektar (2017).

Yang menarik, setelah semakin banyak HTI yang berhasil mencapai SFM, dan semakin banyak pabrik bubur kertas dan kertas yang mendapatkan sertifikat, ternyata ekspor Indonesia naik kembali.  Peningkatan ekspor tersebut juga terjadi bersamaan dengan penurunan laju deforestasi, yaitu tahun 2017-2020.

Fakta ini menunjukkan kuatnya komitmen dan kinerja dari pemerintah, pelaku usaha HTI dan pulp and papers, dan para stakeholders dalam mewujudkan SFM di Indonesia. Karena upaya mewujudkan SFM memerlukan investasi yang besar, transformasi budaya dan manajemen perusahaan yang signifikan, serta kerja keras dari banyak pihak, tidak lah berlebihan jika dikatakan pencapaian SFM, yang dibuktikan dengan sertifikat IFCC/PEFC, berkontribusi penting terhadap kinerja ekspor di atas.

Kinerja di atas tentu sangat menunjang kontribusi ekonomi dari HTI dan pulp and papers. HTI dewasa ini menyediakan lapangan kerja langsung 20-25 ribu orang dan 2 juta tidak langsung. Sementara pulp and papers menyerap 260 ribu tenaga kerja langsung dan 1,1 juta tidak langsung. Belum lagi kontribusinya terhadap penerimaan pajak pusat dan daerah, pembangunan daerah, dan pengembangan masyarakat sekitar hutan dan industri.

Karena itu, saya mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan UKM, untuk semakin meningkatkan kinerja terkait dengan pengelolaan hutan lestari, maupun industri pengolahan dan perdagangan produk olahan hutan lestari oleh para pelaku usaha. Contoh kongkretnya, pelaku mebel dan kerajinan perlu dibantu agar kayunya berasal dari hutan lestari sehingga mudah menembus pasar ekspor. Perhutanan sosial bisa didorong agar mendapatkan sertifikat SFM, sehingga produknya bernilai tambah semakin tinggi.

Korporasi besar Indonesia yang memakai produk olahan hasil hutan juga perlu sadar, mereka tidak bisa lagi lalai terhadap isu SFM. Percaya saya, di masa depan anda akan ditinggalkan pasar jika tidak peduli kelestarian. Trust me, sustainabily pays.

*) Penulis adalah Ketua Umum IFCC, Anggota PEFC Board Ketua Pembina SDI, Ekonom Senior Indef,  Ketua Dewan Pakar PAN

Source: https://republika.co.id/berita/qrwjy1318/isu-perubahan-iklim-tentukan-masa-depan-ekonomi-indonesia

Promoting Trade and Sustainable Forest Management to Reduce Forest Crime and Deforestation in Lower Mekong

Feature article from the
Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC)
20 April 2021
 
Promoting Trade and Sustainable Forest Management to Reduce Forest Crime and Deforestation in Lower Mekong
 
A new PEFC-FOR-TRADE project, in collaboration with the UN-REDD Programme’s initiative for the Lower Mekong, will promote trade and sustainable forest management (SFM) and at the same time reduce pressure on forests through improved governance in Cambodia, Lao PDR, Myanmar, Thailand and Vietnam.
 
PEFC’s Forestry and Trade for Development in the ASEAN region aims to strengthen trade through improved forest certification infrastructure, supporting the reduction of trade barriers, promoting sustainable wood trade, improving livelihoods and contributing to biodiversity protection.
 
The UN-REDD Programme involves working with key institutions in these ASEAN countries, and in China, to reduce the opportunities for forest crime by strengthening governance, particularly by increasing the effectiveness of systems designed to ensure legal and sustainable trade in timber. 
 
By strengthening forest governance, the UN-REDD Programme helps ensure that trading of wood products is legal and sustainable.
 
Aiming to reduce illegal logging and illegal conversion of forests, the Sustainable Forest Trade (SFT) in the Lower Mekong Region (LMR) initiative seeks to reduce emissions from deforestation and degradation, while boosting sustainable forest management across the region.
 
Biodiversity preservation and livelihood improvement
 
“The Lower Mekong region is one of the critical hotspots in need of biodiversity preservation and livelihood improvement," said Ben Gunneberg, CEO of PEFC International. 
 
"I firmly believe that a strong forest governance and institutionalisation at regional and national levels to promote sustainable forest trade is a critical solution. The PEFC framework is proven to contribute to such a goal and we are calling for more of such support to deepen intra-regional cooperation."
 
"It's an excellent and timely opportunity to leverage the quality infrastructure of internationally recognised forest certification systems at the regional and national levels in the Lower Mekong region," added Michael Berger, Head of Technical Unit at PEFC International.
 
"We are looking forward to providing technical support and deepening intra-regional cooperation to improve regional certification infrastructure."
 
Mr Sakchai Unchittikul, Chairman of Thailand Forest Certification Council (TFCC) noted that the project components corresponded well to Thailand’s critical need to strengthen national forest certification capacity to achieve international recognition, and that this was another useful activity in PEFC’s “tireless support of TFCC.”
 
He also said that TFCC was “ready to look for cooperative collaboration between project partners to deliver and go beyond the project’s expectations”.
 
Eco-region encompasses an incredibly high diversity of forest habitats
 
The Lower Mekong basin is a globally important eco-region that encompasses an incredibly high diversity of forest habitats. These forests are home not only to diverse and rare wildlife but are also relied upon by many communities for essential products and services.
 
To reduce the pressure on this valuable natural resource, and to reduce deforestation and forest degradation in the region, the Government of Norway is collaborating with the UN-REDD Programme to implement this initiative that to support countries in the Lower Mekong region (Cambodia, Lao PDR, Myanmar, Thailand and Vietnam).
 
Forest crime, the illegal exploitation of the world’s forests, has transformed into one of the largest transnational organised criminal activities, according to the United Nations Industrial Development Organization (UNIDO). With an annual worth of USD 50-150 billion, crimes related to forests and wildlife are the fourth biggest crime sector after drugs, counterfeits and trafficking (INTERPOL-UNEP, 2016).
 
Combating forest crime is crucial to reduce forest degradation and subsequent deforestation, which can significantly affect carbon dioxide emissions.
 
There is an increasing trend of investments from the expanding economies of China, Thailand and Vietnam, to timber production and land intensive industries in the lower-income, higher forest cover countries of Cambodia, Lao PDR and Myanmar.
 
Given that the gap between global supply and demand of wood products is expected to widen significantly by 2050, growth in supply from the region is also predicted to increase, adding further pressure on already stressed forest resources.
 
Illegal logging and illegal forest conversion often stem from insecure land tenure, incomplete legal frameworks, or unclear management and enforcement responsibilities.
 
Boosting Transparency and Cooperation in Lower Mekong
 
The goal of this initiative is to improve governance, promote policy alignment and institutional inter-compatibility within the region, and boost transparency and cooperation between the Lower Mekong region countries and China.
 
Southeast Asia is home to the world’s third largest area of tropical rainforest, containing some of the richest and most valuable resources and habitats on earth. As well as an important source for timber production and rural employment for the region, these forests also have an important effect on watershed protection, biodiversity and the global carbon balance.
 
In addition to the natural forests, planted forests are also common throughout Southeast Asia. In many countries, it is plantation forests, both large and small-scale, as well as trees outside forests that contribute the most to productive forestry.
 
PEFC explains that the SFT-LMR initiative is implemented by FAO and UNEP, with funding from the Government of Norway. Key outcomes include the development of national forest certification systems and related quality infrastructure mechanisms.
 
The PEFC framework will be used to deliver several outputs, which includes deepening intra-regional cooperation, strengthening national certification standards, and building national capacities in forest governance, sustainable forest management, and trade.
 
About PEFC 
PEFC, the Programme for the Endorsement of Forest Certification, is a leading global alliance of national forest certification systems. As an international non-profit, non-governmental organisation, we are dedicated to promoting sustainable forest management through independent third-party certification. We work throughout the entire forest supply chain to promote good practice in the forest and to ensure that forest-based products are produced with respect for the highest ecological, social and ethical standards. More about the PEFC-For-Trade programme here: https://pefc.org/news/pefc-for-trade-progress-in-the-lower-mekong-region
 
About UN-REDD
The United Nations Collaborative Programme on Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD+) in developing countries, was launched in 2008 and builds on the convening role and technical expertise of the Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), the United Nations Development Programme (UNDP) and the United Nations Environment Programme (UNEP). The Programme supports nationally led REDD+ processes and promotes the informed and meaningful involvement of all stakeholders, including indigenous peoples and other forest-dependent communities, in national and international REDD+ implementation. Additionally, the programme supports national REDD+ readiness efforts in 65 partner countries spanning Africa, Asia-Pacific and Latin America. More information and news about the REDD the SFT-LMR initiative can be found at https://www.un-redd.org/lower-mekong

Media News Bulletin from PEFC Asia Pacific April 2021

Chain of Custody Training Reinforces Transparency & Traceability in Supply & Sourcing from Sustainable Forests
 
Nothing stands still for PEFC in Asia Pacific, its fastest growing region of the world. This week auditors, reviewers and certification decision makers are going through the PEFC Chain of Custody training with the Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) from 6 to 8 April. This provides an introduction to the revised 2020 PEFC Chain of Custody standard - which is applied consistently around the world - and exists to reinforce the importance of transparency and traceability in the supply chain, as well as provide assurances that wood products originate from sustainably managed forestsRead more about PEFC-IFCC training here.
 
Sustainable & Legal Forest Trade in Lower Mekong Region
 
 
A new PEFC-FOR-TRADE project, in collaboration with the UN-REDD Programme’s initiative for the Lower Mekong, will promote trade and sustainable forest management (SFM), and at the same time reduce pressure on forests through improved governance in Cambodia, Lao PDR, Myanmar, Thailand, and Vietnam. PEFC’s Forestry and Trade for Development in the ASEAN region aims to strengthen trade through improved forest certification infrastructure, supporting the reduction of trade barriers, promoting sustainable wood trade, improving livelihoods, and contributing to biodiversity protection. The UN-REDD Programme involves working with key institutions in these countries, and in China, to reduce the opportunities for forest crime by strengthening forest governance, particularly by increasing the effectiveness of systems designed to ensure legal and sustainable trade in timber. There’s more.
 
Sustainable Apparel: Forest Fibres for Fashion Textiles
 
 
Forest fibres for fashion textiles was featured in the first issue of PEFC’s Pulse newsletter last month – issued for International Day of the Forests - which also drew attention to PEFC’s participation, as sponsor and speaker, in Sustainable Apparel and Textiles Conference on 27 – 29 April 2021, exploring how brands can transform factories, engage consumers, drive circularity, and reduce climate impacts across fashion and textile supply chains. Also speaking at the virtual event Cherie Tan, vice president, communications and sustainability for Asia Pacific Rayon, a member of the APRIL Group, which is a PEFC International Stakeholder Member. Listen to what Ben Gunneberg had to say about the benefits for the apparel sector from switching to forest-based fibres.
 
Profiling Values & Virtues of Sustainable Timber Sourcing
 
 
PEFC's latest interview in the series ‘Meeting our certified companies’, Kevin Hill, CEO of Venturer Pte Ltd is featured. Amid the construction works on Changi Chapel, Singapore’s first PEFC certified project, he spoke about the beginnings of his company and the meaning of PEFC certification to him and his customers. "Project certification is an important link in a valuable narrative about the virtues of sustainable timber sources," Kevin insists. "Without project certification, the story stops with the manufacturer, not at the project itself. This means that the effort of sourcing timber responsibly cannot ultimately be proven and therefore claimed by the project owner. Without it, the public cannot engage in a meaningful way when entering a beautifully built PEFC-certified timber structure." Read the full story.
 
Do-It Yourself with SGEC-PEFC Certified Materials in Japan
 
 
 
A Do-It-Yourself store in Japan has started to sell PEFC-certified goods. Cainz Home, a popular retailer for DIY goods, opened Cainz Asaka as the first domestic home centre/DIY store where forest certified materials are available. Among goods on display are SGEC/PEFC-certified European spruce plywood, using Russian conifer (larch) material, SGEC-certified domestic thinned wood and board (Japanese cedar). Asaka Lead Town, where the DIY store is located, has been engaged in various initiatives, such as promotion of sustainable “Kotozukuri (value creation)” and contributing towards achieving other Sustainable Development goals. Read more in the SGEC Newsletter.
 
Sustainable Timber Supply Chain for Patina Maldives Resort
 
 
A new resort in the Fari Islands, Patina Maldives is putting sustainability front and centre. Not only is the resort using PEFC-certified timber, but the onsite James Turrell Skyspace is PEFC Project Certified by Venturer TimberworkDouble Helix Tracking Technologies and SourceMap were engaged to verify the timber supply chain for the featured Skyspace from the European forest to Indian Ocean island. The Patina resort developer Pontiac Land of Singapore also insisted: "During construction of the Fari Islands, energy consumption was reduced by an estimated 12% through sustainable practices such as the use of prefabricated materials, which significantly reduced waste and carbon emissions versus conventional construction methods. Locally sourced, biodegradable and reusable materials were used wherever possible; all timber is PEFC-certified and sourced from 100% transparent supply chains. Read all about its sustainability features.
 
New University Building in PEFC Certified CLT by Stora Enso
 
 
One of the largest wooden buildings in the world is being built in Singapore with PEFC-certified Cross Laminated Timber (CLT) by Stora Enso. The Nanyang Technological University (NTU) is adopting sustainable materials and innovative construction methods to develop its campus. The latest project, Academic Building South (ABS), is a true showcase of sustainable construction and largely utilising Stora Enso CLT, and will to be the new home for Nanyang Business School. At 40,000 m2, it will be one of the largest wooden buildings in Asia upon completion later this year. “Following the SMU campus completed in 2019, this is the second significant learning environment with wood to Singapore,” says Erkki Välikangas, Stora Enso Building Solutions Sales Director in Asia. There's more.
 
Japan's First Office Building Project SGEC-PEFC Certified
 
 
Nomura Real Estate Development has gained SGEC/PEFC Project Chain of Custody certification - a first for real estate developers in the office building sector - for a brand new property in the heart of Tokyo. Named “H¹O Hirakawa-cho”, the building meets the emerging trend for small-sized offices catering to less than 10 employees. The upper floor of the building commands a fine view of the green of the Imperial Palace. The timber used for this project was Japanese cedar grown and produced in a certified forest located at Tama District of Tokyo. SGEC/PEFC project certification has been already awarded for the roof of the club house in Ariake Tennis Forest and the Upside Down Fuji Monument of The Mt. Fuji World Herritage Centre in Shizuoka. Read More.
 
Unicharm Meets 2 SDG Goals with PEFC Certified Products
 
 
In another first for Japan, the PEFC mark will be shown on the packages of the highest quality premium paper diapers produced by Unicharm Products, a subsidiary of Unicharm Corporation, which has acquired Chain of Custody (CoC) certification for its five domestic plants. The Unicharm group is committed to using materials (paper and pulp) derived from wood grown in managed forests, so the certification provides proof of using sustainable resources, demonstrating that it is achieving two of the Sustainable Development Goals: SDG12 Responsible Consumption and Production and SDG 15 Life on Land. Read more.
 
PEFC Answers Greenpeace on Certification & Deforestation
 
 
“Forest certification is an important part of the toolbox needed to stop deforestation, protect biodiversity, safeguard livelihoods, and provide society with wood as a sustainable, renewable raw material,” said Ben Gunneberg, CEO of PEFC International. “Forest certification is not designed to solve issues like deforestation by itself. This is because many of the factors causing deforestation are outside forestry, such as the demand for land for agricultural production. We need to employ multiple tools, ensure the support of all stakeholders, and work collaboratively to achieve our common objective: safeguarding our forests,” added Mr Gunneberg. He was commenting on the Greenpeace report on forest certification. Read more.