Dradjad Ingatkan Indonesia Masih Zona Kuning Pandemi, Risiko Zona Merah

JAKARTA, MEDIA JAKARTA.COM – Jika dilihat dari kondisi penularan COVID-19 (the state of COVID-19 transmission), per awal Juni 2021 Indonesia masih berada pada zona kuning pandemi, dengan risiko memburuk ke zona merah. Kesimpulan ini diambil berdasarkan penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan COVID-19, serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran Tindakan Kesehatan Publik (TKP).

Hal tersebut disampaikan Dradjad merujuk pada artikel Wibowo, D.H. When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x.

Artikel ini terbit pada 2 Juni 2021, dengan proses penerbitan 9 bulan. BMC Public Health adalah salah satu jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1. Dradjad yang juga ekonom senior Indef ini pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an.

Dengan pendekatan fungsi produksi kesehatan, menurut Dradjad, kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu merah, kuning dan hijau.

Di zona merah, jumlah kasus harian COVID-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan di atas 1. Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan.

Di zona kuning, jumlah kasus harian menurun namun elastisitas masih di atas 1. Pelonggaran TKP tidak direkomendasikan di zona ini.

Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1. Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian.

Menurut Dradjad, selama ini indikator epidemiologi kunci yang dipakai adalah bilangan reporoduksi (R). Masalahnya, negara sedang berkembang umumnya tidak mampu mengestimasi R dengan akurat. Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar (R0) pada awal pandemi. Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat.

Karena itu Dradjad menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia. Dalam artikel tersebut, Dradjad mengembangkan “jembatan sederhana” antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Pendekatan di atas diterapkan terhadap Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia.

Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi.

“Beberapa pekan setelah versi awal artikel ini selesai, eskalasi tersebut benar-benar terjadi. Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus,” ujar mantan anggota DPR RI Fraksi PAN tahun 2004-2009 ini.

Untuk Indonesia, kata Dradjad, per 5 Juni 2021 elastisitas di atas masih sebesar 1,45. Sejak 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, elastisitas ini mencapai puncak sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021.

“Setelah itu tren-nya menurun,” ujar Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Sementara itu saat liburan Idul Fitri, kata Dradjad, angkanya sempat di bawah 1. Namun angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes. Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning. Karena tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan. J

“Jadi, di bulan Juni 2021 ini seharusnya Indonesia memperketat TKP-nya. Apalagi, di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19,” ujar ekonom senior INDEF ini.

Lebih lanjut Dradjad mengatakan, mengingat tingginya tingkat penularan varian Delta (yang sebelumnya disebut varian India), analisis tentang kondisi penularan COVID-19 secara ilmiah dan akurat sangatlah krusial. Tujuannya agar pemerintah pusat dan daerah mampu mendisain skema TKP yang paling tepat sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologi nya dapat ditekan.

Apalagi, pada tahun kedua pandemi biasanya masyarakat mengalami kelelahan psikologis sehingga TKP semakin sulit diterapkan. Adanya jutaan pekerja yang tergantung pada penghasilan harian menambah kesulitan penerapan TKP.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020, sekitar 77,67 juta orang atau 60.47% adalah pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap, baik dari pertanian ataupun non-pertanian. Selain itu, sebagian besar dari 17.48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian.

Dengan mengetahui kondisi penularan, kata Dradjad, TKP bisa didisain lebih pas lagi. Ini dijalankan sembari kita mengusahakan herd immunity melalui vaksinasi. Vaksinasi memang bukan solusi paripurna terhadap pandemi.

“Tapi dengan vaksinasi, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi bisa berjalan sinergis. Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tapi secara ekonomi negative,” ujarnya.

Menurut Dradjad, jika herd immunity tercapai melalui vaksinasi, maka pergerakan orang bisa dipulihkan. Sementara risiko eskalasi penularan lebih terkendali. Sementara, jika herd immunity belum tercapai, tapi porsi penduduk yang divaksin cukup tinggi, maka penyebaran virus, hospitalisasi atau kematian biasanya menurun.

“Rumah tangga dan pelaku usaha yang sudah divaksin pun lebih konfiden beraktifitas ekonomi, sehingga konsumsi, investasi dan pertumbuhan bisa pulih,” ujarnya.

Sebagai penutup, tambah Dradjad, perekonomian itu tergantung pada pergerakan orang. Sehinga jika pergerakan orang terganggu, karena tingginya penularan, maka konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula. Padahal keduanya menyumbang sekitar 90% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada tahun 2020, angkanya adalah 89,39%, dengan kontribusi konsumsi 57,66% dan investasi 31,73%.

Dengan demikian, Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29%.

“Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut,” ujarnya. (JAY)

Source: https://www.mediajakarta.com/2021/06/08/dradjad-ingatkan-indonesia-masih-zona-kuning-pandemi-risiko-zona-merah/

Indonesia Masih di Zona Kuning Pandemi, Risiko Zona Merah

Jika dilihat dari kondisi penularan Covid-19 (the state of Covid-19 transmission), per awal Juni 2021 Indonesia masih berada pada zona kuning pandemi, dengan risiko memburuk ke zona merah. Kesimpulan ini diambil berdasarkan penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan Covid-19, serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran Tindakan Kesehatan Publik (TKP).

Hal tersebut disampaikan Dradjad Hari Wibowo Ekonom merujuk pada artikel Wibowo, D.H. When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for Covid-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x.

Artikel ini terbit pada 2 Juni 2021, dengan proses penerbitan 9 bulan. BMC Public Health adalah satu diantara jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1. Dradjad yang juga ekonom senior INDEF ini pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an.

Dengan pendekatan fungsi produksi kesehatan, kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu merah, kuning dan hijau. Di zona merah, jumlah kasus harian Covid-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan di atas 1.

Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan.

Di zona kuning, jumlah kasus harian menurun namun elastisitas masih di atas 1. Pelonggaran TKP tidak direkomendasikan di zona ini. Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1. Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian.

Menurut Dradjad, selama ini indikator epidemiologi kunci yang dipakai adalah bilangan reproduksi atau disebut dengan R . Masalahnya, negara sedang berkembang umumnya tidak mampu mengestimasi R dengan akurat. Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar atau dikenal dengan istilah R0 pada awal pandemi.

Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat. Karena itu Dradjad menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia. Dalam artikel tersebut, Dradjad mengembangkan “jembatan sederhana” antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Pendekatan di atas diterapkan terhadap Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia. Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi. Beberapa pekan setelah versi awal artikel ini selesai, eskalasi tersebut benar-benar terjadi. Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus.

Untuk Indonesia, per 5 Juni 2021 elastisitas di atas masih sebesar 1,45. Sejak 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, elastisitas ini mencapai puncak sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021. Setelah itu tren-nya menurun. Saat liburan Idul Fitri, angkanya sempat di bawah 1. Namun angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes. Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning. Karena tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan. Jadi, di bulan Juni 2021 ini seharusnya Indonesia memperketat TKP-nya. Apalagi, di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19.

Mengingat tingginya tingkat penularan varian Delta (yang sebelumnya disebut varian India), analisis tentang kondisi penularan COVID-19 secara ilmiah dan akurat sangatlah krusial. Tujuannya agar pemerintah pusat dan daerah mampu mendisain skema TKP yang paling tepat sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologi nya dapat ditekan.

Apalagi, pada tahun kedua pandemi biasanya masyarakat mengalami kelelahan psikologis sehingga TKP semakin sulit diterapkan. Adanya jutaan pekerja yang tergantung pada penghasilan harian menambah kesulitan penerapan TKP. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020, sekitar 77,67 juta orang atau 60.47% adalah pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap, baik dari pertanian ataupun non-pertanian. Selain itu, sebagian besar dari 17.48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian.

Dengan mengetahui kondisi penularan, TKP bisa didisain lebih pas lagi. Ini dijalankan sembari kita mengusahakan herd immunity melalui vaksinasi. Vaksinasi memang bukan solusi paripurna terhadap pandemi. Tapi dengan vaksinasi, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi bisa berjalan sinergis. Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tapi secara ekonomi negatif.

Jika herd immunity tercapai melalui vaksinasi, pergerakan orang bisa dipulihkan, sementara risiko eskalasi penularan lebih terkendali. Jika herd immunity belum tercapai, tapi porsi penduduk yang divaksin cukup tinggi, penyebaran virus, hospitalisasi atau kematian biasanya menurun. Rumah tangga dan pelaku usaha yang sudah divaksin pun lebih konfiden beraktifitas ekonomi, sehingga konsumsi, investasi dan pertumbuhan bisa pulih.

Sebagai penutup, perekonomian itu tergantung pada pergerakan orang. Jika pergerakan orang terganggu karena tingginya penularan, konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula. Padahal keduanya menyumbang sekitar 90% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2020, angkanya adalah 89,39%, dengan kontribusi konsumsi 57,66% dan investasi 31,73%. Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29%. Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut. (faz/iss/ipg)

Source: https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2021/indonesia-masih-di-zona-kuning-pandemi-risiko-zona-merah/

Masih Di Zona Kuning Covid-19, Dradjad Sarankan Pemerintah Perketat Tindakan Kesehatan Publik

JAKARTA, KABAR PARLEMEN.COM – Jika dilihat dari kondisi penularan COVID-19 (the state of COVID-19 transmission), per awal Juni 2021 Indonesia masih berada pada zona kuning pandemi, dengan risiko memburuk ke zona merah. Kesimpulan ini diambil berdasarkan penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan COVID-19, serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran Tindakan Kesehatan Publik (TKP).

Hal tersebut disampaikan Dradjad merujuk pada artikel Wibowo, D.H. When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x.

Artikel ini terbit pada 2 Juni 2021, dengan proses penerbitan 9 bulan. BMC Public Health adalah salah satu jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1. Dradjad yang juga ekonom senior Indef ini pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an.

Dengan pendekatan fungsi produksi kesehatan, menurut Dradjad, kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu merah, kuning dan hijau.

Di zona merah, jumlah kasus harian COVID-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan di atas 1. Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan.

Di zona kuning, jumlah kasus harian menurun namun elastisitas masih di atas 1. Pelonggaran TKP tidak direkomendasikan di zona ini.

Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1. Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian.

Menurut Dradjad, selama ini indikator epidemiologi kunci yang dipakai adalah bilangan reporoduksi (R). Masalahnya, negara sedang berkembang umumnya tidak mampu mengestimasi R dengan akurat. Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar (R0) pada awal pandemi. Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat.

Karena itu Dradjad menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia. Dalam artikel tersebut, Dradjad mengembangkan “jembatan sederhana” antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Pendekatan di atas diterapkan terhadap Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia.

Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi.

“Beberapa pekan setelah versi awal artikel ini selesai, eskalasi tersebut benar-benar terjadi. Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus,” ujar mantan anggota DPR RI Fraksi PAN tahun 2004-2009 ini.

Untuk Indonesia, kata Dradjad, per 5 Juni 2021 elastisitas di atas masih sebesar 1,45. Sejak 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, elastisitas ini mencapai puncak sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021.

“Setelah itu tren-nya menurun,” ujar Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Sementara itu saat liburan Idul Fitri, kata Dradjad, angkanya sempat di bawah 1. Namun angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes. Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning. Karena tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan.

“Jadi, di bulan Juni 2021 ini seharusnya Indonesia memperketat TKP-nya. Apalagi, di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19,” ujar ekonom senior INDEF ini.

Lebih lanjut Dradjad mengatakan, mengingat tingginya tingkat penularan varian Delta (yang sebelumnya disebut varian India), analisis tentang kondisi penularan COVID-19 secara ilmiah dan akurat sangatlah krusial. Tujuannya agar pemerintah pusat dan daerah mampu mendisain skema TKP yang paling tepat sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologi nya dapat ditekan.

Apalagi, pada tahun kedua pandemi biasanya masyarakat mengalami kelelahan psikologis sehingga TKP semakin sulit diterapkan. Adanya jutaan pekerja yang tergantung pada penghasilan harian menambah kesulitan penerapan TKP.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020, sekitar 77,67 juta orang atau 60.47% adalah pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap, baik dari pertanian ataupun non-pertanian. Selain itu, sebagian besar dari 17.48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian.

Dengan mengetahui kondisi penularan, kata Dradjad, TKP bisa didisain lebih pas lagi. Ini dijalankan sembari kita mengusahakan herd immunity melalui vaksinasi. Vaksinasi memang bukan solusi paripurna terhadap pandemi.

“Tapi dengan vaksinasi, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi bisa berjalan sinergis. Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tapi secara ekonomi negative,” ujarnya.

Menurut Dradjad, jika herd immunity tercapai melalui vaksinasi, maka pergerakan orang bisa dipulihkan. Sementara risiko eskalasi penularan lebih terkendali. Sementara, jika herd immunity belum tercapai, tapi porsi penduduk yang divaksin cukup tinggi, maka penyebaran virus, hospitalisasi atau kematian biasanya menurun.

“Rumah tangga dan pelaku usaha yang sudah divaksin pun lebih konfiden beraktifitas ekonomi, sehingga konsumsi, investasi dan pertumbuhan bisa pulih,” ujarnya.

Sebagai penutup, tambah Dradjad, perekonomian itu tergantung pada pergerakan orang. Sehinga jika pergerakan orang terganggu, karena tingginya penularan, maka konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula. Padahal keduanya menyumbang sekitar 90% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada tahun 2020, angkanya adalah 89,39%, dengan kontribusi konsumsi 57,66% dan investasi 31,73%.

Dengan demikian, Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29%.

“Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut,” ujarnya. (JAY)

Source: https://www.kabarparlemen.com/2021/06/08/masih-di-zona-kuning-covid-19-dradjad-sarankan-pemerintah-perketat-tindakan-kesehatan-publik/

When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy

Abstract

Background

To assess if physical distancing measures to control the COVID-19 pandemic can be relaxed, one of the key indicators used is the reproduction number R. Many developing countries, however, have limited capacities to estimate R accurately. This study aims to demonstrate how health production function can be used to assess the state of COVID-19 transmission and to determine a risk-based relaxation policy.

Methods

The author employs a simple “bridge” between epidemiological models and production economics to establish the cumulative number of COVID-19 cases as a short-run total product function and to derive the corresponding marginal product, average product, and production elasticity. Three crucial dates defining the states of transmission, labelled red, yellow, and green zones, are determined. Relaxation policy is illogical in the “red zone” and is not recommended in the “yellow zone”. In the “green zone”, relaxation can be considered. The Bayesian probability of near term’s daily cases meeting a policy target is computed. The method is applied to France, Germany, Italy, the UK, and the US, and to Indonesia as an example of application in developing countries.

Results

This study uses data from the WHO COVID-19 Dashboard, beginning from the first recording date for each country until February 28, 2021. As of June 30, 2020, France, Germany, Italy, and the UK had arrived at the “green zone” but with a high risk of transmission re-escalations. In the following weeks, their production elasticities were rising, giving a signal of accelerated transmissions. The signal was corroborated by these countries’ rising cases, making them leaving the “green zone” in the later months. By February 28, 2021, the UK had returned to the “green zone”, France, Germany, and Italy were still in the “yellow zone”, while the US reached the “green zone” at a very high number of cases. Despite being in the “red zone”, Indonesia relaxed its distancing measures, causing a sharp rise of cases.

Conclusions

Health production function can show the state of COVID-19 transmission. A rising production elasticity gives an early warning of transmission escalations. The elasticity is a useful parameter for risk-based relaxation policy.

Read full article here

Lebih dari 3,9 Juta Hektar Lahan Hutan telah Tersertifikasi IFCC dan PEFC

Lebih dari 3,9 Juta Hektar Lahan Hutan telah Tersertifikasi IFCC dan PEFC

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lebih dari 3,9 juta hektar lahan hutan telah tersertifikasi Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) dan Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC). 

Jutaan hektar lahan hutan tersebut dikelola oleh 74 perusahaan yang mengantongi sertifikat IFCC.

Juga oleh 40 perusahaan lain yang memiliki sertifikat rantai suplai atau lacak balak PEFC.

"Pada 31 Maret 2021 sudah lebih dari 3,9 juta hektar hutan di Indonesia telah tersertifikasi IFCC atau PEFC. Itu sudah mencapai 74 perusahaan pengelola hutan, dan 40 perusahaan yang telah tersertifikasi PEFC rantai suplainya atau lacak balak," kata Regita Wirastri, Manager Marketing dan Komunikasi IFCC saat webinar, Kamis (27/5/2021).

IFCC adalah organisasi nirlaba yang didirikan di Indonesia pada 9 September 2011. 

Tujuan berdirinya IFCC untuk mendorong dan mengimprovisasi pengelolaan hutan lestari di Indonesia melalui penerapan sertifikasi kehutanan dalam rangka memenuhi Benchmark atau tolak ukur hutan lestari skema PEFC. 

Sementara PEFC menjadi skema pengelolaan hutan lestari yang bertaraf internasional. 

"Standar pengelolaan hutan lestari IFCC ini telah diendorse PEFC sejak tahun 2014," jelas Regita.

Dalam menyusun standar hutan lestari, IFCC bekerjasama dengan stakeholder atau para pemangku kepentingan. 

"Bekerjasama untuk menyusun prinsip, kriteria, dalam membangun skema pengelolaan hutan lestari. Oleh karena itu kenapa term kooperasi itu digunakan," kata Regita.

Pada tahun 2012 IFCC diterima sebagai PEFC National Governing Body untuk Indonesia. 

Kemudian pada 1 Oktober 2014, IFCC diendorse oleh PEFC, kemudian pengelolaan sertifikat pertama untuk hutan lestari yang menjadi isu.

"Oleh lembaga sertifikasi yang telah terakreditasi IFCC, itu diterbitkan pada April 2015," kata Regita.

Kemudian 2017 PEFC mengumumkan IFCC memenangkan the greatest increase in PEFC - certified forest area award in PEFC General Assembly in Helsinki.

Source: https://m.tribunnews.com/bisnis/2021/05/27/lebih-dari-39-juta-hektar-lahan-hutan-telah-tersertifikasi-ifcc-dan-pefc