WAHAI MENKES, INI ADA SARAN DARI EKS PETINGGI BIN SOAL VAKSINASI BERBAYAR

Wahai Menkes, Ini Ada Saran dari Eks Petinggi BIN soal Vaksinasi Berbayar - JPNN.com

Ekonom Dradjad H Wibowo mendorong pemerintah dan BUMN farmasi melanjutkan program vaksinasi berbayar.

Menurutnya, Indonesia sangat membutuhkan program vaksin mandiri yang dikenal dengan istilah Vaksinasi Gotong Royong itu.

“Bagi saya vaksin berbayar itu sangat bagus. Saya bukan hanya mendukung, bahkan pernah mengusulkan hal itu dengan istilah ‘vaksinasi bisnis’ dalam tulisan di sebuah media online 29 Desember 2020,” ujar Dradjad melalui layanan pesan, Selasa (13/7).

Mantan kepala Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan (DISK) di Badan Intelijen Negara (BIN) itu menyodorkan sejumlah argumen tentang pentingnya vaksinasi berbayar. Dradjad menyebut program itu akan mempercepat upaya mencapai kekebalan komunal (herd immunity).

“Alasannya sederhana, kita perlu menaikkan cakupan vaksinasi sebesar dan secepat mungkin agar herd immunity segera tercapai agar rakyat bisa beraktivitas normal sesegera mungkin,” katanya.

Dradjad mencontohkan Amerika Serikat dan Inggris yang getol melakukan vaksinasi. Aktivitas di kedua negara Barat itu pun relatif pulih.

“Lihat saja di Inggris, orang sudah bisa menonton sepak bola di Wembley,” katanya.

Alasan lain tentang pentingnya vaksinasi mandiri ialah keterbatasan kemampuan fiskal negara. Menurut Dradjad, negara menanggung biaya vaksinasi bagi rakyat yang kurang mampu saja.

“Bagi rakyat yang mampu sebaiknya dibuka kesempatan membeli vaksin sendiri. Toh ini untuk kesehatan dan keselamatan mereka juga,” ujarnya.

Dia meyakini jika cakupan vaksinasi sudah tinggi, bisnis dan kepercayaan konsumen akan pulih secara perlahan. “Konsumsi rumah tangga dan investasi akan mulai pulih juga sehingga Indonesia bisa kembali ke zona pertumbuhan positif,” ulas Dradjad.

Oleh karena itu, ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut menyarankan agar Kimia Farma dan BUMN farmasi lainnya terus melaksanakan vaksinasi berbayar.

“Menkes dan menteri terkait lainnya tinggal menjelaskan hal ini dengan baik kepada publik. Syaratnya, vaksinnya bukan dari berasal dari hibah bilateral karena tidak etis,” tutur Dradjad.(ast/jpnn)

Source: https://m.jpnn.com/amp/news/wahai-menkes-ini-ada-saran-dari-eks-petinggi-bin-soal-vaksinasi-berbayar

KIMIA FARMA DIDORONG TIDAK RAGU SEDIAKAN VAKSINASI BERBAYAR

Ilustrasi vaksinasi Covid-19.

Ekonom Dradjad H Wibowo mendorong Kimia Farma tidak usah ragu untuk menyediakan vaksinasi gotong royong dan mandiri yang berbayar untuk masyarakat umum. Langkah ini penting demi memastikan kenaikan cakupan penggunaan vaksin di masyarakat, sehingga tercapai herd immunity atau kekebalan komunal.

“Bagi saya vaksin berbayar itu sangat bagus. Apakah perusahaan yang membayar, dikenal dengan vaksin gotong royong, atau individu yang membayar, dikenal sebagai vaksin mandiri, keduanya sangat kita butuhkan,” kata Dradjad, Selasa (13/7/2021).

Drajad mengatakan pelebaran distribusi vaksin harus dilakukan, walau secara komersial. Asal yang dikomersialkan itu vaksin yang berasal dari hibah bilateral. Vaksin berbayar ini bisa dilakukan dengan vaksin komersial seperti buatan Pfizer dan atau Moderna.

“Alasannya sederhana. Kita perlu menaikkan cakupan vaksinasi sebesar dan secepat mungkin agar herd immunity segera tercapai. Tujuannya agar rakyat bisa beraktivitas normal sesegera mungkin. Lihat saja AS dan Inggris yang cakupan vaksinasi Covid-19 nya sudah tinggi. Aktivitas di sana relatif pulih. Orang bisa nonton bola di Wembley,” ujar Drajad.

Selain itu, Dradjad mengatakan kondisi ini mau tak harus diterima. Pasalnya, kemampuan fiskal negara relatif terbatas.

“Bagi rakyat yang mampu sebaiknya dibuka kesempatan membeli vaksin sendiri. Toh ini untuk kesehatan dan keselamatan mereka juga. Negara membayari rakyat yang kurang mampu,” ucap Drajad.

Dengan tingginya cakupan vaksinasi, Drajad menilai kepercayaan konsumen dan bisnis akan pelan-pelan pulih. Harapannya, konsumsi rumah tangga dan investasi akan mulai pulih juga sehingga Indonesia bisa kembali ke zona pertumbuhan positif.

“Jadi saran saya, Kimia Farma dan BUMN Farmasi yang lain maju terus saja dengan vaksinasi berbayar. Menkes dan menteri terkait lainnya tinggal menjelaskan hal ini dengan baik kepada publik,” demikian Drajad.

Source: https://www.beritasatu.com/amp/kesehatan/799995/kimia-farma-didorong-tidak-ragu-sediakan-vaksinasi-berbayar

 

VAKSIN BERBAYAR, DRADJAD: BIAR YANG MAMPU MEMBAYAR SENDIRI

Dradjad Wibowo setuju dengan adanya vaksinasi covid berbayar. Biar negara membayari yang tak mampu, an yang mampu bisa membayar sendiri. (foto ilustrasi)

Ekonom Indef, Dradjad Wibowo, yang saat ini aktif melakukan kajian COvid-19 dari aspek ekonomi, menilai adanya vaksin gotong royong yang berbayar, adalah hal yang sangat bagus. Masyarakat yang mampu biar membayar sendiri, dan negara membayari masyarakat yang tidak mampu

"Bagi saya vaksin berbayar itu sangat bagus. Apakah perusahaan yang membayar, dikenal dengan vaksin gotong royong, atau individu yang membayar, dikenal sebagai vaksin mandiri, keduanya sangat kita butuhkan,” kata Dradjad, kepada Republika, Senin (12/7).

Dradjad mengatakan bukan hanya mendukung, malah malah pernah mengusulkan hal itu dilakukan. “Waktu itu saya menyebutnya dengan istilah 'vaksinasi bisnis' dalam tulisan di sebuah media online tanggal 29 Desember 2020,” kata Dradjad.

Syaratnya, lanjut Dradjad, vaksinnya bukan dari berasal dari hibah bilateral ataupun COVAC karena tidak etis. Waktu itu Dradjad mengusulkan vaksin Pfizer dan Moderna.

Mengenai dukungannya terhadap keberadaan vaksin berbayar, Dradjad mengatakan perlunya menaikkan cakupan vaksinasi sebesar dan secepat mungkin agar herd immunity segera tercapai. Tujuannya agar rakyat bisa beraktifitas normal sesegera mungkin.

"Lihat saja AS dan Inggris yang cakupan vaksinasi Covid-19 nya sudah tinggi. Aktifitas di sana relatif pulih. Orang bisa nonton bola di Wembley,” papar Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Karena kemampuan fiskal negara relatif terbatas, menurut Dradjad, bagi rakyat yang mampu sebaiknya dibuka kesempatan membeli vaksin sendiri. "Toh ini untuk kesehatan dan keselamatan mereka juga. Negara membayari rakyat yang kurang mampu,” ungkap dia.

Dengan tingginya cakupan vaksinasi, Dradjad yakin kepercayaan konsumen dan bisnis akan pelan-pelan pulih. Harapannya, konsumsi rumah tangga dan investasi akan mulai pulih juga, sehingga Indonesia bisa kembali ke zona pertumbuhan positif.

"Jadi saran saya, Kimia Farma dan BUMN Farmasi yang lain maju terus saja dengan vaksinasi berbayar. Menkes dan menteri terkait lainnya tinggal menjelaskan hal ini dengan baik kepada publik,” kata Dradjad menyarankan.

Source: https://www.republika.co.id/berita/qw4emo318/vaksin-berbayar-dradjad-biar-yang-mampu-membayar-sendiri

VAKSIN COVID-19 BERBAYAR TUAI PRO-KONTRA DARI EKONOM

Vaksinasi Gotong Royong Individu Berbayar Kimia Farma

Munculnya pilihan vaksin COVID-19 berbayar menuai pro-kontra. Program vaksinasi gotong royong individu ini disebut demi mempercepat herd immunity.

Meski Kementerian Kesehatan RI menjamin ketersediaan stok vaksin COVID-19 gratis dari pemerintah, namun tak sedikit yang akhirnya mendesak pembatalan vaksin COVID-19 berbayar Kimia Farma.

Salah satunya muncul dari pakar Ekonomi. Director Political Economy & Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menilai, adanya vaksin berbayar membuat penguasa dan pengusaha kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Menurutnya, kebijakan tersebut akan menguntungkan segelintir pihak saja.

"Sebaiknya jangan ada dualisme dalam pendistribusian vaksin ini, sebaiknya semua ditanggung oleh pemerintah agar program vaksin bisa merata ke setiap orang. Sudah tidak ada kepercayaan publik kepada penguasa dan pengusaha, kalau vaksin ini dibiarkan dijual di Kimia Farma," kata Anthony saat dihubungi detikcom, Senin (12/7/2021).

Dia mempertanyakan, kesanggupan pemerintah dalam menyediakan vaksin gratis jika vaksin mandiri bergulir. Jika tidak ada jaminan dari pemerintah, lanjutnya, maka bisa saja pemerintah berdalih sudah tidak ada vaksin sehingga membuat masyarakat harus membeli di Kimia Farma.

"Kalau tidak ada jaminan tersebut, maka bisa saja pemerintah bilang sudah tidak ada vaksin, sehingga rakyat harus membeli di Kimia Farma," tuturnya.

"Dan saya rasa ini yang akan terjadi. Manipulasi keberadaan dan ketersediaan vaksin pemerintah, agar pemerintah dapat menghindari pengeluaran dan pengusaha dapat untung besar. Sangat bahaya. Ya memang tujuannya untuk menguntungkan segelintir pihak saja," kata Anthony menambahkan.

Di sisi lain,Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Wibowo menilai, antara vaksin gotong royong dari pengusaha dan vaksin mandiri berbayar sangat dibutuhkan. Menurutnya, mempercepat vaksinasi sekaligus mengatasi pandemi dan memulihkan ekonomi nasional.

"Saya bukan hanya mendukung. Saya malah pernah mengusulkan hal ini dengan istilah 'vaksinasi bisnis' pada 29 Desember lalu. Syaratnya, vaksinnya bukan dari berasal dari hibah bilateral ataupun COVAC karena tidak etis," kata Dradjad.

Lebih lanjut, alasan 'vaksinasi bisnis' yang ia maksud agar herd immunity segera tercapai dan masyarakat dapat beraktivitas normal sesegera mungkin. Dia pun mencontohkan warga negara di Amerika Serikat dan Inggris yang memiliki cakupan vaksinasi tinggi hingga bisa menonton pertandingan olahraga dengan bebas.

"Karena kemampuan fiskal negara relatif terbatas, bagi rakyat yang mampu sebaiknya dibuka kesempatan membeli vaksin sendiri. Toh ini untuk kesehatan dan keselamatan mereka juga. Negara membayari rakyat yang kurang mampu," jelasnya.

Dia menuturkan, cakupan vaksinasi yang tinggi justru dinilainya mampu memulihkan kepercayaan konsumen dan bisnis. Harapannya, kata dia, konsumsi rumah tangga dan investasi akan mulai pulih sehingga RI bisa kembali ke zona pertumbuhan positif.

"Jadi saran saya, Kimia Farma dan BUMN Farmasi yang lain maju terus saja dengan vaksinasi berbayar. Menkes dan menteri terkait lainnya tinggal menjelaskan hal ini dengan baik kepada publik," pungkasnya.

Source: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5640509/vaksin-covid-19-berbayar-tuai-pro-kontra-dari-ekonom/amp

Media News Bulletin from PEFC Asia Pacific July 2021

Can't See the Wood for the Trees? Put on Your Sustainability Glasses

Don't let anyone tell you that the pandemic with its consequential health and economic impact is holding back the global timber, rubber, paper and packaging industries. What's more, the sustainability trend reigns supreme. Those who believe in the importance of responsible sourcing and sustainable supply chains are seeing widespread acceptance of change for good!. This issue has the latest on the natural rubber campaign and how PEFC is helping the fashion industry come clean. Mass Engineered Timber (MET) and Digitalisation for the Built Environment rate highly too. All with particular relevance to Media and its followers in Asia Pacific. Pictured above is International House, Sydney, Australia, which won the World Architecture Festival - PEFC Best Use of Certified Timber Prize in 2018.

Saving Lives. Saving Forests. With Natural Rubber.

Rubber helps save lives. If it’s produced sustainably, it can help save forests, too. Rubber is found in hospitals worldwide. From latex gloves to pacemakers, seals for controlled drug delivery devices, even your blood pressure cuff. Rubber isn’t the most obvious part of our modern medical infrastructure, but if it suddenly disappeared our hospitals would be in disarray. Most of this rubber starts its life in rubber trees – billions of them on small plantations all over the world. There the rubber is tapped by hand, and brought to market by millions of smallholders. PEFC works with these smallholders so that they can increase their yields, and produce rubber in a way that protects their plantations and nearby forests. This is one of the key messages in PEFC's Supporting Sustainable Rubber campaign, launched on 7 July. Read all about it.

PEFC Joins in "Making Peace with Nature" in Climate Week

The Virtual Thematic Sessions of Asia-Pacific Climate Week 2021 (APCW 2021) run from 6 to 9 July and is hosted by the Government of Japan. The sessions are designed to boost the climate change response of countries in Asia and the Pacific and build momentum for the crucial UN Climate Change Conference COP26 in November in Glasgow. Taking part in the ‘Making peace with nature in the context of climate action’ session, Richard Laity, PEFC South-East Asia Manager, is on the ‘Strengthening governance and policy innovation’ panel discussion. Japan, as a country which pledged net-zero emissions by 2050, is hosting the Asia Pacific Climate Week 2021, in the hope of enhancing collaboration for redesigning our socio-economic system through decarbonisation.” Still time to participate in Climate Week

BuildTech Asia on Digitalisation for the Built Environment

Dealing with real live issues and coming up with solutions is not the easiest when its all online. But BuildTech Asia achieved that by going digital in more ways than one. PEFC was there - virtually of course - and came away with some very realistic answers. The digital edition of BuildTech Asia exhibition is running 7 to 8 July to facilitate the exchange of insights, knowledge and solutions towards accelerating the adoption of smart technologies, as well as strengthening Industry 4.0 capabilities for the built environment sector. This year, it has more than 50 key industry leaders speaking at 40 online webinars and also features over 100 exhibiting global brands. You can catch at least one important message from BuildTech Asia by listening to On Prime Time, with host Rachel Kelly who finds out how digitalisation is shaking up the built environment in a special interview with Dr Teo Ho Pin, Honorary Advisory, Singapore Institute of Building. Listen up.

It's in Fashion: Join for the Global Climate Action Initiative

For most large fashion brands, emissions from production, manufacturing and materials will all be higher than from direct operation. The 2021 edition of the organisation’s Transparency Index, published this week, analyses the reporting and other disclosure processes of the world’s largest fashion companies, covering information relating to human rights and environmental impact. This week PEFC is also proud to announce that it has joined the UNFCCC Fashion for Global Climate Action initiative as a signatory to the Fashion Industry Charter for Climate Action. The Fashion for Global Climate Action initiative calls on the fashion industry to acknowledge the contribution of the sector to climate change and our shared responsibility to strive towards climate neutrality for a safer planet. PEFC also continues its own "Fashions Change, Forests Stay" campaign. Read all about it.

Metsa Group's "Sustainability Unfolded" for Forests

Responsible forest use does not cause climate change – but fights it. There is a genuine need to increase knowledge and create a positive attitude towards responsible forest management. When conducted correctly, it helps us preserve our planet’s viability for the future generations. Sustainable forest management plays a key role in the process of reforestation. Growing trees absorb more CO2 than mature ones, so how we manage to secure the healthy growth of forests is essential. If after regeneration felling, each felled tree is always replaced with three to four new seedlings, you can definitely call it reforestation. That's a clear message from Metsa Group - a long time PEFC International Stakeholder Member - whose business operations cover the entire value chain for wood, from wood products and forest services to tissue or paperboard. There's more here.

Responsible Wood: The Master & his Apprentice in Tasmania

Craig Howard and son Jack are two of Tasmania’s finest timber craftsman. They really are two of a kind… Two parts of the Heritage Furniture legacy, fourth and fifth-generation timber artisans alike, both have forged reputations as specialists in designing and manufacturing handcrafted masterpieces. Located in an elevated inlet overlooking Geilston Bay, the Heritage Furniture workshop contains a treasure trove of high valued specialty timbers including the iconic Tasmanian Huon Pine, King Billy Pine, Celery-top Pine, Blackwood, Blackheart Sassafras, Myrtle in addition to selected imported timbers such as cedar and mahogany. Read more about Heritage Furniture.

Unearthing the Delights & Insights in Tomorrow's Timber

Timber is in the news everywhere. For all the right reasons. And it's difficult to avoid running into tall stories about Mass Engineered Timber (MET) and buildings made entirely of wood. Of course, there will be the naysayers who come up with all the reasons why wood is not so good - for the environment, for fire safety, for its added cost. But when you believe in timber as the best material for building - as PEFC obviously does - its good to read what Pablo van der Lugt has to say, and show, in Tomorrow's Timber. No holding back. Page after page of case studies, plans, architects' ideas, drawings and photographs of some of the best examples in the world. It all goes to illustrate what the author calls "the next building revolution". Read Ken Hickson's review here.

Certified Paper Packaging & the Circular Economy

A 2020 Two Sides Survey on European Packaging Preferences found that paperboard packaging is favoured by consumers as being better for the environment and considered easier to recycle and home compost. If you are a brand owner or retailer looking to understand and learn more about how certified paper packaging affects you and how you can play a larger part in the circular economy, you can join in the PEFC webinar on Thursday 8 July or catch the recording of it. See how innovative certified paper-based packaging solutions are meeting the challenge for more environmentally friendly alternatives. Speakers include Christophe Jordan from Arjo Wiggins who will present Sylvicta (pictured) – a ground-breaking new sustainable alternative to plastic packaging using PEFC-certified wood pulp. Read more

Singapore's Six Garden Pavilions in PEFC Certified Timber

Beautiful wooden structures are taking shape at National Park’s Jurong Lake Gardens. It’s been 25 years since Venturer Timberwork built National Park’s Botanical Gardens Visitors' Centre. Since then Kevin Hill says there’s been a great deal of evolution, especially on the sustainability front. We visited the building site in Jurong last week to see how a PEFC audit is conducted and interview those involved in the assembly of the six timber pavilions. See more here.

Who Wants to Win the "Best Use of Certified Timber Prize"?

For the third time, PEFC is supporting the World Architecture Festival 'Best Use of Certified Timber Prize', rewarding architects and project teams for their use of certified timber as a main construction material for buildings outstanding in sustainability, innovation, quality or aesthetics. “In the two years’ dialogue with renowned architects at WAF, we have noticed an increasing interest in sustainable timber. Some architects even say it’s 'the only way forward'," said Fabienne Sinclair, Head of Marketing at PEFC International. "We are pleased to contribute to making both forests and construction more sustainable.” Read and see more here.