Catatan Penting Stakeholders Meeting

 

BEBERAPA CATATAN PENTING

ACARA : STAKEHOLDERS MEETING

TANGGAL : 6 Maret 2012

PUKUL : 08.45 s.d selesai

TEMPAT : Tumbar Jinten Restoran, Perum. Grand Sentul City Blok C 4.1 No. 31 Bogor, Jawa Barat

Jumlah peserta yang melakukan registrasi sebanyak 63 (enam puluh tiga) orang yang berasal dari: (1) Unit Manajemen Hutan; (2) Industri Kehutanan; (3) Asosiasi-asosiasi pengusaha bidang kehutanan; (4) Pemerintahan; (5) Serikat pekerja kehutanan; (6) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); (7) Akademisi; dan (8) Masyarakat/individu.

SESI 1 “IFCC: A New Forestry Certification Initiative in Indonesia” oleh Dr. Ir. H. Dradjad H. Wibowo, M.Ec. (Ketua Umum IFCC). Isi paparan antara lain tentang: (1) Mengapa diperlukan inisiasi baru dalam sertifikasi pengelolaan hutan secara lestari. Kebutuhan akan skema sertifikasi yang diterima di pasar global; (2) Keberadaan dan semangat IFCC, maksud dan tujuan didirikan IFCC, keanggotaan IFCC (kaukus masyarakat sipil dan kaukus bisnis), serta kegiatan IFCC (mengembangkan dan merevisi standar, dan mengembangkan kapasitas serta uji kompetensi, tetapi tidak melakukan akreditasi), target IFCC sebagai governing body dan PEFC member pada akhir tahun 2012; (3) Maksud diadakannya SHM yaitu antara lain mengundang stakeholders untuk menjadi anggota IFCC dan nominasi komite standardisasi.

SESI 2 “Developing Indonesian Forest Certification Scheme” oleh Mr. Jaroslav Timrak (Head of Technical Unit PEFC). Inti pemaparan ada 3 poin yaitu: (1) Insentif; (2) struktur; dan (3) proses pengembangan sistem.


Saat ini sertifikasi sudah menjadi keharusan, terutama dikarenakan permintaan pasar bukan hanya dari pembeli tetapi juga dari kebijakan negara maupun swasta dalam hal pengadaan barang, dan ini terjadi di Eropa, Amerika, dan negara lainnya. Stakeholder mempunyai berbagai pilihan dalam mengembangkan skema di negara masing-masing, apakah akan bergabung dengan FSC ataukah PEFC atau akan membangun skema nasional sendiri. Membangun skema nasional sendiri mempunyai berbagai manfaat dan terkait dengan kebanggaan serta kedaulatan nasional, dimana pengambilan keputusan sertifikasi ditentukan sendiri di dalam negeri. Namun, apapun yang dibangun secara nasional harus dapat diakui secara internasional.

Struktur Skema Sertifikasi. Di dalam standar untuk operator, ada standar untuk manajemen hutan (untuk hutan alam dan hutan tanaman), CoC, dan penggunaan logo. Untuk Lembaga Sertifikasi (LS), ada standar tersendiri dalam SFM maupun CoC. Prasyaratnya sebagian besar sudah ada dalam ISO tetapi untuk di Indonesia, perlu diatur kembali prasyarat-prasyarat yang spesifik dan disesuaikan dengan ISO. Bagi IFCC, standar yang harus dikembangkan yaitu standard setting procedure, prosedur jika ada komplain/banding, pemberitahuan dan registrasi kepada LS, maupun lisensi penggunaan logo. Persyaratan umumnya adalah bahwa proses pengembangan standar harus dilakukan dalam forum terbuka, transparan, multistakholder, dan berbasis pada konsensus dalam pengambilan keputusan. Namun pada saat yang sama, proses juga harus efisien dan fokus untuk menghasilkan sesuatu tepat pada waktunya.

Organisasi proses pengembangan standar:

- Tahap persiapan, terdiri dari: (1) Pengumuman publik bahwa akan dilakukan pengembangan sistem; (2) Mengundang stakeholder untuk menominasikan calon anggota standar komite, yang akan diseleksi IFCC berdasarkan kompetensi dan keterwakilan; (3) IFCC membentuk komite standar berdasarkan nominasi; (4) Komite standar menyiapkan draf awal yang akan dibahas pada pertemuan-pertemuan komite selanjutnya.

- Tahap komite (sangat krusial), dimana anggota komite akan mendiskusikan isi dari standar yang akan dikembangkan untuk membangun konsensus. IFCC harus mempunyai komite standar dengan keterwakilan stakeholder yang seimbang untuk membangun konsensus. Agar efisien, dalam komite standar keanggotaannya tidak terlalu banyak hanya sekitar 20 orang yang penting keterwakilan konstituennya. Konsensus yang diambil Komite standardisasi harus disetujui secara formal oleh Board of Director (BoD) dan Rapat Umum Anggota (RUA). Jika BoD dan RUA tidak dapat menerima konsensus, maka BoD dan RUA tidak dapat mengubahnya. Yang dapat mereka lakukan adalah konsensus tersebut harus dikembalikan kepada komite dan menyatakan tidak bisa menerima. BoD dan RUA sebagai pemilik tidak bisa mengubah hanya bisa menerima atau menolak.

- Konsultasi publik, dimana draf standar dipresentasikan kepada masyarakat agar para pihak bisa memberikan komentar, pandangan, ketidaksetujuannya. Proses ini perlu difasilitasi melalui pertemuan-pertemuan publik, seminar, artikel.

- Pilot testing: untuk melihat apakah standar bisa diterapkan, berjalan, dan cocok. Apakah perlu diperbaiki atau bisa diterapkan di Indonesia, serta efisien.

- Adopsi formal dilakukan oleh BoD dan RUA IFCC, setelah komite mengatakan bahwa draf tersebut sudah sesuai dengan masukan stakeholder dan sudah diuji coba dilapangan, dan ini adalah konsensus terbaik yang dihasilkan, maka IFCC (BoD dan RUA) akan mengakui draf tersebut sebagai standar IFCC.

- Mempublikasikan standar dan setelah itu semua pihak bisa menggunakannya.

Rencana menyelesaikan proses ini adalah sampai dengan akhir tahun 2012. Stakeholder harus bisa menyeimbangkan semua kepentingan yang berbeda-beda untuk mencapai konsensus. Dalam time table waktu terbesar adalah untuk komite karena ini adalah tahap untuk menghimpun masukan dan untuk mencapai konsensus.

Standar yang dikembangkan adalah standar yang applicable dan acceptable. Standar yang dikembangankan dalam lima tahun ke depan akan ditinjau kembali dan prosesnya diulang lagi seperti sekarang.

SESI 3 “Kerangka Standar Sistem Sertifikasi PEFC” oleh Bp. Imam Soeseno dan Bp. Daru Asycarya. Sistem yang akan dikembangkan IFCC sifatnya applicable, implementable, dan acceptable. Tantangan bagi IFCC untuk membuat sistem ini diakui di pasar.

Jika kita berbicara standar sertifikasi kita tidak bisa lepas dari pilar SFM (produksi, ekologi, sosial) yang akan menjadi pegangan dalam pengembangan standar. Selain itu, elemen kunci dalam pengembangan standar yang diinginkan adalah terbuka, transparan, berdasarkan konsensus, partisipasi multi pihak baik lokal maupun nasional yang mempunyai kepentingan terhadap hutan (syarat keterwakilan). Kategori stakeholder dalam guideline PEFC (mengacu pada agenda 21), ada 9 kategori yaitu (1) Kalangan bisnis dan industri, (2) Anak-anak/kaum pemuda; (3) Pemilik hutan; (4) Indigenous people; (5) Pemerintah setempat; (6) NGO; (7) Akademisi; (8) Perempuan; (9) Worker and trade union.

Aturan dalam standard setting: Stakeholders mapping, pengumuman bahwa IFCC sedang melakukan penyusunan standar, menyusun komite standar, beberapa seri konsultasi publik, uji coba, membangun konsensus pada draf final, persetujuan secara formal terhadap standar IFCC, publikasi.

Dalam pengembangan logical framework IFCC, kita mengacu pada PEFC standard 1003-2010 (SFM requirement). Tetapi tentunya kita harus melihat pada goal-nya (SFM atau well manage forest). C & I dari PEFC hanya basic lebih sebagai appetizer tapi bagaimana melaksanakan terserah nasional (yang ditentukan dalam Komite Standar). Karena kita merujuk pada PEFC, maka kita dedicated to promoting SFM, tujuan kita memang SFM tapi konteksnya to promote SFM through third party certification.

Pengalaman-pengalaman stakeholder dalam masalah sertifikasi pengelolaan hutan dapat menjadi masukan dalam pengembangan standar IFCC. Namun kita harus mengingat kompleksitas isu-isu yang terkait dengan kehutanan. Oleh karena itu dalam diskusi komite standar nanti harus bisa menutup kemungkinan gap-gap yang muncul karena kompleksitas isu, sehingga standar yang disusun tidak menimbulkan lubang-lubang yang diragukan kredibilitasnya. Dalam pengembangan standar kita juga akan memperhatikan perbaikan berkelanjutan (continuous improvement) dan bagaimana perusahaan mengaplikasikan standar tersebut. Performance standar yang dikembangkan tidak hanya proses tetapi juga outcome.

Di dalam skema sertifikasi mengandung unsur-unsur manajemen siklus yang terdiri dari empat: plan (perencanaan), do (pelaksanaan), check (monitoring dan evaluasi), act (follow up/tindak lanjut). Hal-hal tersebut akan dimasukkan dalam standar IFCC.

Bila standar IFCC ingin meng-adopt standar PEFC, harus dilihat kelemahan-kelemahannya. Contoh kriteria 3.6 PEFC: “Harvesting levels of both wood and non-wood forest productskriteri shall not exceed a rate that can be sustained in the long term, and optimum use shall be made of the harvested forest products, with due regard to nutrient off-take”. Kriteria ini acceptable tetapi tidak applicable. Sebaiknya “Harvesting” diganti “forest stock”. Kelestarian hasil dilihat kalau stok nya lestari.

Contoh lain, kriteria 1 PEFC: “Maintenance and appropriate enhancement of forest resources and their contribution to the global carbon cycle”, jika ini diserahkan kepada Unit Manajemen akan susah dan costly. Ini harus diberikan oleh pemerintah. Dalam UU Lingkungan Hidup (LH), mengamanatkan “internalisasi atas potensi harus dilakukan oleh pemerintah”. Oleh karena itu, pemerintah harus menyediakan dana yang cukup. Kewajiban UM meningkatkan atau mempertahankan tapi bukan menetapkan karena terlalu berat dan costly.

Sistem yang dibangun IFCC sebaiknya tidak membatasi bagi UM yang ingin ikut sertifikasi.

Pada SESI 3 juga dilakukan nominasi Komite Standar. Nominasi dikelompokkan berdasarkan 9 kelompok stakeholders. Komite standar bukan hanya anggota IFCC dan peserta SHM, tetapi terbuka juga bagi yang belum hadir dalam SHM, dan diharapkan setelah menjadi komite yang bersangkutan mau menjadi anggota IFCC karena disayangkan kalau standar sudah terbentuk tapi tidak dikawal. Agenda hari ini baru sampai tahap menominasikan nama tetapi belum diputuskan. Dasar penetapan, siapa komite, kapan mulai bekerja, akan diumumkan/dipublikasikan setelah diputuskan oleh Board of Director IFCC.

SESI 4 diskusi kelompok. Seluruh peserta dibagi ke dalam 3 kelompok (kelompok produksi, kelompok ekologi, dan kelompok sosial) yang difasilitasi oleh tim kecil pengembangan sistem. Kelompok produksi difasilitasi oleh Bp. Rudi Setyawan. Kelompok ekologi difasilitasi oleh Bp. Nurcahyo Adi. Sedangkan kelompok sosial difasilitasi oleh Bp. Wahyu Riva. Tujuan dari diskusi masing-masing kelompok ini adalah untuk menghimpun masukan atas isu-isu krusial dalam pengelolaan hutan yang akan menjadi masukan dalam pengembangan standar sistem sertifikasi IFCC.

Hasil diskusi dari masing-masing kelompok adalah sebagai berikut:

Kelompok : Produksi

GAP analisis aspek produksi:

1. Legal: pemenuhan pengaturan perundang-undangan dan khususnya legalitas perusahaan, dan pengaturan perundangan terkait tenaga kerja.

2. Perbaikan berkesinambungan, tidak hanya penilaian kinerja tetapi juga sistem manajemen. Bagaimana operasionalnya?

3. Isu-isu kunci:

- Inventory

- Kinerja pihak ketiga, yang pada saat penilaian dibebankan kepada UM. Contoh: tata batas, ada kontribusi pihak ketiga yang hasil akhirnya dibebankan kepada UM

- CoC hutan, dalam pengelolaan hutan ada beberapa rantai yang terputus.

- Kemantapan kawasan/perubahan luasan yang semakin mengecil, perubahan area (alih fungsi, encroachment/perambahan, pertambangan yang tiba-tiba masuk). Ada peraturan di luar kehutanan yang setiap 5 tahun kawasan (tidak hanya hutan) bisa direvisi.

- Finance (kesehatan keuangan perusahaan), sejauhmana kita membuat baseline karena di Indonesia sering terjadi fluktuasi (tergantung politik, dll).

- Endorsement VLK/PHPL sebagai “non controversial sources”

Kelompok : Ekologi

Dua puluh empat isu bidang ekologi, yaitu:

a. Forest Conversion (definisi konversi menggunakan definisi FAO)

b. Deforestasi

c. Degradasi

d. Karbon (termasuk emisi)

e. Biodiversity

f. Fragmentasi habitat

g. HCVF (High Conservation Value Forest)/ Hutan bernilai konservasi tinggi

h. Endangered species / CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species)

i. Kawasan dilindungi

j. Perlindungan dan pengamanan

k. Kebakaran

l. GMO (Generic Modified Organizm)

m. Fertilizer

n. Pest and Diseases

o. Erosi

p. Penurunan genetik/plasma nutfah

q. RIL (Reduced Impact Logging)

r. Pengelolaan dan pemantauan dampak

s. Perladangan

t. Monokultur

u. Limbah

v. Subsidensi/ Penurunan lahan gambut

w. Endangered Plant

x. Sensitive Ecosystem

Isu-isu penting di bidang ekologi ini sebaiknya mengacu kepada peraturan pemerintah (P.68). Begitupun dengan sistem yang dibangun oleh IFCC sebaiknya bersinergi dengan sistem sertifikasi yang dibangun oleh pemerintah.

Dari ke-24 isu tersebut, dikelompokan dalam kelompok besar menjadi:

a. Konservasi Hutan (monokultur, GMO, penurunan genetik, Pest and diseases, RIL)

b. Konservasi Tanah dan Air (limbah, fertilizer, RIL)

c. Karbon (conversion, subsidensi, RIL)

d. Perubahan Fungsi Lahan (forest conversion)

a. KONSERVASI HUTAN:

Fokus pada:

- Biodiversitas

- Landscape and ecosystem

- Habitat and endangered species

Isu yang harus ada dalam standar IFCC:

1) Spatial planning à kantong satwa, koridor tata ruang dan connectivity

2) Considering Cites

b. KONSERVASI TANAH DAN AIR:

Fokus pada:

- Erosi

- Fertilizer

- Areal Perlindungan

Isu yang harus ada dalam standar IFCC:

1) Daerah kiri-kanan sungai/mata air/pantai/danau

2) Pengelolaan limbah

3) Pest control

4) Peat Subsiden


c. KARBON:

Fokus pada:

- Degradasi

- Deforestasi

- Carbon sequestration

- Carbon Stock

- Emisi karbon

Isu yang harus ada dalam standar IFCC:

1) RIL

2) Penanaman/ reboisasi/ rehabilitasi

3) Water management à kaitannya dengan Peat Subsiden

4) Karbon emisi vs sequestration, harus seimbang

Catatan: karbon adalah reservoir dari 2 hal, yaitu Tanah dan air, banyak yang salah kaprah bahwa dengan menebang berarti emisi karbon meningkat.

d. PERUBAHAN FUNGSI LAHAN:

Fokus pada:

- Konversi

- Pinjam Pakai

- Tukar guling

Isu yang harus ada dalam standar IFCC:

1) Harus ada definisi yang jelas bahwa HTI itu bukan konversi (menurut FAO) karena masalah konversi saat ini masih menjadi perdebatan.

2) Catatan penting untuk IFCC adalah membangun HTI bukan konversi

- Pada saat kita bicara biodiversity, yang harus diperhatikan adalah bagaimana cara mengukurnya, namun tetap dilihat upaya Unit Manajemen untuk mempertahankan kelestarian ekologi. Misalnya dalam spatial planning apakah ada kantong satwa (konsentrasi populasi satwa) atau tidak, apakah ada biodiversity corridor, connectivity, dsb? Apakah sudah ada dalam landscaping-nya? Bukan kepada mahluknya, misalnya berapa jumlah harimau, berapa jumlah ular, orang utan, dsb.

- PEFC sebaiknya membuat “payung”-nya saja, nanti di lapangan diterjemahkan sesuai dengan kondisi masing-masing. Jadi prinsip dan indikator yang dibuat oleh PEFC itu sederhana dan simple. Arahnya ke mandatory. Jadi, aplikasi di lapangan, cukup satu treatment untuk masing-masing sertifikasi.

- Menghapus isu “cut of year” karena tidak ada kaitan antara “cut of year” dengan SFM.

- Masalah penting lainnya adalah Legal compliance. Legal compliance menjadi pra kondisi penyusunan standard à not conflicting with government regulation.

Kelompok : Sosial

Dua hal penting yang muncul terkait hubungan masyarakat dengan perusahaan: (1) aspek sosial dengan masyarakat; (2) pekerja yang berada dalam perusahaan

1. Hubungan UM dengan masyarakat:

- Komunikasi langsung : apakah ada hubungan baik/komunikasi antara pengusaha dengan masyarakat?

- Sosialisasi intensif

- Jaminan sosial untuk masyarakat

- Kepastian mengenai keamanan kawasan hutan

- Meminimalisir dampak sosial operasi UM

- Pengembangan CSR & monitoring (terkait aspek legal)

- Mekanisme penanganan konflik

- Identifikasi stakeholder lokal

- Pengakuan terhadap masyarakat adat

- Pengembangan ekonomi masyarakat (disertai pendampingan)

- Opsi saham

2. Hubungan UM dengan karyawan

- Pemenuhan hak pekerja

- Penyerapan tenaga kerja lokal

- Kejelasan sistem kontrak

- Membuka peluang untuk kepemilikan (opsi saham)

- Mekanisme penanganan konflik