IFCC Galakkan Standarisasi Hutan, Dorong Masyarakat Makin Ramah Lingkungan

Dr Ir Dradjad Hari Wibowo, M Ec

Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) menggalakkan standarisasi atau sertifikasi hutan.

Hal ini bertujuan untuk mengurangi dan mencegah kerusakan hutan. 

IFCC adalah organisasi nasional yang menginisiasi penyelenggaraan sertifikasi kehutanan di Indonesia dengan skema Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC).

PEFC merupakan sistem sertifikasi hutan terbesar di dunia dengan 43 anggota dari negara-negara di dunia.

Ketua Umum IFCC, Dr Ir Dradjad Hari Wibowo, M Ec mengatakan, organisasi yang dibentuk 9 September 2011 ini bertujuan menyelesaikan permasalahan Indonesia mengenai penggunaan hasil hutan, khususnya kayu, yang dianggap merusak dan mengancam kelestarian hutan di Indonesia.

Menurutnya, Indonesia perlu menyelesaikan permasalahan ini dengan memberi standarisasi tehadap pengelolaan hutan di Indonesia, sehingga hutan-hutan ini bisa dikelola dengan baik.

Kita perlu memberi label, sehingga produsen tahu mana hasil hutan dari hutan yang dikelola dengan baik, dan yang mana yang tidak,” ujarnya.

Hal ini juga sesuai dengan kebutuhan Internasional yang hanya membeli hasil hutan atau produk dari hasil hutan, seperti kertas dan tisu dari hutan lestari yang terkelola secara sustainable.

Tanpa sertifikasi ini, ekspor bubur kertas Indonesia dan ekspor-ekspor produk-produk hasil hutan lainnya bisa terganggu.Padahal ekspor produk-produk tersebut bisa mencapai lebih dari 10 miliar USD per tahun,” jelas Dradjad.

Saat ini sudah ada sekitar 1,8 juta hektare hutan tanaman industri di Indonesia yang mendapat label IFCC.

Untuk Bali yang tidak memiliki hutan, namun banyak memiliki hutan dan kebun-kebun rakyat, saat ini IFCC sedang mengembangkan skema sertifikasi untuk hutan rakyat.

“Karena biayanya yang mahal, IFCC sedang membuat skema agar masyarakat tidak perlu membayar,” ujar Dradjad.

Dengan adanya sertifikasi atau label yang tertera pada produk kerajinan, seperti furniture dan ukiran-ukiran, maka Bali akan membawa hasil produksinya ke pasar internasional kelas atas, supermarket-supermarket terbesar di dunia, seperti di Wallmart.

Dradjad juga menyampaikan bahwa saat ini juga sedang digalakkan perubahan filosofi dalam pembangunan usaha.

Kita tidak bisa membuat usaha dengan hanya sekedar mencari untung, namun juga harus memperhatikan lingkungan,”terangnya.

IFCC memastikan bahwa perusahaan yang mendapatkan sertifikat ini menandakan bahwa perusahaan tersebut sudah ramah terhadap lingkungan, masyarakat dan pekerjanya.

Perusahaan di Indonesia yang sudah memiliki label IFCC dan PEFC antara lain seperti majalah Travel 3sixty (AirAsia Inflight Magazine), Gramedia, kertas fotokopi “Paper One” (APRIL group – Asia Pacific Resources International Holdings Ltd.), kertas fotokopi”Paper Line” (APP – Asia Pulp and Paper), PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP), PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk (PT IKPP Tbk) dan lain lain.

Dradjad juga menghimbau masyarakat memperhatikan kemasan produk-produk yang dibeli menggunakan bahan kertas yang berasal dari hutan lestari, seperti susu, cereal, kardus, buku, dan sebagainya.

Ia mengatakan, masyarakat memiliki kuasa dalam mendorong pengusaha lebih ramah terhadap lingkungan dengan daya belinya.

“Pilihlah kemasan produk yang berlogo IFCC dan PEFC,” ujarnya.

Dradjad juga mengajak pemuda mulai sadar terhadap permasalahan lingkungan yang saat ini sudah sangat mendesak.

Mulailah membuat usaha dengan dasar pemecahan masalah, terutama lingkungan,”ujarnya.

Annual General Assembly (AGM) ke-26 yang diselenggarakan PEFC di Hotel Sheraton, Kuta, Bali dari Senin, (14/11/2016) hingga Jumat (18/11/2016) dengan Indonesia sebagai tuan rumah ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi IFCC.

AGM kali ini bertemakan Sustainable Landscape for Sustainable Livelihood, bagaimana mengelola sumber daya tanah dan vegetasi di atasnya dengan lestari bagi kelestarian kehidupan manusia.

“Tidak hanya hutan saja, dengan tema ini kita juga mengelola kebun, hutan agro dengan lestari,” terangnya.

Hal ini sesuai dengan fenomena yang dihadapi Bali saat ini, dimana masyarakat, khususnya seniman yang saat ini sulit mencari bahan kayu untuk furniture karena pengelolaan hutan rakyat yang tidak sustainable. 

Sekali lagi Dradjad mengingatkan, masalah lingkungan yang dihadapi Indonesia sangat mendesak. Indonesia sangat tergantung dengan hutan dan sumber daya alam.

“Kita tidak bisa menghentikan pembangunan, maka yang harus diambil adalah jalan tengahnya, dengan ikut berpartisipasi dalam pelestarian hutan dan lingkungan,” tegasnya. (*)

Sumber berita: www.baruaja.com