Indonesia’s Rate of Deforestation Dropped for Four Years in a Row

From The Guardian:

Smoke billows from a fire in the Amazon rainforest in Oiapoque, Amapa state, Brazil, last October.

“Deforestation is decreasing in Indonesia, which has dropped out of the WRI’s list of top three countries for primary forest loss for the first time. Tree loss in Indonesia in 2020 fell for the fourth year in a row, down from a peak in 2016 after devastating forest and peat fires led the government to place a moratorium on the cutting down of primary forest and converting peatland to agriculture while restricting licensing for palm oil plantations.” Read more

From New York Times:

A wildfire burned through part of the vast Pantanal wetlands in Mato Grosso State, Brazil, in August.

“Indonesia and Malaysia were rare bright spots, with forest loss declining from 2019. For Indonesia, 2020 marked the fourth year in a row of declines, a sign the government was having success in its efforts to halt deforestation following a horrific fire season in 2015.“ Read more

From World Resources Institute: 

"While global deforestation numbers are distressing, progress in Southeast Asia offers a bright spot.

Indonesia’s rate of primary forest loss decreased for the fourth year in a row in 2020, one of only a few countries to do so. Indonesia also dropped out of the top three countries for primary forest loss for the first time since our record-keeping began." Read more

 

 

Pengamat: Pemerintah Lemah Tangani Strategi Dagang ke Global

Jakarta, Gatra.com - Ekonom INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Drajad Wibowo, mengungkapkan ada 1 hal yang tampaknya pemerintah agak lemah menangani strategi perdagangan Indonesia ke pasar global.

"Yaitu isu-isu yang terkait dengan sustainability ya, isu-isu yang terkait dengan lingkungan hidup, sustainabilitas dan terkait dengan human rights. Karena sekarang ini perdagangan tidak murni hanya masalah harga saja, tidak murni masalah kepentingan bidang harga dan kualitas, tapi sudah masuk ke isu-isu yang non-ekonomi yang menjadi preferensi konsumen di berbagai negara," ungkapnya, dalam webinar yang diselenggarakan oleh Tribunnews.com dengan bertajuk "Dialog Gerakan Ekspor Nasional" (Diginas) pada Selasa sore, (6/4).

Drajad mengatakan, bahwasanya di China itu kurang terkait dengan isu-isu itu, namun di sisi lain Indonesia tak bisa terlalu bergantung pada negara tirai bambu tersebut untuk berbagai kegiatan ekonomi Tanah Air. Sembari ia mengingatkan, ekspor terbesar Indonesia yaitu ke negara China senilai hampir 20 persen, yakni 19,31 persen pada tahun lalu.

"Nilainya itu sekitar 29 miliar dolar lebih ya. Tapi kita tetap juga mengalami defisit perdagangan yang besar dengan China, hampir 10 miliar ya. Impor kita dengan China itu 39 miliar dolar lebih dan dia juga mempunyai peranan hampir 31 persen. Jadi, dominasi peranan China terhadap Indonesia ini apa, cukup, cukup tinggi begitu," terangnya.

Drajad menyarankan agar pemerintah harus melakukan diversifikasi, usaha penganekaragaman produk atau bidang usaha. Namun, di beberapa pasar yang ada, Indonesia terbentur dengan isu sustainabilitas maupun isu lingkungan.

"Saya kasih contoh pulp and paper, itu dulu adalah, pulp and paper itu salah satu ekspor Indonesia dan kita menjadi pemain ke-6 maupun ke-10 terbesar di dunia ya. Tapi kita sempat babak belur di tahun 2009, 2010, 2011 karena terhajar oleh isu sustainability. Sehingga kemudian kita diboikot, diboikot oleh nama-nama besar. Mulai dari, bahkan dari Mattel ya, produsen Barbie itu memboikot produk pulp and paper kita. Kemudian juga sirop dan sebagainya memboikot produk-produk kita," tuturnya.

Lanjut Drajad, Indonesa juga mengalami hal yang sama dengan sawit, serta Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) pun mengalami hambatan yang sama karena isu lingkungan hidup maupun isu human rights atau Hak Asasi Manusia (HAM). Menurutnya, Indonesia perlu lebih pro-aktif guna mendorong para pelaku ekonomi, serta melindunginya dari kedua isu tersebut.

"Kita perlu diversifikasi pasar, jangan hanya tergantung pada 1 negara, jangan tergantung pada Cina saja, Amerika saja, itu enggak bagus. Untuk melakukan diversifikasi tersebut, itu tidak jarang bahkan sering sekali kita terhantam oleh 2 isu tadi (isu lingkungan dan HAM). Nah untuk 2 isu tadi, pemain non-pemerintah seperti saya itu bisa melakukan sesuatu. Akan tetapi, enggak akan maksimal kalo negara tidak take the lead untuk melakukan sesuatu terkait dengan 2 isu tadi," pungkas pengamat ekonomi itu.

 

Reporter: Farid Nurhakim
Editor: Bernadetta Febriana

Dradjad Wibowo dalam acara DIGINAS (Dialog Gerakan Ekspor Nasional)

WhatsApp Image 2021-04-06 at 18.47.11.jpeg

 

"Salam Hormat, Salam Cinta Produk Indonesia"

Tribunnews.com telah menggelar DIGINAS (Dialog Gerakan Ekspor Nasional) bertema, “Target Ekspor di Negara Sahabat” di ruang virtual, Selasa 6 April, pukul 14.00 WIB.

Dialog terbuka bagi insan pers, pelaku usaha serta masyarakat dengan Menteri Perdagangan M Lutfi (keynote speaker), lima Duta Besar RI dan ekonom INDEF, Dradjad Wibowo.

Ekonom INDEF Dradjad Hari Wibowo menilai Indonesia memiliki kelemahan dalam diplomasi atau strategi perdangangan terkait isu-isu lingkungan hidup (sustainability) dan hak asasi manusia (human rights).

Bercermin pada hal itu, baru dibuat sertifikasi untuk melawan isu non-ekonomi yakni lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Setelah sertifikasi, terlihat dampak signifikan lonjakan ekspor produk Indonesia di dunia.

 

Dradjad Wibowo Sebut Strategi Perdagangan Indonesia Masih Lemah Terkait Isu Lingkungan Hidup dan HAM

Drajad Wibowo (kiri).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom INDEF Dradjad Hari Wibowo menilai Indonesia memiliki kelemahan dalam diplomasi atau strategi perdangangan terkait isu-isu lingkungan hidup (sustainability) dan hak asasi manusia (human right).

Dradjat menjelaskan perdagangan tidak murni hanya masalah harga dan kualitas, tetapi sudah masuk ke isu-isu yang non-ekonomi yang menjadi preferensi dari konsumen di berbagai negara.

“Ada satu hal yang tampaknya lemah kita tangani di dalam diplomasi atau strategi perdagangan kita ke pasar global, yaitu isu-isu terkait sustainability, terkait lingkungan hidup, dan human right” ujarnya dalam "Dialog Gerakan Ekspor Nasional: Target Ekspor Negara Sahabat" yang digelar Tribun Network, Selasa (6/4/2021).

Isu-isu tersebut menurut dia, tidak akan menjadi permasalahan di negara tujuan ekspor China. Namun, isu-isu menjadi perhatian khusus saat Indonesia melakukan diversifikasi ekspor ke beberapa negara,di luar China, seperti Amerika Serikat dan Eropa. Dia mengingatkan Indonesia pernah babak belur di tahun 2009-2011, ketika pulp and paper asal Indonesia terbentur isu sustainability.

Alhasil produk ekspor Indonesia terkena boikot karena isu tersebut.

"Saat itu Indonesia menjadi pemain keenam di antara 10 pemain besar pulp and paper dunia, tapi kita sempat babak belur di 2009, 2010, 2011 karena terhajar oleh isu sustainability, sehingga kita diboikot," jelasnya.

“Kita diboikot oleh nama-nama besar mulai dari Mattel, produsen Barbie itu memboikot produk pulp and paper kita. Kita juga mengalami hal sama dengan sawit," lanjut dia.

Selain itu, industri furniture nasional yang dikelola UMKM juga mengalami hambatan yang sama terkait isu lingkungan hidup dan HAM.

Bercermin pada hal itu, baru dibuat sertifikasi untuk melawan isu non-ekonomi yakni lingkungan hidup dan hak asasi manusia.

“Kemudian, saya diminta tolong bangun sertifikasi suistanable forest management atau pengelolaan hutan lestari. Kita baru mulai lakukan sertifikasi tahun 2015, berasosiasi dengan Jenewa. Karena sertifikasi ini bukan hanya nasional, tetapi bagian dari sertifikasi kehutanan terbesar di dunia," jelasnya.

Setelah sertifikasi, kata dia, terlihat dampak signifikan lonjakan ekspor produk Indonesia di dunia.

“Efeknya terhadap ekspor ini, data sebelum 2012 kita lihat turun terus ini karena diajar boikot. Kemudian 2016, sejalan dengan makin banyak yang dapat sertifikat dan sertifikat ini d akui dunia kemudian dia naik langsung melonjak. Lonjakan pertama itu tidak tanggung-tanggung setelah mendapat setifikat itu,” katanya.

 

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi

 

Ekonom Ungkap Produsen Barbie Pernah Boikot Produk Indonesia

Ekonom Ungkap Produsen Barbie Pernah Boikot Produk Indonesia

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan produsen Barbie yakni Mattel pernah memboikot produk pulp and paper dari Indonesia.

Ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo mengatakan, hal itu terjadi di saat Indonesia melakukan diversifikasi ekspor ke beberapa negara.

"Kita terbentur isu keberlanjutan dan lingkungan, kita diboikot oleh nama-nama besar mulai dari Mattel, produsen Barbie itu memboikot produk pulp and paper kita.

Kita juga mengalami hal sama dengan sawit," ujarnya secara virtual dalam acara "Dialog Gerakan Ekspor Nasional: Target Ekspor Negara Sahabat" yang digelar Tribun Network, Selasa (6/4/2021).

Padahal, Dradjad menjelaskan, kasus pemboikotan terhadap pulp and paper asal Indonesia itu terjadi pada sekira satu dekade silam.

"Indonesia jadi satu di antara 10 pemain besar pulp and paper dunia, tapi kita sempat babak belur di 2009, 2010, 2011 karena terhajar oleh isu keberlanjutan," katanya.

Selain itu, industri furniture nasional juga mengalami hal sama, sehingga akhirnya dibuat sertifikasi untuk melawan isu non ekonomi yakni lingkungan hidup dan hak asasi manusia.

"Furnitur kita, UMKM kita juga hadapi hal sama, isu lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Kemudian, saya diminta tolong bangun sertifikasi suistanable forest management atau pengelolaan hutan lestari, kami baru mulai lakukan sertifikasi tahun 2015, berasosiasi dengan Jenewa karena sertifikasi ini bukan hanya nasional, tapi bagian dari sertifikasi kehutanan terbesar di dunia," pungkas Dradjad.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Ekonom Ungkap Produsen Barbie Pernah Boikot Produk Indonesia, https://www.tribunnews.com/bisnis/2021/04/06/ekonom-ungkap-produsen-barbie-pernah-boikot-produk-indonesia.
Penulis: Yanuar Riezqi Yovanda
Editor: Eko Sutriyanto