Dradjad: Issues of Climate Change and Sustainability Define Indonesia's Economic Future

Ketua Umum IFCC Dradjad H. Wibowo Berpandangan Bahwa Isu Perubahan Iklim dan Kelestarian Akan Mentukan Masa Depan Ekonomi Indonesia

JAKARTA, SUARA PEMRED - Pengelolaan hutan lestari terbukti mampu meningkatkan ekspor Indonesia. Dimana pada tahun-tahun mendatang, perekonomian global akan semakin ditentukan oleh topik yang termasuk dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development goals – SDGs). 

Isu tersebut antara lain terkait aksi-aksi untuk mengatasi perubahan iklim, pengelolaan sumber daya alam secara lestari, kemiskinan, kelaparan, kesehatan dan sebagainya. 

Ketua Umum IFCC Dradjad H. Wibowo menjelaskan, kembalinya Amerika Serikat ke dalam Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang termasuk dalam Executive Order 14008 yang diteken Presiden Joe Biden tanggal 27 Januari 2021 semakin membuat krisis iklim dan topik SDGs lainnya, berperan sentral dalam percaturan global ke depan. 

“Bahkan, peranan ini bukan hanya terhadap perekonomian dan keuangan global, tapi juga terhadap politik dan keamanan global,” ujar Dradjad dalam FGD membahas Perubahan Iklim dan Kelestarian bagi masa depan ekonomi Indonesia, Rabu (21/4).

Lebih lanjut Dradjad menjelaskan, salah satu isu yang sudah dirasakan berdampak besar bagi Indonesia adalah pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management – SFM). Isu SFM ini sangat berpengaruh terhadap brand image Indonesia di berbagai fora global. Isu ini juga pernah memukul ekspor Indonesia, dengan efek multiplier ekonomi yang tidak kecil. 

“Namun dengan kerja keras berbagai pihak sejak dekade 2000-an, yang melibatkan pemerintah, swasta, dan berbagai unsur masyarakat sipil, secara bertahap Indonesia mampu memperbaiki kinerja dan juga citra terkait SFM,” ujar  Dradjad.

Saat ini, kata  Dradjad, selama empat tahun berturut-turut pada tahun 2017-2020, laju deforestasi di Indonesia terus menurun.  Dari laporan the World Resources Institute (WRI), dalam periode 2002-2020 laju deforestasi di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2016, dengan angka moving average (MA) tiga tahun sebesar 0.78 juta hektar. Namun sejak 2017, angka tersebut turun menjadi 0.66 juta hektar (2017), 0.55 juta hektar (2018), 0.35 juta hektar (2019), dan 0.31 juta hektar (2020). Laporan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyebutkan Dradsebesar 462,46 ribu hektar. Indonesia pun disebut WRI sebagai “bright spots of hope for forests” bersama Malaysia. 

“Kinerja positif tersebut diberitakan oleh dua media global terkemuka yaitu the Guardian dan the New York Times,” ujar Ketua Pembina SDI ini.

Dalam implementasi SFM, menurut Dradjad, Indonesia juga menunjukkan kinerja positif. Sebagai contoh untuk hutan tanaman industri (HTI), saat ini terdapat 67 perusahaan HTI dengan luas sekitar 4 juta hektar yang sudah memperoleh sertifikat SFM dari IFCC/PEFC. 

Hal Ini berarti semua HTI yang dibangun sebelum cut of date PEFC, yaitu 31 Desember 2010, sudah mendapat sertifikat. Untuk industri pengolahannya, PEFC/IFCC telah memberikan sertifikat chain of custody (CoC) kepada 38 perusahaan, mulai dari pabrik-pabrik kertas milik grup APP dan April, hingga perusahaan seperti Blibli (untuk tas belanja) dan Gramedia (untuk sebuah lini produk). 

IFCC (the Indonesian Forestry Certification Cooperation) adalah lembaga pengembang dan pemilik skema sertifikasi independen, yang merupakan anggota dari PEFC (the Programme for the Endorsement of Forest Certification) yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss. PEFC ini merupakan skema sertifikasi hutan lestari terbesar di dunia. 

“Saat ini sudah lebih dari 320 juta hektar hutan di dunia yang bersertifikat SFM dari PEFC, ditambah lebih dari 20 ribu perusahaan bersertifikat chain of custody (CoC) dari PEFC. Saya adalah anggota PEFC Board,” tegas Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Kata Dradjad, banyak sekali korporasi terbesar di dunia yang mewajibkan adanya sertifikat PEFC sebagai salah satu syarat mereka mau membeli produk olahan hasil hutan. Mulai dari kayu bangunan, kertas hingga baju. Korporasi tersebut mulai dari yang terbesar di dunia seperti Apple, Johnson & Johnson, Walmart, Nestle, P&G, Samsung hingga LV, Zara dan banyak lagi.

Sebagaimana diketahui, selama 20 tahun lebih HTI dan pulp and papers Indonesia menjadi sasaran kampanye LSM global dan nasional yang menuduh mereka sebagai salah satu faktor utama deforestasi. Akibatnya, korporasi dunia seperti Disney, Mattel, Xerox, Woolworths dan lain-lain sempat memboikot pulp and papers Indonesia, sehingga ekspornya menurun mencapai titik terendah sekitar USD 5 milyar pada 2016.

“Namun sejak 2017, ekspor tersebut terus naik menjadi USD 7.15 milyar (2019), dan hanya turun 4,4% menjadi USD 6.84 milyar (2020) saat pandemic,” tegasnya.

Di sisi lain dari sisi SFM, baru pada Desember 2014 perusahaan HTI mulai berhasil mendapatkan sertifikat SFM dari IFCC/PEFC. Itu sebabnya pada tahun 2015 baru terdapat 0.7 juta hektar HTI yang bersertifikat SFM. Luas ini kemudian naik drastis menjadi 2.4 juta hektar (2016) dan 3.7 juta hektar (2017). 

Yang menarik, kata Dradjad, setelah semakin banyak HTI yang berhasil mencapai SFM, dan semakin banyak pabrik bubur kertas dan kertas yang mendapatkan sertifikat, ternyata ekspor Indonesia naik kembali.  Peningkatan ekspor tersebut juga terjadi bersamaan dengan penurunan laju deforestasi, yaitu tahun 2017-2020. 

Fakta ini menunjukkan kuatnya komitmen dan kinerja dari pemerintah, pelaku usaha HTI dan pulp and papers, dan para stakeholders dalam mewujudkan SFM di Indonesia. Karena upaya mewujudkan SFM memerlukan investasi yang besar, transformasi budaya dan manajemen perusahaan yang signifikan, serta kerja keras dari banyak pihak, tidak lah berlebihan jika dikatakan pencapaian SFM, yang dibuktikan dengan sertifikat IFCC/PEFC, berkontribusi penting terhadap kinerja ekspor di atas.

Kinerja di atas sangat menunjang kontribusi ekonomi dari HTI dan pulp and papers. 

“ HTI dewasa ini menyediakan lapangan kerja langsung 20-25 ribu orang dan 2 juta tidak langsung. Sementara pulp and papers menyerap 260 ribu tenaga kerja langsung dan 1,1 juta tidak langsung. Belum lagi kontribusinya terhadap penerimaan pajak pusat dan daerah, pembangunan daerah, dan pengembangan masyarakat sekitar hutan dan industry,” tegas ekonom Senior Indef. ini.

Karena itu, Dradjad pun mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan UKM, untuk semakin meningkatkan kinerja terkait dengan pengelolaan hutan lestari, maupun industri pengolahan dan perdagangan produk olahan hutan lestari oleh para pelaku usaha. 

Contoh kongkretnya, pelaku mebel dan kerajinan perlu dibantu agar kayunya berasal dari hutan lestari sehingga mudah menembus pasar ekspor. Perhutanan sosial bisa didorong agar mendapatkan sertifikat SFM, sehingga produknya bernilai tambah semakin tinggi. 

“Korporasi besar Indonesia yang memakai produk olahan hasil hutan juga perlu sadar, mereka tidak bisa lagi lalai terhadap isu SFM. Percaya saya, di masa depan anda akan ditinggalkan pasar jika tidak peduli kelestarian,” tegasnya.  ()

The Importance of Sustainable Forest Certification to Boost Exports

Ilustrasi hutan.

VIVA – Perekonomian global ke depan, dipercaya memiliki dampak langsung pada pengelolaan hutan lestari. Tujuan pembangunan akan ditentukan pada sustainable development goals (SDGs), termasuk yang berkaitan dengan perubahan iklim dan sumber daya alam.

Ekonom senior Indef, yang juga Ketua Umum IFCC (the Indonesian Forestry Certification Cooperation), Dradjad H Wibowo mengatakan, krisis iklim dan SDGs akan memiliki peran sentral dalam percaturan global ke depannya. Tidak hanya ekonomi, bahkan soal politik dan keamanan global. Itu juga diperkuat setelah Presiden AS Joe Boden pada 27 Januari 2021 lalu, kembali menandatangani Paris Agreement

Kata Dradjad, bagi Indonesia persoalan pengelolaan hutan lestari atau sustainable forest management (SFM), memiliki pengaruh besar pada brand image di global.

"Isu ini juga pernah memukul ekspor Indonesia, dengan efek multiplier ekonomi yang tidak kecil. Namun dengan kerja keras berbagai pihak sejak dekade 2000-an, yang melibatkan pemerintah, swasta, dan berbagai unsur masyarakat sipil, secara bertahap Indonesia mampu memperbaiki kinerja dan juga citra terkait SFM," jelas Dradjad, dalam pemaparannya yang diterima VIVA, Rabu 21 April 2021.

Pentingnya SFM bagi korporasi di Indonesia, jelas Dradjad, mengingat produk besar global sudah mensyaratkan itu. Yakni seperti Apple, Johnson & Johnson, Walmart, Nestle, P&G, Samsung hingga LV, Zara, yang mensyaratkan akan membeli produk olahan hasil hutan tapi dengan sertifikat PEFC (the Programme for the Endorsement of Forest Certification). IFCC adalah lembaga pengembang dan pemilik skema sertifikasi independen, yang merupakan anggotanya.

Source: https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1366558-pentingnya-sertifikasi-hutan-lestari-untuk-dongkrak-ekspor?headline=1

IFCC: Climate Change and Sustainability Issues will Define Indonesia's Economic Future

Dradjad Hari Wibowo Ketua Umum Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC). Foto: Faiz suarasurabaya.net

 

Dradjad Hari Wibowo Ketua Umum Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) menegaskan pada tahun-tahun mendatang, perekonomian global akan semakin ditentukan oleh topik yang termasuk dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals – SDGs). Isu tersebut diantaranya terkait aksi-aksi untuk mengatasi perubahan iklim, pengelolaan sumber daya alam secara lestari, kemiskinan, kelaparan, kesehatan dan sebagainya.

“Kembalinya Amerika Serikat ke dalam Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang termasuk dalam Executive Order 14008 yang diteken Presiden Joe Biden tanggal 27 Januari 2021 semakin membuat krisis iklim dan topik SDGs lainnya berperan sentral dalam percaturan global ke depan,” ujar Dradjad dalam Forum Group Discussion (FGD) secara virtual dengan tema “Sustainable Development Goals (SDGs), Pengelolaan Hutan Lestari dan Masa Depan Indonesia”, Rabu (21/4/2021).

Bahkan, kata Dradjad, peranan ini bukan hanya terhadap perekonomian dan keuangan global, tapi juga terhadap politik dan keamanan global.

“Salah satu isu yang sudah dirasakan berdampak besar bagi Indonesia adalah pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management – SFM). Isu SFM ini sangat berpengaruh terhadap brand image Indonesia di berbagai fora global,” jelasnya.

Menurut Dradjad, isu ini juga pernah memukul ekspor Indonesia, dengan efek multiplier ekonomi yang tidak kecil. Namun dengan kerja keras berbagai pihak sejak dekade 2000-an, yang melibatkan pemerintah, swasta, dan berbagai unsur masyarakat sipil, secara bertahap Indonesia mampu memperbaiki kinerja dan juga citra terkait SFM.

Saat ini, kata dia, selama empat tahun berturut-turut pada tahun 2017-2020, laju deforestasi di Indonesia terus menurun. Menurut laporan the World Resources Institute (WRI), dalam periode 2002-2020 laju deforestasi di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2016, dengan angka moving average (MA) tiga tahun sebesar 0.78 juta hektar.

Namun sejak 2017, angka tersebut turun menjadi 0.66 juta hektar (2017), 0.55 juta hektar (2018), 0.35 juta hektar (2019), dan 0.31 juta hektar (2020). Laporan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyebutkan laju deforestasi 2020 sebesar 115 ribu hektar, turun 75% dari tahun 2018/2019 sebesar 462,46 ribu hektar. Indonesia pun disebut WRI sebagai “bright spots of hope for forests” bersama Malaysia. Kinerja positif tersebut diberitakan oleh dua media global terkemuka yaitu the Guardian dan the New York Times.

Dalam implementasi SFM, lanjutnya, Indonesia juga menunjukkan kinerja positif. Sebagai contoh untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), saat ini terdapat 67 perusahaan HTI dengan luas sekitar 4 juta hektar yang sudah memperoleh sertifikat SFM dari IFCC/PEFC. Ini berarti semua HTI yang dibangun sebelum cut of date PEFC, yaitu 31 Desember 2010, sudah mendapat sertifikat. Untuk industri pengolahannya, PEFC/IFCC telah memberikan sertifikat chain of custody (CoC) kepada 38 perusahaan, mulai dari pabrik-pabrik kertas milik grup APP dan April, hingga perusahaan seperti Blibli (untuk tas belanja) dan Gramedia (untuk sebuah lini produk).

IFCC adalah lembaga pengembang dan pemilik skema sertifikasi independen, yang merupakan anggota dari PEFC (the Programme for the Endorsement of Forest Certification) yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss. PEFC ini merupakan skema sertifikasi hutan lestari terbesar di dunia. Saat ini sudah lebih dari 320 juta hektar hutan di dunia yang bersertifikat SFM dari PEFC, ditambah lebih dari 20 ribu perusahaan bersertifikat chain of custody (CoC) dari PEFC.

“Banyak sekali korporasi terbesar di dunia yang mewajibkan adanya sertifikat PEFC sebagai salah satu syarat mereka mau membeli produk olahan hasil hutan, mulai dari kayu bangunan, kertas hingga baju. Korporasi tersebut mulai dari yang terbesar di dunia seperti Apple, Johnson & Johnson, Walmart, Nestle, P&G, Samsung hingga LV, Zara dan banyak lagi,” kata Dradjad.

Sebagaimana diketahui, selama 20 tahun lebih HTI dan pulp and papers Indonesia menjadi sasaran kampanye LSM global dan nasional yang menuduh mereka sebagai salah satu faktor utama deforestasi. Akibatnya, korporasi dunia seperti Disney, Mattel, Xerox, Woolworths dan lain-lain sempat memboikot pulp and papers Indonesia, sehingga ekspornya menurun mencapai titik terendah sekitar USD 5 miliar pada 2016. Namun sejak 2017, ekspor tersebut terus naik menjadi USD 7.15 miliar (2019), dan hanya turun 4,4% menjadi USD 6.84 miliar (2020) saat pandemi.

Di sisi lain, kata Dradjad, dari sisi SFM, baru pada Desember 2014 perusahaan HTI mulai berhasil mendapatkan sertifikat SFM dari IFCC/PEFC. Itu sebabnya pada tahun 2015 baru terdapat 0.7 juta hektar HTI yang bersertifikat SFM. Luas ini kemudian naik drastis menjadi 2.4 juta hektar (2016) dan 3.7 juta hektar (2017).

“Yang menarik, setelah semakin banyak HTI yang berhasil mencapai SFM, dan semakin banyak pabrik bubur kertas dan kertas yang mendapatkan sertifikat, ternyata ekspor Indonesia naik kembali. Peningkatan ekspor tersebut juga terjadi bersamaan dengan penurunan laju deforestasi, yaitu tahun 2017-2020,” tegasnya.

Menurut dia, fakta ini menunjukkan kuatnya komitmen dan kinerja dari pemerintah, pelaku usaha HTI dan pulp and papers, dan para stakeholders dalam mewujudkan SFM di Indonesia. Karena upaya mewujudkan SFM memerlukan investasi yang besar, transformasi budaya dan manajemen perusahaan yang signifikan, serta kerja keras dari banyak pihak, tidak lah berlebihan jika dikatakan pencapaian SFM, yang dibuktikan dengan sertifikat IFCC/PEFC, berkontribusi penting terhadap kinerja ekspor di atas.

Kinerja di atas tentu sangat menunjang kontribusi ekonomi dari HTI dan pulp and papers. HTI dewasa ini menyediakan lapangan kerja langsung 20-25 ribu orang dan 2 juta tidak langsung. Sementara pulp and papers menyerap 260 ribu tenaga kerja langsung dan 1,1 juta tidak langsung. Belum lagi kontribusinya terhadap penerimaan pajak pusat dan daerah, pembangunan daerah, dan pengembangan masyarakat sekitar hutan dan industri.

Karena itu, Dradjad mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan UKM, untuk semakin meningkatkan kinerja terkait dengan pengelolaan hutan lestari, maupun industri pengolahan dan perdagangan produk olahan hutan lestari oleh para pelaku usaha.

“Contoh kongkretnya, pelaku mebel dan kerajinan perlu dibantu agar kayunya berasal dari hutan lestari sehingga mudah menembus pasar ekspor. Perhutanan sosial bisa didorong agar mendapatkan sertifikat SFM, sehingga produknya bernilai tambah semakin tinggi,” ungkap Dradjad yang juga ekonom senior INDEF ini.

Dradjad menegaskan, korporasi besar Indonesia yang memakai produk olahan hasil hutan juga perlu sadar, mereka tidak bisa lagi lalai terhadap isu SFM.

“Percaya saya, di masa depan anda akan ditinggalkan pasar jika tidak peduli kelestarian. Trust me, sustainabily pays,” pungkas Dradjad.(faz/tin)

Source: https://www.suarasurabaya.net/ekonomibisnis/2021/ifcc-isu-perubahan-iklim-dan-kelestarian-akan-tentukan-masa-depan-ekonomi-indonesia/

 

 

Climate Change Issues Determine Indonesia's Economic Future

Hutan Tanaman Industri di Riau, Selasa (25/10).

 Oleh : Dradjad Wibowo*

REPUBLIKA.CO.ID, Pada tahun-tahun mendatang, perekonomian global akan semakin ditentukan oleh topik yang termasuk dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development goals – SDGs). Isu tersebut antara lain terkait aksi-aksi untuk mengatasi perubahan iklim, pengelolaan sumber daya alam secara lestari, kemiskinan, kelaparan, kesehatan dan sebagainya.

 

Kembalinya Amerika Serikat ke dalam Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang termasuk dalam Executive Order 14008 yang diteken Presiden Joe Biden tanggal 27 Januari 2021 semakin membuat krisis iklim dan topik SDGs lainnya berperan sentral dalam percaturan global ke depan. Bahkan, peranan ini bukan hanya terhadap perekonomian dan keuangan global, tapi juga terhadap politik dan keamanan global.

Salah satu isu yang sudah dirasakan berdampak besar bagi Indonesia adalah pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management – SFM). Isu SFM ini sangat berpengaruh terhadap brand image Indonesia di berbagai fora global. Isu ini juga pernah memukul ekspor Indonesia, dengan efek multiplier ekonomi yang tidak kecil. Namun dengan kerja keras berbagai pihak sejak dekade 2000-an, yang melibatkan pemerintah, swasta, dan berbagai unsur masyarakat sipil, secara bertahap Indonesia mampu memperbaiki kinerja dan juga citra terkait SFM.

Saat ini selama empat tahun berturut-turut pada tahun 2017-2020, laju deforestasi di Indonesia terus menurun. Menurut laporan the World Resources Institute (WRI), dalam periode 2002-2020 laju deforestasi di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2016, dengan angka moving average (MA) tiga tahun sebesar 0.78 juta hektar. Namun sejak 2017, angka tersebut turun menjadi 0.66 juta hektar (2017), 0.55 juta hektar (2018), 0.35 juta hektar (2019), dan 0.31 juta hektar (2020). Laporan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyebutkan laju deforestasi 2020 sebesar 115 ribu hektar, turun 75% dari tahun 2018/2019 sebesar 462,46 ribu hektar. Indonesia pun disebut WRI sebagai “bright spots of hope for forests” bersama Malaysia. Kinerja positif tersebut diberitakan oleh dua media global terkemuka yaitu the Guardian dan the New York Times.

Dalam implementasi SFM, Indonesia juga menunjukkan kinerja positif. Sebagai contoh untuk hutan tanaman industri (HTI), saat ini terdapat 74 perusahaan HTI dengan luas sekitar 4 juta hektar yang sudah memperoleh sertifikat SFM dari IFCC/PEFC (Lampiran 1). Ini berarti semua HTI yang dibangun sebelum cut of date PEFC, yaitu 31 Desember 2010, sudah mendapat sertifikat. Untuk industri pengolahannya, PEFC/IFCC telah memberikan sertifikat chain of custody (CoC) kepada 40 perusahaan, mulai dari pabrik-pabrik kertas milik grup APP dan April, hingga perusahaan seperti Blibli (untuk tas belanja) dan Gramedia (untuk sebuah lini produk).

IFCC (the Indonesian Forestry Certification Cooperation) adalah lembaga pengembang dan pemilik skema sertifikasi independen, yang merupakan anggota dari PEFC (the Programme for the Endorsement of Forest Certification) yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss. PEFC ini merupakan skema sertifikasi hutan lestari terbesar di dunia. Saat ini sudah lebih dari 320 juta hektar hutan di dunia yang bersertifikat SFM dari PEFC, ditambah lebih dari 20 ribu perusahaan bersertifikat chain of custody (CoC) dari PEFC. Saya adalah anggota PEFC Board.

Banyak sekali korporasi terbesar di dunia yang mewajibkan adanya sertifikat PEFC sebagai salah satu syarat mereka mau membeli produk olahan hasil hutan, mulai dari kayu bangunan, kertas hingga baju. Korporasi tersebut mulai dari yang terbesar di dunia seperti Apple, Johnson & Johnson, Walmart, Nestle, P&G, Samsung hingga LV, Zara dan banyak lagi.

Sebagaimana diketahui, selama 20 tahun lebih HTI dan pulp and papers Indonesia menjadi sasaran kampanye LSM global dan nasional yang menuduh mereka sebagai salah satu faktor utama deforestasi. Akibatnya, korporasi dunia seperti Disney, Mattel, Xerox, Woolworths dan lain-lain sempat memboikot pulp and papers Indonesia, sehingga ekspornya menurun mencapai titik terendah sekitar USD 5 milyar pada 2016 (Lampiran 2). Namun sejak 2017, ekspor tersebut terus naik menjadi USD 7.15 milyar (2019), dan hanya turun 4,4% menjadi USD 6.84 milyar (2020) saat pandemi.

Di sisi lain dari sisi SFM, baru pada Desember 2014 perusahaan HTI mulai berhasil mendapatkan sertifikat SFM dari IFCC/PEFC. Itu sebabnya pada tahun 2015 baru terdapat 0.7 juta hektar HTI yang bersertifikat SFM. Luas ini kemudian naik drastis menjadi 2.4 juta hektar (2016) dan 3.7 juta hektar (2017).

Yang menarik, setelah semakin banyak HTI yang berhasil mencapai SFM, dan semakin banyak pabrik bubur kertas dan kertas yang mendapatkan sertifikat, ternyata ekspor Indonesia naik kembali.  Peningkatan ekspor tersebut juga terjadi bersamaan dengan penurunan laju deforestasi, yaitu tahun 2017-2020.

Fakta ini menunjukkan kuatnya komitmen dan kinerja dari pemerintah, pelaku usaha HTI dan pulp and papers, dan para stakeholders dalam mewujudkan SFM di Indonesia. Karena upaya mewujudkan SFM memerlukan investasi yang besar, transformasi budaya dan manajemen perusahaan yang signifikan, serta kerja keras dari banyak pihak, tidak lah berlebihan jika dikatakan pencapaian SFM, yang dibuktikan dengan sertifikat IFCC/PEFC, berkontribusi penting terhadap kinerja ekspor di atas.

Kinerja di atas tentu sangat menunjang kontribusi ekonomi dari HTI dan pulp and papers. HTI dewasa ini menyediakan lapangan kerja langsung 20-25 ribu orang dan 2 juta tidak langsung. Sementara pulp and papers menyerap 260 ribu tenaga kerja langsung dan 1,1 juta tidak langsung. Belum lagi kontribusinya terhadap penerimaan pajak pusat dan daerah, pembangunan daerah, dan pengembangan masyarakat sekitar hutan dan industri.

Karena itu, saya mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan UKM, untuk semakin meningkatkan kinerja terkait dengan pengelolaan hutan lestari, maupun industri pengolahan dan perdagangan produk olahan hutan lestari oleh para pelaku usaha. Contoh kongkretnya, pelaku mebel dan kerajinan perlu dibantu agar kayunya berasal dari hutan lestari sehingga mudah menembus pasar ekspor. Perhutanan sosial bisa didorong agar mendapatkan sertifikat SFM, sehingga produknya bernilai tambah semakin tinggi.

Korporasi besar Indonesia yang memakai produk olahan hasil hutan juga perlu sadar, mereka tidak bisa lagi lalai terhadap isu SFM. Percaya saya, di masa depan anda akan ditinggalkan pasar jika tidak peduli kelestarian. Trust me, sustainabily pays.

*) Penulis adalah Ketua Umum IFCC, Anggota PEFC Board Ketua Pembina SDI, Ekonom Senior Indef,  Ketua Dewan Pakar PAN

Source: https://republika.co.id/berita/qrwjy1318/isu-perubahan-iklim-tentukan-masa-depan-ekonomi-indonesia

Promoting Trade and Sustainable Forest Management to Reduce Forest Crime and Deforestation in Lower Mekong

Feature article from the
Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC)
20 April 2021
 
Promoting Trade and Sustainable Forest Management to Reduce Forest Crime and Deforestation in Lower Mekong
 
A new PEFC-FOR-TRADE project, in collaboration with the UN-REDD Programme’s initiative for the Lower Mekong, will promote trade and sustainable forest management (SFM) and at the same time reduce pressure on forests through improved governance in Cambodia, Lao PDR, Myanmar, Thailand and Vietnam.
 
PEFC’s Forestry and Trade for Development in the ASEAN region aims to strengthen trade through improved forest certification infrastructure, supporting the reduction of trade barriers, promoting sustainable wood trade, improving livelihoods and contributing to biodiversity protection.
 
The UN-REDD Programme involves working with key institutions in these ASEAN countries, and in China, to reduce the opportunities for forest crime by strengthening governance, particularly by increasing the effectiveness of systems designed to ensure legal and sustainable trade in timber. 
 
By strengthening forest governance, the UN-REDD Programme helps ensure that trading of wood products is legal and sustainable.
 
Aiming to reduce illegal logging and illegal conversion of forests, the Sustainable Forest Trade (SFT) in the Lower Mekong Region (LMR) initiative seeks to reduce emissions from deforestation and degradation, while boosting sustainable forest management across the region.
 
Biodiversity preservation and livelihood improvement
 
“The Lower Mekong region is one of the critical hotspots in need of biodiversity preservation and livelihood improvement," said Ben Gunneberg, CEO of PEFC International. 
 
"I firmly believe that a strong forest governance and institutionalisation at regional and national levels to promote sustainable forest trade is a critical solution. The PEFC framework is proven to contribute to such a goal and we are calling for more of such support to deepen intra-regional cooperation."
 
"It's an excellent and timely opportunity to leverage the quality infrastructure of internationally recognised forest certification systems at the regional and national levels in the Lower Mekong region," added Michael Berger, Head of Technical Unit at PEFC International.
 
"We are looking forward to providing technical support and deepening intra-regional cooperation to improve regional certification infrastructure."
 
Mr Sakchai Unchittikul, Chairman of Thailand Forest Certification Council (TFCC) noted that the project components corresponded well to Thailand’s critical need to strengthen national forest certification capacity to achieve international recognition, and that this was another useful activity in PEFC’s “tireless support of TFCC.”
 
He also said that TFCC was “ready to look for cooperative collaboration between project partners to deliver and go beyond the project’s expectations”.
 
Eco-region encompasses an incredibly high diversity of forest habitats
 
The Lower Mekong basin is a globally important eco-region that encompasses an incredibly high diversity of forest habitats. These forests are home not only to diverse and rare wildlife but are also relied upon by many communities for essential products and services.
 
To reduce the pressure on this valuable natural resource, and to reduce deforestation and forest degradation in the region, the Government of Norway is collaborating with the UN-REDD Programme to implement this initiative that to support countries in the Lower Mekong region (Cambodia, Lao PDR, Myanmar, Thailand and Vietnam).
 
Forest crime, the illegal exploitation of the world’s forests, has transformed into one of the largest transnational organised criminal activities, according to the United Nations Industrial Development Organization (UNIDO). With an annual worth of USD 50-150 billion, crimes related to forests and wildlife are the fourth biggest crime sector after drugs, counterfeits and trafficking (INTERPOL-UNEP, 2016).
 
Combating forest crime is crucial to reduce forest degradation and subsequent deforestation, which can significantly affect carbon dioxide emissions.
 
There is an increasing trend of investments from the expanding economies of China, Thailand and Vietnam, to timber production and land intensive industries in the lower-income, higher forest cover countries of Cambodia, Lao PDR and Myanmar.
 
Given that the gap between global supply and demand of wood products is expected to widen significantly by 2050, growth in supply from the region is also predicted to increase, adding further pressure on already stressed forest resources.
 
Illegal logging and illegal forest conversion often stem from insecure land tenure, incomplete legal frameworks, or unclear management and enforcement responsibilities.
 
Boosting Transparency and Cooperation in Lower Mekong
 
The goal of this initiative is to improve governance, promote policy alignment and institutional inter-compatibility within the region, and boost transparency and cooperation between the Lower Mekong region countries and China.
 
Southeast Asia is home to the world’s third largest area of tropical rainforest, containing some of the richest and most valuable resources and habitats on earth. As well as an important source for timber production and rural employment for the region, these forests also have an important effect on watershed protection, biodiversity and the global carbon balance.
 
In addition to the natural forests, planted forests are also common throughout Southeast Asia. In many countries, it is plantation forests, both large and small-scale, as well as trees outside forests that contribute the most to productive forestry.
 
PEFC explains that the SFT-LMR initiative is implemented by FAO and UNEP, with funding from the Government of Norway. Key outcomes include the development of national forest certification systems and related quality infrastructure mechanisms.
 
The PEFC framework will be used to deliver several outputs, which includes deepening intra-regional cooperation, strengthening national certification standards, and building national capacities in forest governance, sustainable forest management, and trade.
 
About PEFC 
PEFC, the Programme for the Endorsement of Forest Certification, is a leading global alliance of national forest certification systems. As an international non-profit, non-governmental organisation, we are dedicated to promoting sustainable forest management through independent third-party certification. We work throughout the entire forest supply chain to promote good practice in the forest and to ensure that forest-based products are produced with respect for the highest ecological, social and ethical standards. More about the PEFC-For-Trade programme here: https://pefc.org/news/pefc-for-trade-progress-in-the-lower-mekong-region
 
About UN-REDD
The United Nations Collaborative Programme on Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD+) in developing countries, was launched in 2008 and builds on the convening role and technical expertise of the Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), the United Nations Development Programme (UNDP) and the United Nations Environment Programme (UNEP). The Programme supports nationally led REDD+ processes and promotes the informed and meaningful involvement of all stakeholders, including indigenous peoples and other forest-dependent communities, in national and international REDD+ implementation. Additionally, the programme supports national REDD+ readiness efforts in 65 partner countries spanning Africa, Asia-Pacific and Latin America. More information and news about the REDD the SFT-LMR initiative can be found at https://www.un-redd.org/lower-mekong