Menulis di Jurnal Internasional, Dradjad Wibowo Beber Kombinasi Cara Selamatkan Rakyat & Ekonomi dari Pandemi

Menulis di Jurnal Internasional, Dradjad Wibowo Beber Kombinasi Cara Selamatkan Rakyat & Ekonomi dari Pandemi - JPNN.com

jpnn.comJAKARTA - Ekonom Dradjad H Wibowo menyarankan agar pemerintah mengombinasikan tindakan kesehatan publik (TKP), vaksinasi, dan pengobatan tepat untuk memulihkan pergerakan. Sebab, perekonomian tergantung pada pergerakan orang.

"Jika pergerakan orang terganggu karena tingginya penularan, konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula," tulis Dradjad dalam tulisannya di jurnal internasional BMC Public Health yang terbit pada 2 Juni lalu.

 

Dalam artikel berjudul 'When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy' itu Dradjad memaparkan sektor konsumsi dan investasi menyumbang sekitar 90 persen produk domestik bruto (PDB). Pada 2020, kontribusi dari sektor konsumsi sebesar 57,66 persen, sedangkan investasi mencapai 31,73 persen.

Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) itu menyebut pemerintah bisa saja memberi stimulus fiskal. Namun, sebutnya, peran belanja pemerintah hanya 9,29 persen.

"Jadi, kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut," cetusnya.

Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF) itu menilai Indonesia pada awal Juni ini masih dalam kondisi zona kuning pandemi Covid-19. Menurutnya, kondisi itu bisa memburuk ke zona merah.

Dradjad menjelaskan kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yakni merah, kuning dan hijau. Di zona merah, paparnya, jumlah kasus harian Covid-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan di atas 1.

"Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan," urainya.

Adapun zona kuning berarti jumlah kasus harian menurun namun elastisitas masih di atas 1. Oleh karena itu pelonggaran TKP tidak direkomendasikan di zona kuning.

Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1. "Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun  perlu menghitung risiko eskalasi kasus," tulis Dradjad.

Menurutnya, negara sedang berkembang pada umumnya tidak mampu mengestimasi angka reproduksi (R) Covid-19 secara akurat. Sebab, keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi pada awal pandemi.

Untuk Indonesia, elastisitas kesehatan per 5 Juni 2021 masih di atas 1,45. Sejak 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, tutur Dradjad, elastisitas itu mencapai puncaknya, yakni sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021.

Dradjad mencatat angka itu sempat di bawah 1 pada masa liburan Idulfitri. Namun, angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes.

"Setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning. Akibat tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan," ulasnya.

Oleh karena itu Dradjad H Wibowo mewanti-wanti pemerintah memperketat TKP pada Juni ini. "Di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19," tulisnya.

Mantan legislator Komisi Keuangan dan Perbankan DPR itu menjelaskan pada tahun kedua pandemi biasanya masyarakat mengalami kelelahan psikologis. Akibatnya, TKP makin sulit diterapkan.

Dradjad juga mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang 60,47 persen dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020 merupakan pekerja informal. Artinya, terdapat sekitar 77,67 juta yang menjadi pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap.

Selain itu, sebagian besar dari 17.48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian. "Adanya jutaan pekerja yang tergantung pada penghasilan harian menambah kesulitan penerapan TKP," katanya.

Oleh karena itu Dradjad mendorong pemerintah mendesain TKP yang lebih pas sembari mengusahakan herd immunity (kekebalan kelompok) melalui vaksinasi.

"Dengan vaksinasi, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi bisa berjalan sinergis. Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tetapi secara ekonomi negatif," ulasnya. (ara/fat/jpnn)

Source: https://m.jpnn.com/amp/news/menulis-di-jurnal-internasional-dradjad-wibowo-beber-kombinasi-cara-selamatkan-rakyat-ekonomi-dari-pandemi

Analisis Dradjad Wibowo Soal Penularan Covid-19: Indonesia Masih di Zona Kuning

Merdeka.com - Ekonom Dradjad Hari Wibowo mengatakan, jika dilihat dari kondisi penularan Covid-19 (the state of Covid-19 transmission), per awal Juni 2021, Indonesia masih berada pada zona kuning pandemi, dengan risiko memburuk ke zona merah.

Kesimpulan ini diambil berdasarkan penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan Covid-19, serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran tindakan kesehatan publik (TKP).

Dradjad menyampaikan hal itu merujuk pada artikel Wibowo, DH 'When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for Covid-19 control policy'. BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x.

Artikel ini terbit pada 2 Juni 2021 lalu, dengan proses penerbitan 9 bulan. BMC Public Health adalah satu di antara jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1. Dradjad yang juga ekonom senior Indef ini pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an.

Dengan pendekatan fungsi produksi kesehatan, kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu merah, kuning, dan hijau. Di zona merah, jumlah kasus harian Covid-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan di atas 1. Demikian tulis Dradjad melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (9/6).

Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan.

Dia menjelaskan, di zona kuning, jumlah kasus harian menurun namun elastisitas masih di atas 1. Pelonggaran TKP tidak direkomendasikan di zona ini. Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1. Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian.

Menurut Dradjad, selama ini indikator epidemiologi kunci yang dipakai adalah bilangan reproduksi atau disebut dengan R. Masalahnya, negara sedang berkembang umumnya tidak mampu mengestimasi R dengan akurat.

"Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar atau dikenal dengan istilah R0 pada awal pandemi," ujarnya.

Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat. Karena itu Dradjad menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia. Dalam artikel tersebut, Dradjad mengembangkan 'jembatan sederhana' antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Pendekatan di atas diterapkan terhadap Prancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat, dan Indonesia. Hasilnya, meskipun Prancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi.

Beberapa pekan setelah versi awal artikel ini selesai, Dradjad mengungkapkan, eskalasi tersebut benar-benar terjadi. Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus.

Untuk Indonesia, per 5 Juni 2021 elastisitas di atas masih sebesar 1,45. Sejak 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, elastisitas ini mencapai puncak sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021. Setelah itu trennya menurun.

"Saat liburan Idul Fitri, angkanya sempat di bawah 1. Namun angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes," tukasnya.

Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning. Karena tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan. "Jadi, di bulan Juni 2021 ini seharusnya Indonesia memperketat TKP-nya. Apalagi, di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien Covid-19," katanya.

Mengingat tingginya tingkat penularan varian Delta (yang sebelumnya disebut varian India), analisis tentang kondisi penularan Covid-19 secara ilmiah dan akurat sangatlah krusial. Tujuannya agar pemerintah pusat dan daerah mampu mendesain skema TKP yang paling tepat sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologisnya dapat ditekan.

Apalagi, pada tahun kedua pandemi biasanya masyarakat mengalami kelelahan psikologis sehingga TKP semakin sulit diterapkan. Adanya jutaan pekerja yang tergantung pada penghasilan harian menambah kesulitan penerapan TKP.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020, sekitar 77,67 juta orang atau 60.47% adalah pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap, baik dari pertanian atau pun non-pertanian. Selain itu, sebagian besar dari 17,48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian.

"Dengan mengetahui kondisi penularan, TKP bisa didesain lebih pas lagi. Ini dijalankan sembari kita mengusahakan herd immunity melalui vaksinasi. Vaksinasi memang bukan solusi paripurna terhadap pandemi. Tapi dengan vaksinasi, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi bisa berjalan sinergis. Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tapi secara ekonomi negatif," jelasnya.

Dradjad menambahkan, Jika herd immunity tercapai melalui vaksinasi, pergerakan orang bisa dipulihkan, sementara risiko eskalasi penularan lebih terkendali. Jika herd immunity belum tercapai, tapi porsi penduduk yang divaksinasi cukup tinggi, penyebaran virus, hospitalisasi atau kematian biasanya menurun. Rumah tangga dan pelaku usaha yang sudah divaksinasi pun lebih konfiden beraktifitas ekonomi, sehingga konsumsi, investasi, dan pertumbuhan bisa pulih.

"Perekonomian itu tergantung pada pergerakan orang. Jika pergerakan orang terganggu karena tingginya penularan, konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula. Padahal keduanya menyumbang sekitar 90% dari produk domestik bruto (PDB)," ujarnya.

Pada tahun 2020, dia menjelaskan, angkanya adalah 89,39%, dengan kontribusi konsumsi 57,66% dan investasi 31,73%. Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29%. Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang.

"Kombinasi TKP, vaksinasi, dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut," pungkas Drajad. [bal]

Source: https://www.merdeka.com/peristiwa/analisis-dradjad-wibowo-soal-penularan-covid-19-indonesia-masih-di-zona-kuning.html

Penularan COVID-19 di Indonesia dalam Kajian Akademis Internasional

Varian Baru Virus Corona di Asia Jadi Ancaman Bagi Dunia

Jakarta - Ekonom senior Dradjad H Wibowo belum lama ini melakukan penelitian terkait penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan COVID-19. Dalam penelitiannya dia juga mengkaji besaran risiko dari pelonggaran Tindakan Kesehatan Publik (TKP).

Penelitian dengan judul When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy tersebut tayang dalam jurnal kesehatan internasional BMC Public Health dengan kategori Scopus Q1. Artikel tayang pada 2 Juni 2021 dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x.

Meski dikenal sebagai seorang ekonom, dunia kesehatan tak asing bagi Dradjad. Di awal 1990-an, dia pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan. Setelah itu pria yang juga Associate Professor di Perbanas Institute ini lebih banyak dikenal sebagai seorang ekonom.

Terkait kondisi pandemi saat ini, menurut Dradjad, Indonesia masih berada di zona kuning. Hal itu dilihat dari kondisi penularan COVID-19, per awal Juni 2021. "Indonesia masih berada pada zona kuning pandemi, dengan risiko memburuk ke zona merah," kata Dradjad saat berbincang dengan detikEdu, Rabu, 9 Juni 2021.

Dradjad mengatakan berdasarkan pendekatan fungsi produksi kesehatan, terdapat tiga pembagian zona terkait kondisi penularan COVID-19 di suatu negara atau wilayah. Tiga zona tersebut adalah: merah, kuning dan hijau.

Di wilayah dengan kategori zona merah, jumlah kasus harian COVID-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan di atas 1. Pada zona ini sangat tindakan kesehatan yang harus diambil oleh pemangku kebijakan untuk memutus penularan COVID-19 adalah penutupan perbatasan, lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Pada daerah dengan ketegori zona kuning, elastisitas produksi kesehatan masih di atas 1, namun di wilayah ini sudah terjadi penurunan kasus harian. "Pelonggaran Tindakan Kesehatan Publik TKP tidak direkomendasikan di zona ini (kuning)," papar Dradjad.

Selanjutnya daerah yang jumlah kasusnya terus menurun dengan elastisitas antara 0 sampai 1 masuk kategori zona hijau. Di wilayah dengan kategori zona hijau ini bisa dilakukan pelonggaran tindakan kesehatan publik. Namun tetap perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian.

Dradjad menjelaskan bahwa indikator epidemiologi kunci yang dipakai selama ini adalah bilangan reporoduksi R. Namun masalahnya, beberapa negara berkembang umumnya belum mampu mengestimasi nilai R dengan akurat. Ini terjadi lantaran adanya keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes. Dalam sejumlah penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar R0 pada awal pandemi. "Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat," kata dia.

Dradjad kemudian melakukan uji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia. Nah dalam artikel yang terbit di BMC Public Health tersebut Dradjad mencoba mengembangkan antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Pendekatan tersebut diterapkan terhadap Prancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia. "Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi. Beberapa pekan setelah versi awal artikel ini selesai, eskalasi tersebut benar-benar terjadi. Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus," paparnya.

Bagaimana dengan penyebaran COVID-19 di Indonesia?

Dradjad menyebut di Indonesia sampai 5 Juni 2021 elastisitas masih di atas 1 yakni sebesat 1,45. Dalam kurun waktu 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, angka elastisitas pernah mencapai puncak sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021. Namun setelah itu trennya menunjukkan penurunan.

Pada libur lebaran Idul Fitri kemarin angka elastisitas sempat di bawah 1. Namun, kata Dradjad, angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes. "Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning. Karena tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan," kata dia.

Sehingga menurut Dradjad pada bulan Juni ini pemerintah seharusnya memperketat tindakan kesehatan publiknya. Apalagi fakta menunjukkan bahwa di sejumlah kota banyak rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19 karena adanya peningkatan kasus.

Menurut Dradjad mengingat tingginya tingkat penularan varian Delta (yang sebelumnya disebut varian India), analisis tentang kondisi penularan COVID-19 secara ilmiah dan akurat sangatlah krusial. Tujuannya agar pemerintah pusat dan daerah mampu mendisain skema TKP yang paling tepat sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologi nya dapat ditekan.

Dradjad mengingatkan kondisi perekonomian sangat bergantung pada pergerakan orang. Konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu saat pergerakan orang harus dibatasi karena tingginya penularan COVID-19. Padahal kedua sektor tersebut menyumbang sekitar 90% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada tahun 2020 lalu misalnya sumbangsih kedua sektor tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi mencapai 89,39%, dengan kontribusi konsumsi 57,66% dan investasi 31,73%. "Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29%. Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut," tutup Dradjad.

Source: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5598713/penularan-covid-19-di-indonesia-dalam-kajian-akademis-internasional

JIKA Indonesia Jadi Zona Merah Covid-19, Risiko Buruk Ekonomi Bakal Terjadi, Begini Kata Ekonom

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau pelaksaan vaksinasi Covid-19 bagi seniman dan budayawan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Senin (19/4/2021).

TRIBUNNEWSMAKER.COM - Ekonom Indef Dradjad H Wibowo mengatakan per awal Juni 2021 Indonesia masih berada pada zona kuning pandemi.

Ia mewanti-wanti risiko memburuk ke zona merah.

Dradjad berujar, kesimpulan tersebut diambil berdasarkan penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan Covid-19, serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran Tindakan Kesehatan Publik (TKP).

Hal tersebut disampaikan Dradjad merujuk pada artikel Wibowo, D.H. When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x. BMC Public Health adalah salah satu jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1.

Dradjad yang juga ekonom senior Indef ini pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an. Dengan pendekatan fungsi produksi kesehatan, kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu merah, kuning dan hijau.

"Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun  perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian," ujar Dradjad dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/6/2021).

Menurut Dradjad, selama ini indikator epidemiologi kunci yang dipakai adalah bilangan reporoduksi R.

Masalahnya, negara sedang berkembang umumnya tidak mampu mengestimasi R dengan akurat.

"Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar R0 pada awal pandemi," ucap Dradjad.

Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat.

Karena itu Dradjad menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia.

Dalam artikel tersebut, Dradjad mengembangkan “jembatan sederhana” antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Pendekatan di atas diterapkan terhadap Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia.

Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi.

Beberapa pekan setelah versi awal artikel ini selesai, eskalasi tersebut benar-benar terjadi.

Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus.

Untuk Indonesia, per 5 Juni 2021 elastisitas di atas masih sebesar 1,45.

Sejak 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, elastisitas ini mencapai puncak sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021.

Setelah itu tren-nya menurun.

Saat liburan Idul Fitri, angkanya sempat di bawah 1.

Namun angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes.

Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning.

"Karena tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan."

"Jadi, di bulan Juni 2021 ini seharusnya Indonesia memperketat TKP-nya."

"Apalagi, di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19," ucap Dradjad.

Mengingat tingginya tingkat penularan varian Delta (yang sebelumnya disebut varian India), analisis tentang kondisi penularan COVID-19 secara ilmiah dan akurat sangatlah krusial.

Tujuannya agar pemerintah pusat dan daerah mampu mendisain skema TKP yang paling tepat sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologi nya dapat ditekan.

Apalagi, pada tahun kedua pandemi biasanya masyarakat mengalami kelelahan psikologis sehingga TKP semakin sulit diterapkan.

Adanya jutaan pekerja yang tergantung pada penghasilan harian menambah kesulitan penerapan TKP.

"Sebagai penutup, perekonomian itu tergantung pada pergerakan orang."

"Jika pergerakan orang terganggu karena tingginya penularan, konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula," imbuhnya.

Padahal keduanya menyumbang sekitar 90% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada tahun 2020, angkanya adalah 89,39%, dengan kontribusi konsumsi 57,66% dan investasi 31,73%.

Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29%.

Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang.

Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut.

Catatan Redaksi:

Bersama kita lawan virus corona. Tribunnews.com mengajak seluruh pembaca untuk selalu menerapkan protokol kesehatan dalam setiap kegiatan. Ingat pesan ibu, 3M (Memakai masker, rajin Mencuci tangan, dan selalu Menjaga jarak).

Source: https://newsmaker.tribunnews.com/amp/2021/06/08/jika-indonesia-jadi-zona-merah-covid-19-risiko-buruk-ekonomi-bakal-terjadi-begini-kata-ekonom?page=4

Dradjad Wibowo: Harus Antisipasi Masuk Zona Merah COVID-19

Tenaga kesehatan mengangkat bendera Merah Putih dalam pelaksanaan vaksinasi COVID-19 pada pegawai pemerintah di Jakarta, Kamis, 11 Maret 2021.

VIVA – Ekonom Dradjad H Wibowo mengatakan, melihat tingkat penularan COVID-19 saat ini, Indonesia masih dikategorikan dalam zona kuning pandemi. Tapi ia mewanti-wanti, agar pemerintah pusat dan daerah mewaspadai agar tidak turun ke zona merah.

Itu disampaikannya dalam artikelnya yang juga dimuat BMC Public Health, satu diantara jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1. Dengan judul When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x.

Dradjad yang juga ekonom senior INDEF ini mendasarkan pada penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan COVID-19. Serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran Tindakan Kesehatan Publik (TKP). Ia pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an.

Dalam pembagian zona COVID-19, dikenal pada tiga tingkatan. Yakni zona hijau, kuning dan zona merah. Pada zona merah, kasus harian Corona ini adalah elastisitas produksi kesehatan di atas 1.

"Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan," kata Dradjad, Selasa 8 Juni 2021. 

Untuk wilayah zona kuning, kasus harian memang turun walau elastisitas di atas 1. Namun kata dia, pelonggaran tindakan kesehatan publik atau TKP, direkomendasikan agar tidak dilakukan.

Sementara di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1. 

"Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas bayesian," katanya.

Dradjad yang juga Ketua Dewan Pakar PAN ini mengatakan, indikator epidemiologi adalah kunci yang digunakan untuk menentukan reproduksi atau R. Hanya persoalannya, di negara-negara berkembang, hampir susah mengestimasi R tersebut secara akurat.

"Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar atau dikenal dengan istilah R0 pada awal pandemi," jelasnya. 

Dengan kondisi demikian, Dradjad mengaku menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia. Dalam artikel tersebut, ia mengembangkan 'jembatan sederhana' antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Menurutnya, cara itu juga diterapkan Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia. Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi. Dan memang benar terjadi. 

"Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus," lanjutnya.

Data kasus di Indonesia per 5 Juni 2021, elastisitas masih sebesar 1,45. Jika dihitung dari 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, elastisitas mengalami puncaknya yakni sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021. Di periode ini, memang Indonesia mengalami puncak kasus COVID-19, yang dianggap sebagai akibat dari libur panjang.

"Saat liburan Idul Fitri, angkanya sempat di bawah 1. Namun angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes. Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning," jelasnya. 

Dengan adanya tren elastisitas yang naik, ia mengatakan pemerintah tetap harus mengantisipasi resiko masuk dalam zona merah. Tidak bisa diabaikan kemungkinan tersebut. Untuk itu menurutnya, di bulan Juni 2021 ini seharusnya Indonesia memperketat TKP-nya. 

"Apalagi, di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19," ujarnya.

Dradjad mengusulkan, agar analisa terhadap kondisi penularan COVID-19 secara ilmiah harus dilakukan dengan akurat dan krusial. Dengan begitu, baik pemerintah pusat maupun daerahm bisa mengambil skema TKP yang tepat.

"Sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologinya dapat ditekan," lanjutnya.

Harus diakui, penerapan TKP (seperti PSBB atau pengetatan lainnya) di tahun kedua andemi ini, sedikit menyulitkan. Selain karena masyarakat juga lelah secara psikologis.

Selain itu, lanjutnya, ada jutaan pekerja yang memiliki ketergantungan dari penghasilan harian. Dengan situasi seperti itu, menerapkan TKP menurutnya memang mengalami tantangan tersendiri.

Dia menjelaskan, Badan Pusat Statistik (BPS), dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020 sekitar 77,67 juta orang atau 60.47 persen adalah pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap, baik dari pertanian ataupun non-pertanian.  

Selain itu, sebagian besar dari 17.48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian. 

"Dengan mengetahui kondisi penularan, TKP bisa didisain lebih pas lagi. Ini dijalankan sembari kita mengusahakan herd immunity melalui vaksinasi," katanya. 

Diakuinya, memang vaksinasi bukan jalan terakhir menghadapi pandemi COVID-19. Tetapi dalam rangka mensinergikan antara penanganan pandemi dengan pemulihan ekonomi.

"Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tapi secara ekonomi negatif,". 

Lebih lanjut dijelaskannya, apabila herd immunity tercapai melalui vaksinasi, maka pergerakan orang bisa dipulihkan. Sementara risiko eskalasi penularan lebih terkendali. 

"Rumah tangga dan pelaku usaha yang sudah divaksin pun lebih konfiden beraktifitas ekonomi, sehingga konsumsi, investasi dan pertumbuhan bisa pulih," katanya.

Dia menegaskan, bahwa perekonomian sangat bergantung dari pergerakan orang. Maka jika pergerakan dibatasi lantaran penularan tinggi, maka bisa dipastikan konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula. 

Padahal, lanjut Dradjad, keduanya menyumbang sekitar 90 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2020, angkanya adalah 89,39 persen, dengan kontribusi konsumsi 57,66 persen dan investasi 31,73 persen. 

"Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29 persen. Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut,".